Subscribe:

Pages

Jumat, 02 Maret 2012

1) Aku, Saksi Hidup Seorang Pemuda


“Blarrrr,” pintu rumah kami terbanting keras.
Kami tak heran akan hal itu. Hampir setiap malam, aku dan ibuku terpaksa harus terbangun karena bantingan itu.
“Kakak mabuk lagi ya Bu ?” tanyaku polos sambil menoleh ke arah pintu. Kulihat seorang pemuda dengan mata terpejam berbaring di depan daun pintu. Mulutnya berbusa, rambutnya yang gondrong menutupi wajahnya. Baju kaos yang dikenakannya nampak basah, dan aku yakin itu karena minuman keras.
Aku berdiri, kudatangi pemuda itu. Dan seperti biasa, aku bangunkan dia, kupaksa dia pindah ke kamarnya, atau paling tidak menyuruhnya bergeser agar pintu bisa kututup.
Tak jarang pukulan, tamparan ia hinggapkan di wajahku saat aku coba membangunkannya.
“Hhhh. Kamu ganggu orang tidur aja, sana minggir !” bentaknya sambil menghempaskanku dari depannya.
Aku tak menyerah untuk membawanya masuk. Kan kututup pintu itu bagaimanapun caranya, sebab ibu tak akan bisa tidur lagi jika pintu terbuka.
“Dewi, kenapa kau tinggalin abang, abang  kangen kamu sayang!” itulah kata yang selalu ia ucapkan saat sedang mabuk berat.
Sejak pacarnya yang bernama Dewi itu meninggal dunia, sikap kakak berubah derastis. Kakak jadi sering mabuk mabukan, pulang malam, bahkan sering tidak pulang sama sekali.
Kak Dewi meninggal dunia saat seminggu menjelang pernikahan mereka berdua. Ia meninggal karena tertabrak sebuah truk saat jalan-jalan berdua dengan kakakku. Kak Dewi tertabrak saat hendak menyebrang jalan menuju WC umum. Tiba-tiba dengan kecepatan tinggi, sebuah truk menerobos lampu merah dan menabraknya seketika. Kakakku yang saat itu duduk di trotoar jalan melihat dengan mata kepalanya kematian calon istrinya tersebut. Kakak merasa bersalah dan menyesal yang sangat dalam. Mungkin untuk melupakan masalahnya itu, ia lampiaskan dengan meminum minuman keras. Tak hanya itu, sikapnya padaku dan pada ibu menjadi kasar. Anak berumur sepuluh tahun sepertiku harus sudah merasakan bagaimana rasanya dipukul, ditampar, ditendang, dijambak, dan sebagainya. Apalagi setelah ayah meninggal setahun yang lalu, sikap kakak semakin menjadi sejadi-jadinya.
JKL

“Heh, sana belikan kakak rokok ke warung,” perintahnya padaku, kasar.
“Jangan kak! Ibu kan lagi sakit, nanti tambah parah sakitnya kalau kakak merokok.”
“Alah anak kecil, tahu apa tentang penyakit. Dokter juga yang ahli penyakit gak pernah ngelarang kakak buat ngerokok, kamu anak kecil mau so ngajarin kakak ?”
“Iya, maaf kak. ” aku menunduk. “Uangnya Kak !”
“Sana minta sama ibu, sekalian beliin juga kopi!”
Entah setan apa yang telah merasuki jiwa kakak. Semakin jauh dia dari Tuhan. Semakin jauh dari kami yang menyayanginya. Baginya, kami mungkin sudah tak berarti apa-apa lagi. Ibu yang sedang sakit parah pun tak pernah ia hiraukan. Ia terlalu sibuk dengan urusannya sendiri, urusan kebahagiaannya, kebahagiaan duniawinya.
“Kalau boleh memilih, mendingan aku saja yang meninggal, jangan ayah, biar ibu ada yang ngejaga, yang ngelindungi,” pikirku suatu ketika saat melihat ibu meneteskan air matanya melihat kakak yang pulang dengan keadaan mabuk berat. Tapi apalah daya, pak Ustadz bilang : maut bukan kita yang mengatur, seseorang yang ingin hidup seribu tahun lagi jika ajalnya  sedetik kemudian telah menjemputnya, maka tak akan pernah ada yang bisa menghadangnya. Sebaliknya, orang yang ingin cepat-cepat mati, bila ajal belum tiba, maka tak ada seorang pun yang bisa menjemputnya.
“Tapi apakah ajal bisa ditukar, misalnya biar Arif saja yang mati, dan ayah tetap hidup?” tanyaku polos pada Pak Ustadz dalam suatu pengajian.
“Oh tentu tidak, anakku. Maut itu Allah yang ngatur tidak ada seorangpun yang dapat terhindar dari maut walaupun ada orang lain yang bersedia mati untuk menggantikannya. Memangnya Arif mau menggantikan ayah meninggal ?”
“Kalau bisa, Arif mau. Biar ayah bisa menjaga ibu terus.”
Pak ustadz hanya tersenyum mendengar celotehanku. Entah apa yang ada di dalam pikirannya. Sambil tersenyum ia terus melihat ke arahku, dan tak lama kemudian ia melanjutkan pengajiannya saat itu.
“Kakak mau kemana ?” tanyaku saat kakak beranjak dari kursinya.
“Jangan so’ ngrusin orang, urus aja ibu yang lagi sakit, biar urusan kakak kakak sendiri yang urus.”
“Pulangnya jangan malam-malam ya Kak, kasihan Ibu!”
Tanpa menggubris perkataanku, kakak langsung keluar dan lenyap seketika.
“Kakakmu mau kemana Nak?” tanya ibu serak-serak basah. Nampaknya sulit baginya untuk berkata-kata.
“Ndak tahu Bu, kakak ndak bilang mau kemana. Arif tanya juga tadi, kakak malah marah.”
“Ya sudah, sana kamu pergi ke dapur, ibu sudah masak nasi buat kamu, biar kakakmu makan nanti malam.”
“Iya Bu.”
JKL

Kubuka jendela pagi. Udara sejuk pun segera menyapaku. Kuseka embun-embun yang masih enggan lepas dari dedaunan.  Kulihat dari jendela, orang-orang, para tetangga hilir mudik kesana kemari. Ada yang memanggul pacul, ada yang menjinjing parit, ada yang berjalan lenggang tanpa membawa sesuatu hal pun, semua sibuk dengan urusan mereka masing-masing.
Jarang sekali kurasakan badan yang sesegar ini di pagi hari. Biasanya badanku pegal-pegal saat bangun pagi. Betapa tidak, malam-malam aku harus terbangun demi membukakan pintu untuk kakak. Mengangkat badannya yang berat demi menutup pintu agar ibu tidak kedinginan. Tapi kali ini berbeda.  Kakak tidak pulang, jadi aku bisa tidur nyenyak.
“Kakakmu tidak pulang?” tanya ibu. Aku yang sedang asyik menatap langit pagi dari jendela serentak membalikkan badan.
“Ndak Bu, kakak ndak pulang. Mungkin nginep di rumah temennya.”
Ibu diam. Ia menatapku dalam. Sejenak ia terus menatapku.
“Sini Nak,” ibu memanggilku tuk mendekatinya. Tiba-tiba ibu memelukku dengan erat. Ia menangis. Air matanya menetes di keningku. Aku bingung.
“Ibu kenapa nangis ?”
“Ndak, ibu ndak nangis. Ibu cuma kelilipan.”
Pelukannya semakin erat. Ia tak ijinkan aku tuk lepas darinya. Semakin erat.
“Ibu doakan kamu nak semoga kelak jika kamu besar, kamu menjadi orang yang berguna, berbakti pada orang tua,  pada guru, pada pak Ustadz. Semoga kau menjadi anak yang sholeh, dan tetap pada jalan Islam sampai akhir hidupmu.” Air matanya terus mengalir saat ia ucapkan kata-kata itu. Ibu kecup keningku sambil terus meneteskan air mata.
Aku, aku tak mengerti apa yang terjadi. Kenapa ibu bertingkah aneh ? Apa yang terjadi dengan ibu ? Kenapa ibu nangis seperti anak kecil, sepertiku saat kakak memukul pipiku ? Aku yang masih belum mengerti tiba-tiba ingin ikutan menangis.
“Ibu jangan nangis. Arif juga ikutan sedih jika ibu nangis.”
Ibu seka air mata di pipinya. Perlahan ia lepaskan pelukannya. Aku yang masih bingung akan apa yang terjadi, menatap matanya dalam-dalam. Mata yang masih basah itu menyiratkan akan masalah yang besar yang tengah ibu hadapi. Penyesalan yang amat mendalam.
Melihat aku menatap matanya, ibu kembali memelukku. Aku semakin bingung dibuatnya. Pelukannya amat kencang dan seakan tak ingin mengizinkanku tuk lepas darinya.  Aku kini diam. Pasrah. Kubiarkan ibu memeluk badanku erat. Kubiarkan air matanya membasahi keningku. Kubiarkan hangat tubuhnya merasuki pori-poriku.

“Kreeeeek,” suara pintu terbuka. Ibu yang tadinya memelukku erat perlahan melepaskan pelukannya. Aku pun bangun. Kulihat kakak pulang.  Matanya masih merah, pasti semalam ia mabuk berat.  Dari jauh pun telah kucium bau alkohol.
Kakak duduk di atas kursi merah yang telah sobek pembungkus busanya.  Tindakannya seperti orang yang linglung. Ia masuk tanpa permisi, tanpa mengucapkan salam terlebih dahulu. Padahal kan kata Pak Ustadz, kita harus selalu mengucapkan salam saat memasuki rumah, walupun rumah yang kita masuki itu rumah kita sendiri.
Kakak tidur pulas di atas kursi. Suara dengkurannya nyaring, mirip suara banteng yang dipermainkan yang berasal dari Meksiko. Aku tak tahu nama permainan itu. Pokoknya ada seseorang bertopi koboy membawa kain merah, dan si banteng yang marah dibiarkan menyeruduk kain merah itu.
Tubuh kakak terlentang,  kepalanya menyandar pada tangan kursi yang terbuat dari kayu. Kuperhatikan dia. Tak kubiarkan mataku melirik ke arah lain.
“Apakah mabuk-mabukan bagi orang dewasa itu boleh ? Pak Ustadz bilang, minuman keras itu tak boleh diminum. Tapi kenapa kakak selalu minum minuman keras ? Apa kakak tidak tahu ? Ah, tak mungkin kakak tidak tahu kalau minum minuman keras itu tidak boleh. Atau mungkin kakak lupa ? Tapi kalau lupa terus ndak mungkin juga. Arif jadi bingung. Arif harus tanyakan hal ini pada Pak Ustadz, ” pikirku sambil terus memperhatikan kakak.
JKL

Lembayung merah kulihat jelas di ufuk timur sana. Indah. Kutatap dua sejoli burung pipit yang masih enggan lepas dari pasangannya, berkejaran romantis. Terkadang, mereka hinggap di pohon mangga depan rumahku, dan sejurus kemudian mereka kembali asyik berkejaran.  Jauh di depan sana, kulihat para petani masih asyik menyemai padi mereka di sawah.
Jendela kubuka semakin lebar. Angin senja yang masuk pun semakin berdesak memenuhi ruangan rumah kami. Kutarik nafas dalam-dalam. Sejenak kutahan, dan kulepas kembali . kuarahkan pandanganku kepada para petani lagi. Mereka telah ke luar dari sawahnya. Mungkin rasa lelah yang telah menghentikan mereka. Atau mungkin pula sang waktu yang tak mengizinkan mereka untuk berlama lagi berada dalam guyangan lumpur.
Lembayung yang tadi kulihat indah, kini mulai hilang. Mentari pun nampaknya mulai lelah menyinari bumi.  Cahayanya mulai hilang. Sepasang burung pipit tadi juga mungkin telah kembali ke sarangnya, kembali ke anak-anaknya, lelah.
“Allahu Akbar Allahu Akbar,” terdengar suara agung itu menggema.   Kututup jendela. Kubiarkan semua keindahan itu pergi.
“Bu, minta uang dong !!” kakak menghampiri ibu.  Berdiri di depan dia yang masih duduk merengkuh.
“Buat apa lagi Nak, ibu sudah ndak punya uang.  Sekarang kan baru masuk tengah bulan, jadi uang tunjangan bapakmu belum ke luar”
“Halah bohong.  Kemarin aku liat ibu ngasih uang lima puluh ribu ke tukang sayur.  Sini mana uangnya !”
“Itu buat jatah makan kita sampai tunjangan bapakmu ke luar bulan depan.“
“Buat makan kan masih bisa pinjem ama tetangga.  Ato ngutang dulu ama Mbak Sari.”
“Ibu sudah malu minjem ama tetangga, kelewat sering.  Kalo ngutang sama Mbak Sari, ibu takut ndak bisa bayar bunganya.”
“Aaaah, aku nggak peduli.  Pokoknya aku minta uang buat pesta malam ini.”
“Astagfirullah Nak,  sampai kapan kamu mau seperti ini ?  Ingat Allah Nak, Ingat Allah !”
“Alah percuma, Dia nggak bakalan ngirim uang ke kita.  Dia nggak bakalan ngasih apa-apa. Dia malah nyusahin kita, ngabisin waktu kita doang.”
“Astagfirullah,”  ibu menangis.  Aku mendekatinya.
“Dia cuma bikin hidup kita melarat, susah.  Dia cuma bisa ngambil kebahagiaan kita.  Buktinya, dia ngambil Dewi, wanita sempurna yang aku miliki.”
“Semua sudah takdir nak. Semua sudah di atur.  Allah pasti ngasih hikmah di balik semua kejadian itu.”
“Apa hikmahnya ?  kesengsaraan ? Kemiskinan?  Kemelaratan?  Dia nggak pernah bikin kita menjadi kaya. Padahal, ibu sering banget sholat.  Ia nggak pernah bikin jabatan kita naik, padahal ibu sering ngaji. Apa itu yang disebut pemurah”
Ibu masih menangis.  Air matanya semakin deras mengalir di pipinya yang mulai keriput.
“Harta bukanlah segalanya.  Harta yang kita miliki adalah modal buat kita menyembah-Nya.  Semua adalah titipan yang harus kita kembalikan, caranya adalah menggunakannya untuk beribadah, bukan untuk melakukan maksiat.  Pangkat, jabatan,  bukanlah penentu kebahagiaan kita.  Hanya pandangan manusia bodohlah yang memandang manusia lain dari pangakatnya, dari kedudukannya.  Semua sama di hadapan Allah. Yang membedakan adalah derajat ketakwaannya.”
“Alah omong kosong.  Kalau mau ceramah jadi ustadz aja, biar banyak yang ngundang, biar banyak duit, jual ayat ayat qur’an kayak ustadz-ustadz yang lain.”
Ibu merunduk.  Mungkin lelah ngingetin kakak supaya tobat.
“Aha… ibu kan masih punya gelang warisan bapak.  Biar aku jual aja gelang itu.  Pasti bakalan bisa buat pesta semalam suntuk.”  Kakak segera pergi  ke kamar ibu.  Ia buka lemari pakayan. Ia buka lacinya.   Ia obrak-abrik baju yang tertata rapi di dalam lemari itu.
“Jangan Nak, itu peninggalan bapak satu satunya.” Ibu mengejar kakak.  Ia tarik bahu kakak.  Tapi tenaga ibu terlalu lemah untuk menghentikan sikap kakak.
“Minggir sana !”  kakak mendorong tubuh ibu.  Ibu terjungkal.  Kepalanya membentur kayu tiang rumah kami.  Darah ke luar dari kepalanya.
Tanpa peduli, kakak terus mengobrak abrik lemari pakaian.  Ia terus cari gelang warisan bapak. 
Aku panik melihat ibu terjatuh dan berdarah.  Aku marah pada sikap kakak.  Segera kuambil kayu bakar dari dapur.  Aku berlari.  Kupukulkan kayu itu ke kepala belakang kakak sekuat tenagaku.
“Agh…,” kakak roboh. Kepalanya berdarah seperti ibu, lebih banyak malah.  Ia terbaring sambil terus mengeluarkan darah.  Aku hanya duduk di atas kasur memandangi ibu dan kakak.  Pikiranku kosong.  Otakku seakan tak berjalan lagi.  Apa yang harus aku lakukan ?  






Desember 2009

0 komentar:

Posting Komentar