Subscribe:

Pages

Sabtu, 17 Oktober 2015

Ada Cinta di Toko Buku

Di tengah kondisi keuangan yang mengharuskanku untuk berhemat, hasrat untuk pergi ke toko buku malah tidak bisa kubendung.  Jadilah dengan isi dompet yang mengada-ada aku berangkat juga ke toko buku di salah satu mall di kota.

Aku sebenarnya bukan tipikal orang yang senang membaca.  Membaca bagiku hanyalah sesuatu yang bisa mengantarkanku tertidur pulas.  Jika memang ada bacaan yang bisa membuatku terjaga sepenjang malam, pastilah itu novel yang cara penyampaiannya menyenangkan dan ceritanya membuat penasaran setengah melek.  Alasan utamaku pergi ke toko buku adalah aku sudah tidak tahan lagi dengan kadar kejenuhan hidupku yang sepertinya sudah jauh di ambang batas kenormalan.  Toko buku adalah satu dari sedikit tempat yang bisa membuatku sejenak melupakan dunia beserta isinya.  Melihat cover buku-buku yang beraneka ragam serta sinopsis yang membingungkan membuatku tidak sempat berpikir tentang beban hidup dan hal-hal yang memuakkan lainnya.  Daripada pergi ke bar mabuk-mabukan, atau jatuh di narkoba, mending nyasar ke toko buku.

Dengan earphone menempel lekat di telinga dan helm hijau yang selalu menemaniku ke mana-mana (please jangan sebut aku tukang gojek), aku melajukan motorku dengan kecepatan  tak sampai 70 km/jam.  Sambil mengemudi sesekali mulutku ikut menyanyikan lagu-lagu lawas dari Air Supply yang diputar dari smartphone yang sudah ketinggalan jaman yang kukantongi di saku celana.  Tak lebih dari satu jam aku sudah sampai di mall yang kutuju.  Siang-siang begini pengunjung mall memang belum begitu banyak.

Kaki-kakiku kerap dan cepat melangkah dari parkiran menuju toko buku melewati toko toko berbagai barang.  Ketika hendak turun melewati eskalator, mataku menangkap sebuah jam tangan yang dipajang di etalase toko jam.  Sejenak aku melihat bentuknya memang menarik,  Namun ketika aku melihat pricetag nya, GILA, harganya jutaan.   Harga yang setara dengan uang makanku berbulan-bulan.  Merasa minder berada di tempat itu, aku segera meluruskan lagi langkahku, turun menuju tujuanku semula.

Lagu dari James Bay berjudul Let It Go langsung menyambut kedataganku.  Satu lagi yang kusuka dari toko buku adalah lagu-lagu  yang diputarnya selalu enak didengar.  Bagian pertama yang kukunjungi adalah lemari tentang buku peternakan.  Siapa tahu ada buku yang mendukung penulisan skripsiku.  Hasilnya seperti biasa, tidak ada.  Topik skripsiku mungkin terlalu antimainstream hingga buku  yang membahasnya pun sulit kutemukan.  Bagian kedua adalah rak novel, mencari karya Fahd Djibran (sekarang menggunakan nama aslinya, Fahd Pahdepie) seperti A cat In My Eyes, Menatap Punggung Muhammad, Semesta Sebelum Dunia, dan buku lainnya yang tak sempat aku miliki.  Sepertinya buku buku itu memang dicetak limited hingga setiap aku mencarinya di toko buku, baik  yang real maupun online, hasilnya nihil.  Hari ini pun demikian.
 
Satu persatu synopsis dari buku yang kulihat judul dan covernya menarik, aku baca. Pepatah  Don’t judge the book by it’s cover  rasanya memang benar.  Tapi dalam urusan memilih buku sepertinya kurang pas.  Darimana lagi kita tahu buku itu menarik selain dari gambar cover, judul, dan sinopsisnya?  Masa harus buka plastiknya satu-satu lalu kita baca bukunya sampai tamat?

Satu jam kurang lebih aku sudah berada di toko buku dengan beberapa synopsis buku telah kubaca.   Tiba tiba muncul di sebelahku sesosok yang sudah tidak  asing lagi bagiku, kamu.

“Eh, Na…” kataku sambil setengah terkejut.  Kejutan yang menyenangkan, sebelum aku menyadari ada orang di sebelahmu yang sama sama menghadap ke arahku.

“Ocem sendirian aja?” katamu.

“He eh,” jawabku.  Karena sendiri lebih banyak yang bisa dipikirkan.

“Ocem kenalkan ini ---------“ katamu lagi sambil menunjuk lelaki yang ada di pinggirmu.  Aku malas menyebut namanya di sini.

“Taofik,” kataku sambil mengulurkan lengan dan (berpura pura) menyunggingkan senyum.

Mari anggap laki-laki itu tak pernah ada!

“Ocem lagi nyari buku apa?”

“Ah engga, iseng-iseng aja main ke toko buku.  Kamu nyari buku apa?”

“Engga.  Kita teh mau nonton, sambil nunggu bioskopnya dibuka ya main aja ke toko buku.” Jawabmu.

Deggg! Kalian lagi nge-date?  Deggg!

“Oh nonton.  Emang ada film yang bagus, Na?”

“Engga juga sih, itung itung refreshing aja.”

“Ooh…”

“Yaudah atuh ya, kita ke atas dulu, takut filmya udah mulai.” Katamu sambil melambaikan tangan dan melempar senyuman.  Aduhaaai senyum itu.  Tapi seperti dijatuhkan dari pesawat terbang hingga ke tanah (meski aku belum pernah mengalaminya), sakitnya luar biasa ketika melihat kamu berjalan berdampingan dengan orang yang tadi kamu kenalkan,  sedang aku hanya bisa menatapmu dari belakang.  Ingin rasanya menonjok diriku sendiri yang tidak bisa berbuat apa-apa (kecuali mendo’akan kalian cepat putus).

 Ungkapan terlatih patah hati itu bullshit.  Tetap saja kita merasa sakit ketika melihat orang yang kita cintai tangannya digandeng orang lain.

Memang ada cinta di toko buku. Tapi sayangnya bukan milik kita, tapi milik kalian.  Selamat berbahagia.
Bogor, 17 Oktober 2015

_____________________________________________________________
Cerita ini hanyalah fiktif belaka. Bila ada kesamaan lokasi, nama, atau panggilan, semata-mata hanyalah sesuatu yang dihubung-hubungkan