Di tengah kondisi keuangan yang mengharuskanku untuk berhemat, hasrat
untuk pergi ke toko buku malah tidak bisa kubendung. Jadilah dengan
isi dompet yang mengada-ada aku berangkat juga ke toko buku di salah
satu mall di kota.
Aku sebenarnya bukan tipikal orang yang senang
membaca. Membaca bagiku hanyalah sesuatu yang bisa mengantarkanku
tertidur pulas. Jika memang ada bacaan yang bisa membuatku terjaga
sepenjang malam, pastilah itu novel yang cara penyampaiannya
menyenangkan dan ceritanya membuat penasaran setengah melek. Alasan
utamaku pergi ke toko buku adalah aku sudah tidak tahan lagi dengan
kadar kejenuhan hidupku yang sepertinya sudah jauh di ambang batas
kenormalan. Toko buku adalah satu dari sedikit tempat yang bisa
membuatku sejenak melupakan dunia beserta isinya. Melihat cover
buku-buku yang beraneka ragam serta sinopsis yang membingungkan
membuatku tidak sempat berpikir tentang beban hidup dan hal-hal yang
memuakkan lainnya. Daripada pergi ke bar mabuk-mabukan, atau jatuh di
narkoba, mending nyasar ke toko buku.
Dengan earphone menempel
lekat di telinga dan helm hijau yang selalu menemaniku ke mana-mana
(please jangan sebut aku tukang gojek), aku melajukan motorku dengan
kecepatan tak sampai 70 km/jam. Sambil mengemudi sesekali mulutku ikut
menyanyikan lagu-lagu lawas dari Air Supply yang diputar dari smartphone yang
sudah ketinggalan jaman yang kukantongi di saku celana. Tak lebih dari
satu jam aku sudah sampai di mall yang kutuju. Siang-siang begini
pengunjung mall memang belum begitu banyak.
Kaki-kakiku kerap dan
cepat melangkah dari parkiran menuju toko buku melewati toko toko
berbagai barang. Ketika hendak turun melewati eskalator, mataku
menangkap sebuah jam tangan yang dipajang di etalase toko jam. Sejenak
aku melihat bentuknya memang menarik, Namun ketika aku melihat pricetag nya,
GILA, harganya jutaan. Harga yang setara dengan uang makanku
berbulan-bulan. Merasa minder berada di tempat itu, aku segera
meluruskan lagi langkahku, turun menuju tujuanku semula.
Lagu dari James Bay berjudul Let It Go
langsung menyambut kedataganku. Satu lagi yang kusuka dari toko buku
adalah lagu-lagu yang diputarnya selalu enak didengar. Bagian pertama
yang kukunjungi adalah lemari tentang buku peternakan. Siapa tahu ada
buku yang mendukung penulisan skripsiku. Hasilnya seperti biasa, tidak
ada. Topik skripsiku mungkin terlalu antimainstream hingga buku
yang membahasnya pun sulit kutemukan. Bagian kedua adalah rak novel,
mencari karya Fahd Djibran (sekarang menggunakan nama aslinya, Fahd
Pahdepie) seperti A cat In My Eyes, Menatap Punggung Muhammad, Semesta Sebelum Dunia, dan buku lainnya yang tak sempat aku miliki. Sepertinya buku buku itu memang dicetak limited hingga setiap aku mencarinya di toko buku, baik yang real maupun online, hasilnya nihil. Hari ini pun demikian.
Satu persatu synopsis dari buku yang kulihat judul dan covernya menarik, aku baca. Pepatah Don’t judge the book by it’s cover rasanya
memang benar. Tapi dalam urusan memilih buku sepertinya kurang pas.
Darimana lagi kita tahu buku itu menarik selain dari gambar cover,
judul, dan sinopsisnya? Masa harus buka plastiknya satu-satu lalu kita
baca bukunya sampai tamat?
Satu jam kurang lebih aku sudah berada
di toko buku dengan beberapa synopsis buku telah kubaca. Tiba tiba
muncul di sebelahku sesosok yang sudah tidak asing lagi bagiku, kamu.
“Eh,
Na…” kataku sambil setengah terkejut. Kejutan yang menyenangkan,
sebelum aku menyadari ada orang di sebelahmu yang sama sama menghadap ke
arahku.
“Ocem sendirian aja?” katamu.
“He eh,” jawabku. Karena sendiri lebih banyak yang bisa dipikirkan.
“Ocem kenalkan ini ---------“ katamu lagi sambil menunjuk lelaki yang ada di pinggirmu. Aku malas menyebut namanya di sini.
“Taofik,” kataku sambil mengulurkan lengan dan (berpura pura) menyunggingkan senyum.
Mari anggap laki-laki itu tak pernah ada!
“Ocem lagi nyari buku apa?”
“Ah engga, iseng-iseng aja main ke toko buku. Kamu nyari buku apa?”
“Engga. Kita teh mau nonton, sambil nunggu bioskopnya dibuka ya main aja ke toko buku.” Jawabmu.
Deggg! Kalian lagi nge-date? Deggg!
“Oh nonton. Emang ada film yang bagus, Na?”
“Engga juga sih, itung itung refreshing aja.”
“Ooh…”
“Yaudah atuh ya,
kita ke atas dulu, takut filmya udah mulai.” Katamu sambil melambaikan
tangan dan melempar senyuman. Aduhaaai senyum itu. Tapi seperti
dijatuhkan dari pesawat terbang hingga ke tanah (meski aku belum pernah
mengalaminya), sakitnya luar biasa ketika melihat kamu berjalan
berdampingan dengan orang yang tadi kamu kenalkan, sedang aku hanya
bisa menatapmu dari belakang. Ingin rasanya menonjok diriku sendiri
yang tidak bisa berbuat apa-apa (kecuali mendo’akan kalian cepat putus).
Ungkapan terlatih patah hati itu bullshit. Tetap saja kita merasa sakit ketika melihat orang yang kita cintai tangannya digandeng orang lain.
Memang ada cinta di toko buku. Tapi sayangnya bukan milik kita, tapi milik kalian. Selamat berbahagia.
Bogor, 17 Oktober 2015
_____________________________________________________________
Cerita
ini hanyalah fiktif belaka. Bila ada kesamaan lokasi, nama, atau
panggilan, semata-mata hanyalah sesuatu yang dihubung-hubungkan
Sabtu, 17 Oktober 2015
Langganan:
Postingan (Atom)