Subscribe:

Pages

Sabtu, 17 Maret 2012

4) Bulan, Bintang, dan Malam











Bulan, Bintang, dan Malam

Ada sesuatu hal yang mengganjal di otakku hingga aku tak bisa berpikir jernih lagi, menimbang apa yang harus aku pertahankan atau aku lepas, kukejar atau kulepas.  Semua berlangsung begitu saja tanpa bisa kukendalikan.  Hanya keadaan, ya, hanya keadaan mungkin yang saat ini bisa kusalahkan.
JKL

“Kau melamun lagi?”
Aku masih diam
“Mas, Kau melamun lagi.  Apa sih yang sedang kau pikirkan?” 
“Hm?”  aku sadar, baru tersadar. “Engga,  di kampus lagi banyak tugas.  Aku kepikiran terus kalo belum ngerjain.” Itulah kalimat yang pertama kali muncul dalam otakku.
“Tugas apa lagi ?  ceritakan padaku, siapa tahu aku bisa bantu.”
Aku menyedot kopi yang sudah mulai dingin itu.  Ah dasar pelayan sialan.  Aku minta kopi panas, bukan kopi yang dingin seperti ini.
“Cuma tugas biasa, ngadain penelitian.  Mungkin satu atau dua hari ini aku akan menyelesaikannya.”  Perlu dua kebohongan untuk menutupi sebuah kebohongan.  Dan itu yang sedang aku lakukan saat ini.   
Fighting Mas,  apapun yang kau lakukan, aku akan selalu ada di disampingmu, mendukungmu,”  kata gadis berjilbab itu sambil memegang tanganku yang sedang telungkup di meja.
Demi kau gadis berjilbab, demi senyummu. Telah dosakah aku kepadamu ? Telah bersalahkah aku kepadamu?  Sungguh,  aku tak ingin memperlakukanmu seperti ini.
“Pulanglah duluan Mas, istirahatlah.  Kau nampak pucat hari ini.  Mungkin kau kurang tidur.  Istirahatlah sana !”
“Lalu buku yang akan kau cari bagaimana?”
“Sudahlah, biar aku sendiri yang pergi ke toko buku.  Kau istirahatlah saja dulu.  Penelitian yang akan kau lakukan pasti akan sangat melelahkan.”
JKL
Langit malam biasanya terlihat begitu indah. Bintang gemintang yang berkelip selalu seperti kembang api yang saling memancar saat pesta malam tahun baru.  Derit jangkrik pun biasanya seolah nyanyian malam pengantar tidur yang begitu merdu.  Tapi kenapa semua itu tidak aku rasakan malam ini ?  Semua seolah tak berarti.  Tak ada keindahan di sini. Di malam ini.
Adalah wanita itu, cinta pertamaku, cinta SMA-ku, yang dulu pernah-dan mungkin sampai sekarang-kucintai, yang sekarang mengganggu pikiranku.  Meski sudah tiga tahun kita berpisah, tapi aku tidak pernah bisa melupakannya.  Senyumnya, sorot matanya, dan pemikiran-pemikirannya yang senantiasa ada di dalam ingatanku.  Kita berpisah sebelum sempat aku nyatakan perasaanku padanya.  Dan kini, tiba-tiba dia datang kembali. Dia hadir kembali. Dengan senyumnya yang masih sama seperti dulu, dengan sorot matanya yang masih sama seperti dulu, dan mungkin, pemikiran-pemikirannya yang masih sama seperti dulu.  Dia adalah cinta pertamaku, yang sekaligus menjadi idolaku.
Kuhempaskan tubuhku di tempat tidurku.  Kupejamkan mataku, berharap rasa kantuk cepat datang dan melelapkanku dalam tidur panjang.
Tak bisa.  Semua ini terlalu mengganggu pikiranku. Semua ini terlalu membebani otakku. Gila. Semua ini membuatku gila.
JKL

Kulipat sajadah yang mulai kusam itu.  Kulepas kupiah yang sejak tadi menempel di atas kepalaku.  Perlahan aku bangkit, berdiri.   Sholat sepertinya cukup membantuku mengendalikan pikiranku.  Kurebahkan badanku di atas tempat tidur, berharap pagi cepat datang.  Kan kuselesaikan semuanya hari ini juga.

Pukul 07.00
Satu-persatu tombol dalam handphone kutekan.  Kutempelkan benda lebar itu pada telingaku, beberapa saat suara dengungan mulai terdengar, dan,
Hallo.. Assalamu ’alaikum, ” suara di seberang sana menjawab.
“Wa’alaikum salam.  Ini Dina kan ?”
Iya.  Ini Fadil kan? “ dia balik bertanya.
“Iya ini aku.”
Ada apa Dil ? Tumben telfon.”
“Hmm.. engga.  Siang ini kamu sibuk ngga?  Aku pengen ketemu.  Ada hal yang ingin aku omongin.”
Ngga terlalu sibuk sih. Emang ada apa gitu?
“Ngga enak kalo diomongin lewat telfon.  Jam  sepuluh bisa ketemu?”
Kalo jam sepuluh aku masih ada kuliah.  Terus habis itu mau ngajar anak-anak panti.  Gimana kalo jam dua-an?”
“Oke.  Aku tunggu di restoran deket taman, sekalian makan siang bareng.”
“Oke”
Aku tutup hp-ku.  Sebuah keragu-raguan mulai datang kembali. Tapi aku segera menampiknya.  Ini keputusan yang telah aku ambil.  Aku harus kuat. Aku harus konsisten dengan langkahku. Bismillah.
JKL

“Aku ingin membicarakan sesuatu kepadamu.  Sesuatu yang sebenarnya sudah jauh terlambat jika kukatakan saat ini.  Mungkin akan terdengar aneh. Tapi, jika aku tidak mengatakannya saat ini padamu, aku akan selalu dihantui rasa penyesalan dalam hidupku, aku akan dihantui masa laluku sendiri,”  ucapku.
Dina terdiam,  seolah mengizinkanku melanjutkan perkataanku.
“Beberapa tahun yang lalu saat masih  SMA, saat pertama kali melihatmu, ada perasaan aneh di dalam hatiku.  Entah apa namanya karena aku belum pernah merasakannya sebelumnya.  Seiring waktu berjalan,  perasaan itu semakin terasa. Dan setelah sekian lama, aku baru tahu kalau itulah yang disebut cinta. Dulu aku mencintaimu .”
Dina masih diam.  Hanya raut wajahnya yang berubah.  Sepertinya dia bingung.
“Aku harap kamu tidak salah paham dulu,” kataku mencegahnya berpikiran yang tidak-tidak. “Saat SMA dulu aku mencintaimu.  Sekarang, tentu saja cinta itu telah menjadi cinta terlarang.  Cinta itu hanya akan menyakiti orang yang ada di sampinku, dan orang yang ada di sampingmu tentunya,” lanjutku.
Masih dengan wajah bingung dia bertanya,  “Lalu, apa maksudmu mengatakan semua ini padaku sekarang ?  Apa yang kau inginkan?  Kau malah membuat keadaan yang rumit antara kita berdua.” 
“Maafkan aku jika semua ini malah membuatmu bingung.  Tidak ada maksud apa-apa, sungguh.   Dari awal aku sudah mengatakannya bahwa aku hanya ingin menyelesaikan urusan yang dulu belum aku selesaikan.  Aku harap kau bisa mengerti hal itu.”
“Tidak.  Sungguh aku tidak mengerti perkataanmu.”
“Aku hanya ingin kau tahu bahwa dulu aku mencintaimu.  Hanya itu,” kataku memperjelas.
“Lalu setelah itu ?”
“Kau hanya tinggal melanjutkan hidupmu seperti sebelum pertemuan kita ini terjadi.  Kau bahkan boleh-dan mungkin harus- melupakan semua perkataan yang telah aku ucapkan.”
“Semua tak sesimpel itu Dil.”
“Anggaplah semua ini tak pernah terjadi”
“Tidak bisa, Dil.  Semua ini sudah terlanjur terjadi. Semuanya terlanjur masuk dalam memoriku. Aku tak akan pernah bisa melupakannya.”
“Lupakanlah !”
JKL

Suasana segar langsung  menyerbuku saat kulangkahkan kaki,  masuk  ke sebuah kafe, tempat dimana aku dan gadis berjilbab itu menghabiskan waktu berdua.  Kugerakkan bola-bola mataku menyusuri tiap sudut ruangan itu,  mencari sosok wanita (Belahan jiwaku).  Sebuah tangan tiba—tiba  terangkat ke atas, melambai-lambai ke arahku.  Dia berdiri.  Wanita berjilbab itu berdiri memanggilku.  Senyum di wajahnya mengembang begitu indah.
Demi kau gadis berjilbab, demi senyummu,  jika syariat membolehkan,  ingin rasanya aku berlari ke arahmu,  mengecup keningmu dengan penuh cinta. Memelukmu dalam rangkulan yang hangat namun menyejukkan jiwa.  Meletakkan kepalamu di dadaku, membantuku mengendalikan gemuruh yang ada di dalamnya. Di dadaku.
Perlahan aku berjalan ke arahnya.  Semakin dekat, semakin dekat, dan semakin dekat, hingga kini, hanya satu langkah saja jarak antara kita berdua.  Kudekatkan bibirku ke arah pipi kanannya, lalu ke arah telinga kanannya.  Satu kalimat kubisikkan halus di telinganya,
“Aku mencintaimu”






 (Desember 2010)

0 komentar:

Posting Komentar