Bulan, Bintang, dan Malam
Ada
sesuatu hal yang mengganjal di otakku hingga aku tak
bisa berpikir jernih lagi, menimbang apa yang harus aku pertahankan atau aku
lepas, kukejar atau kulepas. Semua berlangsung begitu saja tanpa bisa
kukendalikan. Hanya keadaan, ya, hanya keadaan mungkin yang saat ini bisa kusalahkan.
JKL
“Kau melamun lagi?”
Aku masih diam
“Mas, Kau melamun lagi. Apa sih yang sedang kau pikirkan?”
“Hm?”
aku sadar, baru tersadar. “Engga,
di kampus lagi banyak tugas. Aku
kepikiran terus kalo belum ngerjain.” Itulah kalimat yang pertama kali muncul
dalam otakku.
“Tugas apa lagi ? ceritakan padaku, siapa tahu aku bisa bantu.”
Aku menyedot kopi yang sudah mulai dingin
itu. Ah dasar pelayan sialan. Aku minta kopi panas, bukan kopi yang dingin
seperti ini.
“Cuma tugas biasa, ngadain penelitian. Mungkin satu atau dua hari ini aku akan
menyelesaikannya.” Perlu dua kebohongan
untuk menutupi sebuah kebohongan. Dan
itu yang sedang aku lakukan saat ini.
“Fighting
Mas, apapun yang kau lakukan, aku
akan selalu ada di disampingmu, mendukungmu,”
kata gadis berjilbab itu sambil memegang tanganku yang sedang telungkup
di meja.
Demi
kau gadis berjilbab, demi senyummu. Telah dosakah aku kepadamu ? Telah
bersalahkah aku kepadamu? Sungguh, aku tak ingin memperlakukanmu seperti ini.
“Pulanglah duluan Mas, istirahatlah. Kau nampak pucat hari ini. Mungkin kau kurang tidur. Istirahatlah sana !”
“Lalu buku yang akan kau cari bagaimana?”
“Sudahlah, biar aku sendiri yang pergi ke
toko buku. Kau istirahatlah saja
dulu. Penelitian yang akan kau lakukan
pasti akan sangat melelahkan.”
JKL
Langit malam biasanya terlihat begitu indah.
Bintang gemintang yang berkelip selalu seperti kembang api yang saling memancar
saat pesta malam tahun baru. Derit
jangkrik pun biasanya seolah nyanyian malam pengantar tidur yang begitu
merdu. Tapi kenapa semua itu tidak aku
rasakan malam ini ? Semua seolah tak
berarti. Tak ada keindahan di sini. Di
malam ini.
Adalah wanita itu, cinta pertamaku, cinta
SMA-ku, yang dulu pernah-dan mungkin sampai sekarang-kucintai, yang sekarang
mengganggu pikiranku. Meski sudah tiga
tahun kita berpisah, tapi aku tidak pernah bisa melupakannya. Senyumnya, sorot matanya, dan
pemikiran-pemikirannya yang senantiasa ada di dalam ingatanku. Kita berpisah sebelum sempat aku nyatakan
perasaanku padanya. Dan kini, tiba-tiba
dia datang kembali. Dia hadir kembali. Dengan senyumnya yang masih sama seperti
dulu, dengan sorot matanya yang masih sama seperti dulu, dan mungkin,
pemikiran-pemikirannya yang masih sama seperti dulu. Dia adalah cinta pertamaku, yang sekaligus
menjadi idolaku.
Kuhempaskan tubuhku di tempat tidurku. Kupejamkan mataku, berharap rasa kantuk cepat
datang dan melelapkanku dalam tidur panjang.
Tak bisa.
Semua ini terlalu mengganggu pikiranku. Semua ini terlalu membebani
otakku. Gila. Semua ini membuatku gila.
JKL
Kulipat sajadah yang mulai kusam itu. Kulepas kupiah yang sejak tadi menempel di
atas kepalaku. Perlahan aku bangkit,
berdiri. Sholat sepertinya cukup
membantuku mengendalikan pikiranku.
Kurebahkan badanku di atas tempat tidur, berharap pagi cepat
datang. Kan kuselesaikan semuanya hari ini
juga.
Pukul 07.00
Satu-persatu tombol dalam handphone kutekan. Kutempelkan benda lebar itu pada telingaku,
beberapa saat suara dengungan mulai terdengar, dan,
“Hallo..
Assalamu ’alaikum, ” suara di seberang sana menjawab.
“Wa’alaikum salam. Ini Dina kan ?”
“Iya. Ini Fadil kan? “ dia balik bertanya.
“Iya ini aku.”
“Ada
apa Dil ? Tumben telfon.”
“Hmm.. engga. Siang ini kamu sibuk ngga? Aku pengen ketemu. Ada hal yang ingin aku omongin.”
“Ngga
terlalu sibuk sih. Emang ada apa gitu?
“Ngga enak kalo diomongin lewat telfon. Jam
sepuluh bisa ketemu?”
“Kalo
jam sepuluh aku masih ada kuliah. Terus
habis itu mau ngajar anak-anak panti.
Gimana kalo jam dua-an?”
“Oke.
Aku tunggu di restoran deket taman, sekalian makan siang bareng.”
“Oke”
Aku tutup hp-ku. Sebuah keragu-raguan mulai datang kembali.
Tapi aku segera menampiknya. Ini
keputusan yang telah aku ambil. Aku
harus kuat. Aku harus konsisten dengan langkahku. Bismillah.
JKL
“Aku ingin membicarakan sesuatu
kepadamu. Sesuatu yang sebenarnya sudah
jauh terlambat jika kukatakan saat ini.
Mungkin akan terdengar aneh. Tapi, jika aku tidak mengatakannya saat ini
padamu, aku akan selalu dihantui rasa penyesalan dalam hidupku, aku akan
dihantui masa laluku sendiri,” ucapku.
Dina terdiam, seolah mengizinkanku melanjutkan perkataanku.
“Beberapa tahun yang lalu saat masih SMA, saat pertama kali melihatmu, ada
perasaan aneh di dalam hatiku. Entah apa
namanya karena aku belum pernah merasakannya sebelumnya. Seiring waktu berjalan, perasaan itu semakin terasa. Dan setelah
sekian lama, aku baru tahu kalau itulah yang disebut cinta. Dulu aku
mencintaimu .”
Dina masih diam. Hanya raut wajahnya yang berubah. Sepertinya dia bingung.
“Aku harap kamu tidak salah paham dulu,”
kataku mencegahnya berpikiran yang tidak-tidak. “Saat SMA dulu aku
mencintaimu. Sekarang, tentu saja cinta
itu telah menjadi cinta terlarang. Cinta
itu hanya akan menyakiti orang yang ada di sampinku, dan orang yang ada di
sampingmu tentunya,” lanjutku.
Masih dengan wajah bingung dia
bertanya, “Lalu, apa maksudmu mengatakan
semua ini padaku sekarang ? Apa yang kau
inginkan? Kau malah membuat keadaan yang
rumit antara kita berdua.”
“Maafkan aku jika semua ini malah membuatmu
bingung. Tidak ada maksud apa-apa,
sungguh. Dari awal aku sudah
mengatakannya bahwa aku hanya ingin menyelesaikan urusan yang dulu belum aku
selesaikan. Aku harap kau bisa mengerti
hal itu.”
“Tidak.
Sungguh aku tidak mengerti perkataanmu.”
“Aku hanya ingin kau tahu bahwa dulu aku
mencintaimu. Hanya itu,” kataku
memperjelas.
“Lalu setelah itu ?”
“Kau hanya tinggal melanjutkan hidupmu
seperti sebelum pertemuan kita ini terjadi.
Kau bahkan boleh-dan mungkin harus- melupakan semua perkataan yang telah
aku ucapkan.”
“Semua tak sesimpel itu Dil.”
“Anggaplah semua ini tak pernah terjadi”
“Tidak bisa, Dil. Semua ini sudah terlanjur terjadi. Semuanya
terlanjur masuk dalam memoriku. Aku tak akan pernah bisa melupakannya.”
“Lupakanlah !”
JKL
Suasana segar langsung menyerbuku saat kulangkahkan kaki, masuk
ke sebuah kafe, tempat dimana aku dan gadis berjilbab itu menghabiskan
waktu berdua. Kugerakkan bola-bola
mataku menyusuri tiap sudut ruangan itu,
mencari sosok wanita (Belahan jiwaku).
Sebuah tangan tiba—tiba terangkat
ke atas, melambai-lambai ke arahku. Dia
berdiri. Wanita berjilbab itu berdiri
memanggilku. Senyum di wajahnya
mengembang begitu indah.
Demi
kau gadis berjilbab, demi senyummu, jika
syariat membolehkan, ingin rasanya aku
berlari ke arahmu, mengecup keningmu
dengan penuh cinta. Memelukmu dalam rangkulan yang hangat namun menyejukkan jiwa. Meletakkan
kepalamu di dadaku, membantuku mengendalikan gemuruh yang ada di dalamnya. Di
dadaku.
Perlahan aku berjalan ke arahnya. Semakin dekat, semakin dekat, dan semakin
dekat, hingga kini, hanya satu langkah saja jarak antara kita berdua. Kudekatkan bibirku ke arah pipi kanannya,
lalu ke arah telinga kanannya. Satu
kalimat kubisikkan halus di telinganya,
“Aku mencintaimu”
(Desember 2010)
0 komentar:
Posting Komentar