Subscribe:

Pages

Jumat, 30 Maret 2012

Negeri Mimpi


Dengarkan aku berbicara
Tentang negeriku yang indah ini.
Negeriku bernama negeri mimpi
Seperti namanya negerinya, rakyatnya pun pandai bermimpi
Kami bermimpi menjadi negeri nomor satu
Nomor satu dalam hal apa saja,
Mulai dari nomor satu dalam bicara,
Nomor satu dalam menghayal,
Dan nomor satu dalam bermimpi tentunya.

Pekerjaan kami adalah bermimpi
Dari pagi sampai malam hari, kami terus bermimpi
Hidup kami adalah mimpi.

Kami adalah negeri yang kaya
Dari kecil kami sudah diajarkan bagaimana cara hidup orang kaya;
Boros, hura-hura adalah pendidikan utama kami.
Kami tak peduli terhadap orang susah. Toh kami sudah kaya.
Tuhan menciptakan kami untuk kaya
Ya kami kaya
Masa bodo dengan orang susah di sekitar.
Mereka miskin dan kami kaya.
Kadang kami bersenang senang dengan mereka.
Memberi recehan sambil menyeringai
Sungguh menyenangkan.
Mereka adalah mainan.
Negara kami adalah negara kaya.
Walau pendiri negara adalah maling, kami tetap saja kaya.
Lihatlah berita,
Lihatlah pemimpin kami
Mereka bicara, dan dapat uang.
Mereka tidur pun dapat uang.
Mereka menggoreskan coretan tangannya, juga dapat uang.
Alangkah enaknya memimpin bangsa ini.

Bagi kami, uang adalah raja.
Uang adalah segalanya
Orang melepas agama demi uang
Orang melepas kehormatan demi uang
Orang berjina juga demi uang.
Orang mengemis demi uang
Ah salah
Di negara kayaku, tak ada pengemis
Yang ada peminta-minta.

Julukan untuk negara kami adalah
Negeri sinetron.
Bukan karena tayangan tipi kami hanya sinetron.
Lihatlah di atas sana
Banyak orang bersandiwara.
Peran mereka berbeda beda.
Ada peran sebagai polisi
Coba tebak,
Nenekku kemarin membuat surat bebas mengemudi
Anehnya, dia lolos tes
Padahal nenekku buta huruf dan buta keseimbangan.
Untuk berdiri saja susah, apalagi untuk injak gas.

Kemarin aku pergi ke kota.
Dengan lima puluh saja, lampu merah bebas kutebas.
Keren bukan?

Ada pula yang berperan jadi anggota dewan.
Tidur di kursi empuk saat rapat dapat gaji.
Tak perlu pusingkan urusan rakyat.
Hebat bukan?

Namun ada satu adegan yang sama yang mereka perankan.
Berpura pura baik depan atasan
Supaya naik gaji atau pangkat
Padahal atasan mereka sama sama tukang pura pura.

Berpura pura membela rakyat,
Cerita lama.

Hobi kami adalah berpura-pura
Namanya juga negeri sinetron.
Berpura pura baik,
Berpura pura peduli,
Pura pura pintar.

Pemuda pemuda negara kami adalah pengekor yang hebat.
Kami dijuluki generasi anak ayam.
Ketika arus mengalir ke selatan, kami berlari berbondong menuju selatan
Ketika arus mengalir ke barat, semua sibuk pergi ke barat.
Aneh sekali jika ada orang yang tegar diam, bahkan melawan arus.

Soal berteriak, kami jagonya.
Hematlah energi, bumi makin panas.
Kalo bumi panas, badan jadi gerah.
Kalo badan gerah, tinggal pake pendingin ruangan.
Gerah hilang. Pintar bukan.

Hematlah energi, minyak bumi mahal.
Kalo minyak mahal, BBM naik.
Kalo BBM naik, rakyat miskin sengsara.
Di sana-lah kami kembali berpura pura peduli
Kalo BBM naik, kita demo saja.
Blokir jalan, bikin kemacetan di mana-mana
Rusak mobil-mobil yang melintas
Rusak sarana lalu lintas.
BBM tak jadi naik karena pemerintah kami memang pengecut.
BBM tak jadi naik, hanya saja masalah baru mucul.
Butuh biaya perbaikan sarana.
Kami memang pembuat masalah. Hebat bukan?

Di sekolah,
Kami diajarkan moral dan sopan santun.
Kami diajarkan ilmu kewarganegaraan.
Saat bel pulang, kami lupa pancasila itu ada berapa

Di sekolah, kami diajarkan menghafal
Menghafal apapun,
Apapun
Termasuk hal tak berguna.
Kami diajarkan menghafal.
Tak penting masalah pengamalan.
Yang penting hafal, dan kami jadi juara.
Juara konsep, hingga kami sangat pandai bicara.
Bicara memang lebih keren daripada bertindak.

Teori simpel dibikin serumit mungkin
Kan biar keren.
Kami diajarkan memecahkan masalah
Dengan konsep yang telah ada
Dengan konsep yang telah kami tulis.
Saat catatan kami hilang, tinggal nyontek catatan orang.

Ah
Memang seru membicarakan negeriku ini
Memang seru tinggal di negeriku ini.
Di sini kami tinggal bermimpi,
Di sini kami hanya butuh bicara
Di sini kamii hanya butuh kejelekan orang lain untuk tertawa
Di sini kami hanya butuh kekurangan orang lain untuk berbangga.

Sabtu, 17 Maret 2012

5) Salju yang Hilang









Salju yang Hilang
                               Butir Salju Terakhir II

Senyum gembira melengkung di wajahku saat kutatap lekat foto yang menempel di dinding kamarku.  Empat tahun sudah foto itu tergantung di sana. Tapi, aku tak pernah merasa bosan melihatnya setiap hari.  Entah sihir apa yang ada di dalamnya sehingga saat melihatnya, tanpa sadar hatiku selalu merasa sejuk, senyumku pun secara otomatis bisa melebar begitu saja.

4) Bulan, Bintang, dan Malam











Bulan, Bintang, dan Malam

Ada sesuatu hal yang mengganjal di otakku hingga aku tak bisa berpikir jernih lagi, menimbang apa yang harus aku pertahankan atau aku lepas, kukejar atau kulepas.  Semua berlangsung begitu saja tanpa bisa kukendalikan.  Hanya keadaan, ya, hanya keadaan mungkin yang saat ini bisa kusalahkan.

Jumat, 02 Maret 2012

3) Butir Salju Terakhir


Butir Salju Terakhir

“Baiklah, kutunggu kau di Jardin du Luxenbroug, tepat jam 4 sore.”
JKL

Hari cukup cerah untuk awal musim dingin.  Udara luar semakin terasa dingin, sampai harus kututup jendela asramaku rapat-rapat.  Mesin penghangat ruangan terpaksa kunyalakan,  walau aku tak suka aroma uap buatan yang dihasilkannya.
Berkali-kali tombol up pada remote kutekan, terus kutekan, agar ruangan yang dingin menjadi hangat. Dan tetap saja semua itu tak mampu membuatku merasa hangat.  Aku tetap kedinginan.  Badanku dingin, hatiku dingin, hatiku membeku.
Kutopangkan kepala kepada kedua sikutku pada meja dihadapanku. Meja belajar yang telah berdiri di depan jendela sejak aku datang ke sini.  Atau mungkin meja itu telah berda di sana jauh sebelum aku menginjakkan kaki di sini, di negeri ini,
Entahlah…

Mataku terpejam, seolah terlalu menyilaukan bagiku untuk menatap seberkas cahaya yang menembus kaca-kaca jendela. 
Hatiku dingin, hatiku beku, hatiku bergetar, kemudian diam.  Hatiku sakit, hatiku gundah, hatiku, ah…
Kuusap wajahku kembali, berharap masalah ini sedikit terasa ringan.
Tuhan, Kau selalu menolongku dalam keadaan apapun.  Tapi mengapa sekarang kau biarkan aku ? kau tinggalkan aku?

JKL

Pukul 2 siang
Matahari sepertinya sudah kehilangan energi panasnya. Sinarnya yang begitu cerah tak lagi disertai kehangatannya.  Ada apa? Apa awal musim dingin yang lalu seperti ini ? Secerah ini? Seingatku tidak.  Atau mungkin ingatanku yang telah rapuh. Ah.. kurasa tidak juga.  Aku masih bisa mengingat kejadian-kejadian lalu. Setahun yang lalu, dua tahun yang lalu,  tiga tahun yang lalu, bahkan sejak pertama kali aku menginjakkan kakiku di tanah ini.  Aku masih ingat.
Aku pun masih ingat saat pertama kali mengunjungi  taman ini.  Kulihat pohon-pohon yang rindang,  orang orang yang berlalu lalang-sambil tertawa lepas, saling berpegangan tangan, saling berpelukan-.  Kursi bercat biru di bawah pohon yang diduduki seorang gadis berbaju merah jambu. Ah… gadis merah jambu itu.

Hallo Miss, may I sit here?”  Kataku menyapa dengan logat jawa yang kental.
Gadis itu terdiam sejenak.  Sepertinya ada sesuatu yang sedang dipikirkannya. “Of Course.” Akhirnya dia menjawab.     Are you an Indonesian?” timpalnya kemudian.
Kali ini giliranku yang terdiam sejenak, memproses suatu keanehan dalam otakku.
“Yes, I am.  How can you know it?” hasil pengolahan dalam otakku membuatku bertanya demikian.
“Logat Jawa medok-mu terdengar jelas, bahkan saat kau sedang berbicara Bahasa Inggris.” Jawabnya sambil sedikit tersenyum.
“Wow… anda bisa berbicara Bahasa Indonesia?” kataku heran, sambil kembali memproses sesuatu di otakku.  Otakku hari ini payah sekali rasanya.
“Kenalkan, namaku Meira, Meira Putri Gunawan.” Sambil mengulurkan tangannya, dan tanpa memperdulikan pertannyaanku, dia memperkenalkan namanya. “Dari nama itu, kau bisa tahu bukan, darimana asalku ?” lanjutnya.
Oh boi… sepertinya dia bisa membaca pikiranku.
Tanpa proses berpikir, kali ini aku langsung menjabat tangannya. “ Namaku Agus, Agus Guntoro. Walau logat Jawa medok-ku gak kedengeran, dari namaku kau juga bisa tahu bukan, dari mana asalku?”
Kami berdua tertawa bersama. 
Berawal dari perkenalan yang tanpa disengaja itu, kami melanjutkan dengan berbagai topik obrolan.  Mulai dari cerita bagaimana kami bisa sampai di sini, tentang kesan pertama saat tiba di negeri ini, dan banyak hal saling terpaut dari topik satu dengan topik lain.
Uniknya, ternyata sama sepertiku, dia adalah salah seorang murid yang terpilih untuk menjadi siswa pertukaran pelajar.
Semakin hari semakin sering kita berkomunikasi.  Pergi bersama, tertawa bersama, janji bertemu di taman, walau hanya sekedar untuk menatap jajaran pohon pohon rindang yang mengelilingi taman.
“Aku suka salju,” katannya menghapus keheningan “Aku suka hari pertama musim salju.  Walau kita harus memakai pakaian serba tebal dan menghalangi gerakanku, aku tetap suka salju.”  Aku ingat, ini terjadi tahun lalu.  Kala itu kami sedang duduk berdua di taman ini, di kursi bercat biru ini.
Aku yang sedang melamun pun langsung sadar setelah mendengar suara halusnya.
“Apa yang kau suka dari salju?” kali ini kesadaranku sudah total kembali.
“Entahlah.  Tapi aku merasa berbeda saat melihat butiran-butiran putih kecil itu jatuh dari langit.  Hatiku selalu bergetar.”
Aku tak menimpal perkataannya.  Aku hanya diam, menatap ke depan, kosong.
“Kalau kau?”
“Hm…?” 
“Hal apa yang paling kau sukai?”
“Aku suka bintang. Sama sepertimu-mungkin juga tidak- hatiku selalu bergetar saat melihatnya. ”

Begitulah seterusnya, kami sering menghabiskan hari-hari berdua.
JKL
Pukul 03. 50 sore
Udara terasa semakin dingin.  Butiran-butiran salju mulai turun dari langit.  Terapung seperti anai-anai yang diterbangkan angin. Menyakitkan. Ini sungguh menyakitkan.
Aku tarik nafas dalam-dalam. Kupejamkan kedua mataku, berharap semuanya terasa lebih ringan. Dan percuma.  Semuanya hanya  membuat hatiku semakin terasa sakit saja.
Saat kubuka kedua mataku,  seorang gadis tiba-tiba telah duduk di sampingku.  Ia hanya diam.  Kedua matanya menatap lurus ke depan. Tak tergambar ekspresi apapun di wajahnya.
Hening. Aku benci suasana seperti ini. Sungguh memuakkan.
Lama sudah waktu berputar tanpa ada satu kata pun yang terucap dari bibir kami berdua.  Dia diam.  Begitupun aku. Kami diam.  Benar-benar diam. Menyebalkan.  Aku harus cepat-cepat akhiri semua ini.
“Aku bingung harus memulai dari mana.” Akhirnya satu kata ke luar dari mulutku, memecah keheningan yang sudah lama berlangsung.
“Bukankah dari seminggu yang lalu kau sudah memulainya?  Lanjutkan saja apa yang ingin kau lakukan.”  Suaranya dingin.  Keceriaan yang selalu muncul di setiap kata yang diucapkannya hilang seketika.
“Kau masih marah padaku?”
“Aku tidak pernah marah padamu.”
“Lalu kenapa kau perlakukan aku seperti ini?”
Meira terdiam.  Entah apa yang sedang dipikirkannya.  Aku benar-benar tak bisa membaca raut wajahnya.
“Jawablah Mei!  Aku perlu penjelasan darimu.  Apa perkataanku tempo lalu salah? ”
Suasana kembali hening. Butiran salju yang selalu membuatnya tertawa riang kini tak mampu menghadirkan tawa itu di wajahnya. Benar-benar hening.  Hanya suara dedaunan yang gemerincik tertiup angin.
“Jika kau tak mau mencintaiku sebagai seorang lelaki,  cintailah aku sebagai temanmu, cukup sebagai temanmu.”  Kembali harus aku yang memecah keheningan.  Suaraku berat.  Kenapa sulit sekali berbicara di saat suasana seperti ini. Sial.
“Apa maksudmu?”  dia melontarkan pertanyaannya tanpa menoleh ke arahku.
“Cintai aku cukup sebagai temanmu saja.”  Tanpa memperjelas perkataanku, aku menjawab pertanyaannya.
“Aku tak mengerti.  Perkataanmu sungguh konyol.”
“Aku tak mau kau merasa terbebani dengan perasaan yang aku punya.”
“Terlanjur.  Kau telah membebankannya kepadaku.”
“Maafkan aku.”  Aku tertunduk.  Rasa bersalah yang begitu besar muncul di hatiku.
“Lalu, bagaimana denganmu?  Apa yang akan kau lakukan?”
“Entahlah”
“Ah… kau malah membuatnya semakin rumit.”
“Kau tidak usah memikirkan aku.  Aku seorang lelaki, dan lambat laun…. Lambat laun aku akan bisa mengatasi semua ini.”  Dengan susah payah seulas senyum berusaha kumunculkan di wajahku.  Aku ingin suasana ini mencair, tanpa beban seperti sekarang ini.
“Bodoh! “   satu kata terucap dari mulutnya.
Aku selalu memikirkan kebahagiaanmu. Tapi kau malah tak memperdulikan kebahagiaanmu sendiri.
Aku membalikkan wajah ke arahnya.  Jantungku yang sejak tadi memompa darahku dengan kencang semakin terasa lebih kencang.
“Apa yang kau pikirkan orang bodoh?” penekanan kata yang diucapkannya sangat derdengar jelas di telingaku.
“Entahlah.”
“Kau akan membunuh cintamu?”
“Jika itu yang terbaik,”
Walau aku tak akan pernah bisa melakukannya
“Bagaimapa kau tahu itu yang terbaik?”
“Entahlah”
 “Bodoh.”
“Waktu kita hanya sebentar lagi.  Dalam waktu dekat aku akan kembali ke Indonesia, mengejar mimpiku menjadi seorang penulis.  Dan kau,  kau sudah bilang ingin menetap di sini.  Paris memang cocok untuk  calon desainer sepertimu.  Aku tak ingin waktu yang hanya sebentar lagi ini kita siakan begitu saja.”
“Bodoh”
Kau, aku sungguh tak akan pernah memaafkanmu. Kesalahanmu sungguh teramat besar. Terlalu besar.  Kau hanya mengakui cintamu. Kau tak pernah menanyakan perasaanku padamu.  Egois! Bodoh! Kau hanya ingin mencintaiku, tanpa pernah memintaku mencintaimu, sebagai kekasihmu.  Dan sekarang, kau malah datang padaku dan menyuruhku mencintaimu sebagai temanmu.  Egois!
“Bodoh.  Kau benar benar bodoh!”






Lost Ending
(November-Desember 2010)

2) A Story About Love-Akhir Sebuah Penantian


A Story About Love
Akhir Sebuah Penantian

Seperti biasa, Dani melaju kencang menuju sebuah sekolah yang letaknya jauh di pusat kota sana. Dengan warisan dari kakeknya, sebuah motor bekjul-- bebek tujuh puluh --  berwarna merah yang senantiasa menemaninya kemanapun ia pergi.
Dani melepas helemnya. Motor bekjul yang suaranya membisingkan itu dia matikan. Dia tinggalkan motor kebanggaan kakeknya dulu itu.  Langkahnya tegap ke luar dari tempat parkir sekolahnya. Kepalanya merunduk, kehidupan yang sederhana membuatnya tak pernah merasa tinggi hati.
Seketika, langkahnya terhenti. melintas di depan matanya, si gadis merah jambu berjalan menuju gerbang sekolah. Kedua pasang mata itu sempat bertemu sekilas. Dani salah tingkah. Si gadis merah jambu pun memerah pipinya. Kerudung putih dan bercahaya yang dikenakannya tak mampu menandingi kemerahan pipinya. Harmoni syahdu mengalun di hati Dani. Tanpa berhenti menunduk, Dani terus berjalan menuju kelasnya.
Telah sekian lama Dani mengagumi gadis imut merah jambu itu. Selain wajahnya yang cantik, otaknya yang cerdas, hatinya seputih salju, Dani melihat ada sesuatu yang beda pada gadis itu. Ia tak tahu apa itu, yang jelas setiap menatap wajahnya yang ayu, hati Dani selalu bergetar. Terdengar alunan melodi dalam hatinya saat kedua mata mereka bertemu pandang.
JKL
 Amanda, Si gadis merah jambu merebahkan tubuh di tempat tidurnya. Segala suasana penat sekolahnya sejenak ia lupakan.  Angannya melayang jauh. Semakin jauh. Pikirannya ia lepaskan, ia bebaskan, ia biarkan pikirannya terbang melayang. Angannya, pikirannya membawa dia pada bayangan lelaki misterius yang selalu tertunduk saat berjalan.
Bayangan itu semakin jelas, semakin nyata di pikirannya. Muncul semacam getaran dalam hatinya. Dawai syahdu mengalun lembut dan…
“Astagfirullah,” sekejap ia singkirkan bayangan itu. Sekuat tenaga ia singkirkan, dan tak bisa. Bayangan itu tak bisa ia hilangkan. Terlalu kuat bayangan itu merasuki pikirannya. Entah kekuatan apa yang kuasa menyimpan bayangan itu dalam angannya.  Kerudungnya yang indah ia lepaskan. Matanya ia pejamkan. Nafasnya ia atur. Coba tenangkan pikiran, dan ia pun tidur.
JKL

“Aku cinta kau,” ucap seorang lelaki dengan tiba-tiba berada duduk di depan Amanda.
Amanda hanya terdiam. Tertunduk.  Pipinya memerah.
“Apa jawabanmu ?”
Amanda masih terdiam. Pipinya semakin merona. Sekejap kemudian, kata-kata perlahan ke luar dari mulutnya.
“Kau pun agaknya  telah tahu apa sebenarnya jawabanku”
Laki-laki itu tersenyum, manis. Wajahnya bercahaya, Dan, suara merdu seruling bambu mulai terdengar menghiasi taman itu. Bunga-bunga sakura berguguran, indah menyelimuti cinta yang tumbuh antara mereka.. Getar dawai-dawai kian terdengar syahdu,  dan….

“Amanda, bangun sayang, sudah waktunya shalat Ashar,”  suara lembut itu perlahan mengusir mimpinya. Amanda terbangun. Masih sulit baginya mendeskripsikan apa yang baru saja terjadi.
“Cepat sana mandi, sudah masuk waktu Ashar, kamu kan belum shalat.”
“Manda masih ngantuk  Bu.”
“Iya, tapi sudah waktunya shalat Ashar, kamu kan belum shalat. Lagian gak kaya biasanya kamu tidur siang!”
“Manda capek Bu, di sekolah tadi banyak tugas.”
“Jangan jadikan alasan rasa capekmu untuk ninggalin shalat, dosa!”  dengan nada yang tegas, ibu Amanda menyuruh dia shalat. Keluarga ini terhitung cukup kaya di wilayahnya. Ayah Amanda yang seorang dokter kian dihormati oleh para tetangganya. Walaupun demikian, keluarga ini tak pernah merasa sombong, angkuh. Bagi mereka, Agama adalah nomor satu. Tak ada alasan atau pembenaran bagi mereka untuk ke luar dari aturan agama, walaupun dalam hal sepele.
Dengan tertatih-tatih, Amanda pun turun dari tempat tidurnya. Perlahan, ia tuju kamar mandi di samping kamar tidurnya.
“Mimpi apa aku tadi? Aneh.”  Kata Amanda dalam hati sambil menatap wajahnya dalam cermin yang tertempel kuat pada dinding kamar mandinya.
“Perasaan apa ini? Cinta kah ? Ah tak mungkin. Aku gak  kenal dia, jadi aku gak mungkin suka sama dia. Tapi kenapa wajahnya selalu terbayang dalam pikiranku, sampai sampai kebawa mimpi segala ? Ah, entahlah. “
Amanda mencuci mukanya. Wajah yang cantik bersih itu semakin bersinar saat terkena percikan air. Rambutnya yang lurus, hitam, yang senantiasa tertutupi kerudungnya terjulur demikian indah.  Ia pelihara mahkotanya itu. Ia sembunyikan perhiasannya itu. Tak ada seorang lelaki pun yang boleh melihatnya, sampai nanti ada seseorang yang kan membawanya lepas dari ayah dan ibunya.
JKL

“Apa mungkin cinta tumbuh diantara dua orang yang tak saling mengenal ?”  Pertanyaan Amanda membuka topik obrolan mereka.
“Kok tiba-tiba kamu ngomongin tentang cinta? Lagi naksir cowok ya !”celoteh Sindy, sahabat Amanda.
“Serius!”
“Weisss, sabar nona manis, Just kidding”
“Habisnya…”
“Oke deh, kita masuk ke forum serius. Maksud kamu dua orang yang tak saling mengenal itu gimana ?”
“Dua orang yang sering bertemu tanpa pernah berkenalan satu sama lain.”
“Kaya kamu sama si Dani ?”
Amanda terkejut, sejenak ia terdiam. Pipinya memerah.
“Kok kamu tahu kalo…”
“Mandaku sayang, kita udah sahabatan dari mulai SMP. Aku udah kenal kamu kayak sodara kandungku sendiri. Aku tahu gimana sikap kamu kalo lagi ngambek, lagi seneng, lagi BT, semua tentang kamu aku tahu. Pandangan kamu kalo liat Dani beda sama pandangan kamu kalo liat laki-laki lain. Gitu juga sebaliknya.”
“Maksud kamu sebaliknya?”
“Diam diam aku sering perhatiin kamu kalo ketemu sama dia. Saat di parkiran, saat di masjid, saat di kantin, dan diam diam aku juga selidikin gimana perasaan dia ke kamu.”
“Terus perasaan dia gimana ?”
“Dia suka sama kamu, jauh sebelum kamu suka sama dia. Dari saat MOS, dia udah naruh hati sama kamu. Dia suka sama kamu.”
“Tapi kan dia belum kenal siapa aku?”
“Mungkin itulah yang disebut cinta pada pandangan pertama. Manda, dengerin yah, cinta itu gak pandang bulu, gak pandang warna kulit. Cinta bisa menimpa siapa saja, kapan saja, dari mana saja dia berasal. Cinta itu air, orang tak bisa hidup tanpanya. Cinta itu udara, orang tak bisa hidup tanpanya. Cinta itu api, yang siap menghanguskan segalanya. Cinta itu matematika, yang selalu memusingkan. Cinta itu anugerah jika dia membawa kita menjadi lebih dekat dengan Sang Pencipta. Cinta itu musibah jika hanya membuat kita lupa dengan-Nya. ”
“Lalu apa yang harus aku lakukan ?”
“Itulah nasib seorang wanita. Kita hanya bisa menunggu dan menunggu.  Tak etis rasanya kalau wanita yang lebih dulu menyatakan cintanya pada seorang laki-laki, walaupun orang bilang sekarang jamannya emansipasi.”
“Hanya menunggu ?”
Sindy terdiam. Sejenak ia rangkai kata-kata yang semoga bisa memberi jalan yang terbaik.
“Hanya menunggu ? Tak adakah tindakan yang lebih berguna selain menunggu ? Bukankan menunggu itu membosankan ? dan adakah jaminan bahwa penantian yang kulakukan tak kan menjadi tindakan yang sia-sia belaka ?
“Bukankah hidup ini pun sebuah penantian, penantianakan datangnya Malakal Maut yang kan laksanakan tugasnya menjemput nyawa kita ? Apakah kita hanya terdiam sembari menunggunya ? Dan adakah jaminan bahwa setelah ajal menjemput, kita akan dibawanya menuju kebahagiaan surgawi ? Kalau demikian, apa gunanya kita hidup kalau toh nanti juga kita akan mati. Apa guna harta, jabatan, kedudukan, bukankah semua itu tak kan kita bawa mati? Kau mengerti kan maksudku? Pendeknya, jangan jadikan penantian ini sebagai sesuatu yang sia-sia. Jangan jadikan penantian ini menjadi penghalang untuk tetap maju meraih mimpi. Lakukan apa yang seharusnya kau lakukan. Dengarkan kata hatimu, dengarkan jiwamu, karena itulah yang kan membawamu pada kebahagiaan yang diridhoi”
Angin semilir menghembus kedua gadis berjilbab itu. Lembut.  Daun-daun ikut melambai tertiup olehnya. Sepasang burung pipit terbang kian kemari, berkejaran romantis. Terik mentari dhuha pun ikut menyertai jalannya hari.
JKL

Sebulan berlalu, tak ada perubahan yang berarti. Sepesang muda mudi itu masih enggan saling sapa. Tiap bertemu, keduanya malah asyik dengan kesalah tingkahan masing-masing.
Sebulan kemudian, Dani mulai bisa mengendalikan diri saat bertemu Amanda. Namun, Amanda masih saja salah tingkah kala bertemu dengan dia. Amanda hanya bisa tersenyum malu kala Dani menyungkingkan senyuman ke arahnya.
Sebulan kemudian, telah ada perubahan yang signifikan. Keduanya telah berani bertegur sapa dengan senyuman, hanya dengan senyuman. Walaupun demikian,  nampaknya telah ada getaran-getaran dalam angan mereka. Apakah itu cinta ? Entahlah.
 Sebulan kemudian, hal mengejutkan terjadi. Saat masuk kelas, Amanda disambut oleh senyuman sahabat karibnya. Senyuman itu adalah senyuman yang khas, yang tak pernah ia lihat dari sahabatnya itu.
“Penantianmu berakhir sudah saudaraku,” sebuah sinar muncul dari wajah Sindy, cahaya kebahagiaan, cahaya kurir cinta yang membawakan sebuah tulisan cinta.
“Maksud kamu ?”
Sebuah amplop berwarna putih ia berikan.
“Amplop apaan ini ?”
“Ampop gaji kakekmu, ya amplop cinta lah dari pangeranmu. Cepet buruan buka, aku juga kan penasaran pengen baca isinya!”
  “Gak boleh, ini rahasia, hanya untuk pejabat penting !” dengan nada bercanda dan wajah malu-malu Amanda menggoda sahabatnya itu.
“Ya ampun ke temen sendiri juga masih pake rahasia-rahasiaan. Inget gak siapa konsultan terbaik buat nampung pertanyaan cinta kamu?”
“Bercanda, gitu aja marah.”
Saat keduanya hendak membuka surat itu, Ibu Asri, guru biologi mereka yang super galak plus sangat judes dan cerewet masuk kelas. Dengan rasa penasaran yang amat sangat, Amanda urung membuka surat itu dan harus rela menyimpannya dalam tas merahnya.
JKL




                           Purwocipto, 16 Mei 2009


Teruntuk
Gadis Merah Jambu
Yang senyumannya manis


Kulayangkan surat ini bukan karena hilang rasa hormatku padamu sehingga aku enggan bertatap muka denganmu, tapi karena aku takut tak kuasa menahan rasa silauku akan sinar cahaya wajahmu.
Mungkin ini aneh dalam    pikiranmu, atau mungkin juga ini mengejutkan karena secara tiba-tiba, lelaki yang tak pernah kau kenal mengirimi kau secuil kertas bertuliskan kata-kata yang tak pernah kau duga sebelumnya. Tapi tolonglah, dengan sedikit kemurahan hati, sudilah kiranya kau membaca surat ini.

Berawal dari waktu MOS setahun yang lalu,  aku bertemu denganmu untuk yang pertama kalinya. Aku salah masuk kelasmu karena aku kira itu adalah kelasku, dan kau adalah orang yang  memberitahuku bahwa itu bukan kelasku. Itu kelasmu, kelas murid-murid jenius-sepertimu. Sejak saat itu, bayanganmu selalu teringat dalam memoriku. Aku pun merasa aneh karena sama sekali bayanganmu tak bisa kuhilangkan dari pikiranku. Seringkali bayangan itu masuk ke dalam mimpiku, mewarnai tidurku.
“Ah mungkin ini cuma kekaguman sesaat,” pikirku suatu ketika. Tapi aku salah. Setelah beberapa minggu kemudian, bayanganmu itu tak hendak pula pergi dari pikiranku. Sejak saat itu aku sadar bahwa ada semacam getaran kuat yang hadir dalam hatiku kala melihat wajahmu. Mungkin itu yang namanya cinta.
Perlahan, tanpa kau ketahui, aku mencari-cari informasi tentang dirimu, sambil aku kumpulkan keberanianku untuk berkenalan denganmu. Selama itu pula aku tanggung semua rintangan dan godaan, serta aku tahan getaran yang ada dalam hatiku ini agar tak pecah menjadi sesuatu yang tak layak disebut cinta.
Selama itu, gelombang getaran ini seringkali naik dan turun, bak ombak samudera kala bulan purnama. Kadang getaran itu semakin kuat, semakin kuat, dan semakin kuat. Tapi tak jarang pula getaran itu dilemahkan dengan keminderanku, rasa rendahku, rasa tak pantasnya aku mencintai seorang bintang sepertimu. “Pantaskah seorang pecundang mencintai sang bintang?” pikirku dalam hati.
Dan setelah sekian lama, terkumpul sudah nyaliku tuk memberikan sepucuk surat ini sebagai tanda keinginanku untuk  berkenalan lebih jauh dengan dirimu. Kalau bersedia, besok pagi aku tunggu kamu di parkiran sekolah, dan persiapkan pula untuk hal yang tak pernah kau duga dan untuk hal yang kan membuatmu shock”

Salam senyuman rendah diri dan rendah hati

Dari orang yang ingin mengenalmu





                                  Dani Muhammad Faisal.


JKL





Cerah cuaca hari ini. Burung pipit pun kian gembira berkejaran kesana kemari. Awan putih nampak tertempel rapi dalam langit biru di atas sana. Semilir angin pagi sedikit demi sedikit masuk ke dalam mobil mercedes merah yang Amanda tumpangi.  Sebuah lagu berjudul First Love lantunan Nikka Costa turut menyempurnakan indahnya pagi.
Tak lebih dari lima menit lagi Amanda kan mengakhiri penantiannya. Seorang lelaki pendiam secara tersirat telah memanah jantung hatinya. Jantung hati yang menaruh harapan dan cinta. Jantung hati yang tak pernah terjamah dan ternoda.  Jantung hati yang senantiasa terjaga rahmat Pencipta.
Perlahan dia buka pintu mobilnya. Ia ke luar. Matanya langsung tertuju pada tempat di bawah pohon sana, tempat dimana Dani selalu meletakan motor butut kesayangannya. Tak ada. Motor bebek tujuh puluh merah miliknya tak nampak di tempat itu.
“Mungkin dia belum datang”  pikirnya.
Ia pun berjalan menuju gerbang. Ia tunggu kedatangan lelaki itu. Semenit, dua menit, tiga menit, Dani tak kunjung datang juga menampakan diri. Lima menit berlalu, sepuluh menit, tak datang juga.
Amanda mulai jenuh.
“Mungkin dia tak akan datang” keluhnya sambil melangkahkan kaki menuju kelasnya.
Saat selangkah kakinya maju, tiba tiba sekitar tiga orang berlarian hampir menabraknya. Dengan terburu-buru mereka masuk sekolah. Tak lama kemudian mereka ke luar lagi, larinya diikuti sekelompok guru yang ikut berlari.
“Mas, ada apa ya ? kok guru-guru sampai berlarian begitu?” tanya salah seorang murid pada satpam penjaga sekolah.
“Itu, ada anak yang kecelakaan.” Jawab sang satpam.
“Siapa ?”
“Anak sekolah sini, yang suka naik bekjul merah”
Seketika hati amanda terkejut. Ia langsung teringat baris-baris terakhir yang Dani tuliskan dalam suratnya: “Persiapkan pula untuk hal yang tak pernah kau duga dan untuk hal yang kan membuatmu shock”.
Hatinya hancur lebur seketika. Pikirannya sulit mempercayai apa yang telah terjadi. Pandangannya seketika buram. Langit yang asalnya cerah indah mendadak mendung kelabu. Awan putih semakin hilang terganti awan hitam. Amanda semakin tak kuasa berdiri. Pandangannya semakin buram, dan gelap. Amanda roboh.

                                      



November 2009