Salju yang Hilang
Butir Salju Terakhir II
Senyum gembira melengkung di wajahku saat
kutatap lekat foto yang menempel di dinding kamarku. Empat tahun sudah foto itu tergantung di
sana. Tapi, aku tak pernah merasa bosan melihatnya setiap hari. Entah sihir apa yang ada di dalamnya sehingga
saat melihatnya, tanpa sadar hatiku selalu merasa sejuk, senyumku pun secara
otomatis bisa melebar begitu saja.
Adalah foto seorang gadis duduk di sebuah
kursi bercat biru. Latar belakangnya
adalah pepohonan rindang yang indah.
Senyum manisnya terkembang, gigi atasnya yang putih terlihat begitu
rapi. Kedua tangannya menengadah ke atas
setinggi bahu. Kepalanya menatap langit,
menjemput butiran-butiran putih kecil yang jatuh dari atas sana. Dia tersenyum, dia tertawa riang. Salju memang selalu bisa membuatnya bahagia.
“Sebentar lagi aku akan menemuimu, gadis
merah jambu. Tunggulah aku di sana, di
kursi biru itu!” bisikku sambil tersenyum kepada gadis itu, kepada gadis dalam
foto itu.
Kreeeeek…
Pintu kamarku terbuka saat aku masih asyik
menatap foto itu. Seorang ibu paruh baya
masuk sambil membawa segelas susu. Dia
melangkah mendekatiku, menyerahkan gelas yang dipegangnya padaku, kemudian
duduk di tempat tidurku.
“Kau sudah memikirkannya matang matang
tentang hal ini?” ucapnya setelah
menghembuskan nafas panjang.
“Sudah.
Keputusanku sudah bulat. Aku akan
pergi,” jawabku sambil melangkah mendekatinya lalu kemudian duduk di
sampingnya.
“Pikirkanlah sekali lagi! Masih belum
terlambat jika kau ingin membatalkannya.”
“Tidak Bu, ini adalah keputusan yang telah
aku ambil. Sayang Bu, tidak semua orang
bisa mendapatkan beasiswa ini.”
Dia tak menjawab. Berat sepertinya untuk melepasku pergi lagi.
“Restuilah anakmu ini Ibu! Semua tidak akan menjadi berkah jika ibu tak
merestuiku,” kataku sambil menggenggam
tangannya dan menempelkannya di dadaku.
Dia merangkulku, memelukku, lalu menangis di
pundakku. Air matannya membasahi
kemejaku. Dalam hatiku aku
berucap, semoga ini bukan sebuah
pembangkangan. Semoga ini jalan yang
Allah pilihkan untukku. Ridhoilah aku
Ibu, ridhoi aku.
JKL
Sinar mentari menembus lurus kaca jendela ruangan
tamu, membentuk hipotenus yang utuh dengan dinding dan lantai sebagai sisi
pengapitnya. Suara burung-burung masih
sayup terdengar walau dhuha telah datang.
Para tetangga dan saudara-saudaraku, baik
yang jauh maupun yang dekat sudah mulai berdatangan. Tanpa harus diundang pun, mereka nampaknya
dengan rela datang ke rumahku. Satu
persatu dari mereka menyalamiku, mengucapkan kata-kata perpisahan padaku. Tak jarang dari mereka yang datang sambil
membawa bingkisan. Namun tak sedikit
pula orang yang memesan oleh-oleh saat aku pulang nanti. Kebanyakan dari mereka adalah anak para
tetangga, dan keponakan-keponakanku yang jarang sekali bisa bertemu denganku di
hari-hari biasa.
Pukul 08.05
Dua jam sebelum keberangkatanku menuju
bandara, lalu terbang menuju Paris. Aku
menuju kamarku, meninggalkan keramaian di ruang tamu rumah kami. Sebenarnya
sangat berat untukku meninggalkan kampung halamanku sendiri ini. Walaupun beberapa tahun yang lalu aku sudah
pernah merasakan indahnya Kota Paris, tetap saja bagiku lebih indah kampung
ini. Di sini aku tumbuh, bermain-main dengan anak-anak yang lain sewaktu
kecil; berburu capung di sawah,
menangkap ikan-ikan kecil di sungai, dan yang paling tidak akan pernah aku
lupakan adalah saat di mana kami berempat, aku dan sahabat-sahabat kecilku
mengikrarkan sebuah janji persahabatan. Ah
sahabat-sahabat kecilku, dimana kalian kini berada ?
Ibu nampaknya mengikutiku ke kamar. Saat aku berdiri di depan jendela kamarku,
dia mengetuk pintu dan masuk. Rasa berat
untuk melepask masih terlihat di raut wajahnya.
“Barang-barangmu sudah kau siapkan semua ?”
Suaranya lembut menyapa telinga.
“Sudah Bu, aku sudah aku masukkan ke tas
semalam.”
“Termasuk pakaian-pakaian hangatmu? Ibu
tidak ingin kau kedinginan saat musim salju tiba.” Nampaknya ibu cukup paham tentang perbedaan
musim di Indonesia dan di Perancis sana.
“Sudah Bu,”
jawabku sambil sedikit mengangguk.
Ibu melangkah mendekatiku. Dia berdiri di sampingku, menghadap ke arah
yang sama denganku, jendela kamarku.
“Ada satu hal lagi yang belum pasti aku
sertakan.”
“Apa itu, cepatlah masukkan ke dalam tasmu,
jangan sampai kau lupa membawanya.
Waktumu sangat terbatas.”
“Restu dan do’amu Ibu, aku ingin memastikan
bahwa kau benar benar merestuiku pergi.”
Aku memutar badanku, menghadap ibu yang masih tetap menatap ke luar
jendela.
Sesaat ibu masih terdiam. Entah apa yang sedang ia pikirkan.
Tak lama kemudian, ibu berbalik
menghadapku. Sambil memegang erat
lenganku dia berkata, “Pergilah Nak, pergilah.
Ibu merestuimu. Carilah ilmu
sebanyak banyaknya. Jadilah
sebaik-baiknya manusia. Pergilah. Do’aku
akan selalu menyertaimu.”
Aku cepat memeluknya. Air mata yang sejak tadi ia tahan tumpah
sudah di pundakku. Dia menangis
tersedu.
“Terima kasih Ibu,” kataku sambil tetap memeluk erat tubuhnya.
JKL
Jardin du Luxenbroug masih terlihat indah
seperti tahun-tahun yang lalu.
Pohon-pohon rindang masih tetap tumbuh mengelilinginya. Kursi biru yang kini aku duduki masih
terletak di posisi yang sama, hanya catnya yang berubah, lebih terlihat segar. Mungkin belum lama di cat ulang. Paris memang selalu memperhatikan keindahan
sampai pada hal-hal yang kecil seperti
kursi taman ini. Tidak seperti
Indonesia, sebelum reot dan ambruk, mereka tidak akan mau mengganti kursi yang
sebenarnya sangat berpengaruh terhadap keindahan taman seperti ini.
Hari ini aku berniat mengunjungi
kenalan-kenalan orang Paris-ku dulu. Aku
ingin mengatakan bahwa aku telah kembali ke Negara mereka. Mereka pasti akan sangat terkejut melihatku
yang tiba-tiba berada di hadapan mereka.
Namun sebelumnya, aku mampir dulu ke taman ini, sekedar melepas rindu, sembari
hendak mengirim e-mail kepada gadis merah jambu itu.
From : Agus Guntoro
To : Meira Putri Gunawan
Subject : Hallo….
Tiga
tahun sudah kita berpisah. Kuharap kau
masih ingat siapa aku. Sebelumnya aku
mau minta maaf, karena selama di
Indonesia, aku tidak pernah
menghubungimu. Tentu ada alasan mengapa
aku melakukannya. Jangan harap aku akan
menceritakannya sekarang, karena aku tidak akan melakukannya.
Ah
astagfirullah, aku lupa mengucap salam pembuka.. hehe…
Assalamu’alaikum
wahai Meira Putri, apa kabar ? hehe…
Menyambung
perkataanku di awal tadi. Aku sungguh
ingin sekali bertemu denganmu. Ada
sesuatu yang ingin aku katakan padamu.
Aku ingin berbicara langsung denganmu.
Cepat hubungi aku di nomor 085220453413 secepatnya setelah kau baca
e-mailku ini. Aku menunggumu.
Wassalam
Aku menutup laptopku. Jaringan nirkabel yang tersedia di taman ini
begitu membantuku, dan para pengunjung lain tentunya. Kumasukan laptop ke dalam tas. Saat itu aku melihat sebuah buku berukuran
sedang ada di dalam tasku. Aku tersenyum
sendiri. Aku ke luarkan buku itu dan ku
buka lembar demi lembar buku tersebut.
Ada getaran yang tiba-tiba saja muncul di dadaku. Entahlah, aku tidak
tahu apa itu.
JKL
Pukul 08:00 malam, dua hari setelah
kukirimkan e-mailku itu.
Sambil tiduran di tempat tidurku, aku
melihat langit-langit kamar yang di cat warna putih. Pikiranku melayang, entah ke mana dia terbang. Aku melepasnya
begitu saja.
“Mengapa kau belum menghubungiku juga, wahai
gadis merah jambu ?” ucapku dalam hati sambil menatap layar handphone ku yang tak kunjung menyala.
“Apa kau telah melupakanku? Apa kau tak ingin bertemu denganku lagi ?
Atau, ah sudahlah, aku tidak boleh
berpikiran macam-macam. Mungkin dia
belum membuka e-mailku.”
Aku duduk, lalu berdiri. Saat baru saja aku melangkahkan kakiku, handphone-ku
berdering. Suaranya semakin keras. Aku cepat menyambarnya dari atas tempat
tidurku.
Nomor baru.
Aku cepat mengangkatnya.
“Hallo..”
“Apa
yang ingin kau bicarakan?” Suara dari seberang sana langsung menusuk
telingaku
“Wa’alaikum salam, hehe… sabar dong,
segitu kangennya ya sama aku ?” kataku menggoda.
“Ke
mana saja kau selama ini ? Berkali-kali
aku menelfonmu tak pernah nyambung juga.
E-mailku tak pernah kau balas.
Boddoh..”
“Handphone
ku kecebur sungai dan hanyut terbawa arus.
Kau pasti tidak akan mengerti bagaimana derasnya arus sungai di
kampungku. Aku tidak ingat nomormu.”
“Alasan.. Kau kan
bisa mengirim e-mail padaku.”
“Kampungku jauh dari warnet. Dan asal kau tahu saja, di kampungku tak ada
jaringan internet,” kataku berdalih.
Sebenarnya bisa saja aku membalas e-mailnya karena aku tak tinggal di
kampung selama kuliah di Indonesia. Aku
menyewa kamar kost yang jaraknya cukup dekat dengan kampusku.
“Jadi
ini alasan yang kau maksud dalam e-mailmu ?
”
Aku tak menjawab, hanya sedikit
menyunggingkan senyum di wajahku.
Pukul 10:01 malam
“Hari sudah larut. Besok aku tunggu kau di Jardin du Luxenbroug
pukul dua siang,” kataku menutup pembicaraan yang telah cukup lama terjadi.
“Boddoh..”jawabnya
sambil memutuskan sambungan.
JKL
Pukul 02:30
Aku sengaja datang terlambat, lebih
tepatnya, terlambat menghampirinya. Aku
ingin mengenang saat pertama kali melihatnya, duduk manis di kursi biru,
memakai baju warna merah jambu. Sungguh indah.
Dan sekarang, aku melihatnya kembali. Aku benar-benar melihatnya kembali. Dia duduk di kursi biru itu. Hanya saja pakaian yang dia kenakan berbeda
dengan waktu itu. Dia memakai baju warna
putih dengan bawahan rok panjang hitam.
Wajahnya sudah bisa ku lihat dengan jelas walau dari jarak
bermeter-meter. Sesekali dia melihat
tangan yang dia pakai. Aku tahu dia
pasti sudah bosan menungguku.
“Sudah lama menunggu?” ucapku dengan ekspresi wajah datar tanpa ada
rasa bersalah.
“Ke mana saja kau? Sudah satu jam aku duduk
di sini menunggumu.”
“Kau tidak rindu padaku ?”
“Tidak,” jawabnya sambil memalingkan muka.
“Benar-benar tidak rindu ?”
“Tidak”
“Sayang sekali, padahal aku selalu
merindukanmu.”
“Aku membencimu. Buat apa aku merindukan orang yang kubenci?”
“Kau membenciku?”
“Ya, aku sangat membencimu.”
“Sayang sekali, padahal aku selalu…” Aku menghentikan perkataanku. Hampir saja.
Dia berbalik menatapku
“Ayo ikut aku!” kataku sambil meraih
tangannya.
“Mau pergi ke mana ? kukira kita akan mengobrol di sini.”
“Ayo ikuti aku saja, jangan banyak
komentar.”
Aku membawanya ke sebuah bukit kecil yang
tidak terlalu jauh dari taman itu. Di
sini cukup sepi, dan itu yang aku cari.
Aku tidak ingin ada orang berlalu lalang di depan atau di belakan kami
saat kami berbicara.
Bukit yang indah. Hamparan pemandangan yang ada di depan sana
begitu menyejukkan mata. Kesunyiannya pun juga menyejukkan hatiku yang
sejak tadi selalu bergemuruh.
“Kau ingin tahu kenapa aku tak pernah
menghubungimu sejak pulang ke Indonesia?”
Aku membuka pembicaraan sambil membalikkan badanku, menghadap gadis
merah jambu itu yang sejak tadi duduk di belakangku.
“Karena handphonemu
hanyut di sungai ? karena rumahmu jauh
dari warnet?” Nada suaranya tinggi.
“Bukan.
Ya. Maksudku, itu sebagian kecil dari alasanku.”
“Lalu apa alasan utamamu tak pernah
menghubungiku?”
“Aku sedang menyelesaikan sebuah proyek,
proyek besar. Dan selama aku
menyelesaikannya, aku berjanji tidak akan menghubungimu dulu.”
“Kau takut aku akan mengganggu pekerjaanmu?”
“Bukan, bukan itu. Ada hal lain.”
“Apa ?”
Ingin sekali rasanya aku mengungkapkannya
semua. Tapi hatiku selalu
melarangnya. Entah kenapa, mulutku sulit
mengatakannya.
“Karena aku masih mencintaimu.”
Dia terdiam.
Kepalanya menunduk. Aku tak bisa
membaca raut wajahnya.
“Waktu tiga tahun tak cukup untukku bisa
melupakanmu. Kita memang tak pernah
berhubungan dan bertatap muka lagi. Tapi
semua itu justru membuatku semakin merindukan dan mencintaimu.”
Dia masih terdiam.
“Satu hal yang aku sadari ketika berada di
Indonesia, bahwa aku hanya mengungkapkan perasaanku padamu, tanpa membiarkanmu
mengatakan perasaanmu kepadaku. Kini aku
sadar itu adalah kesalahan yang besar dan fatal.
Sekarang, aku ingin mendengar kau
mengucapkan perasaanmu padaku.
Katakanlah!”
Meira masih terdiam. Kepalanya masih tertunduk. Mungkin berat untuknya mendengar semua
ucapanku. Mungkin juga berat untuk
mengungkapkan semua perasaannya padaku.
“Bodoh.”
Akhirnya dia berkata.
“Dulu aku mencintaimu, sebelum kau memintaku
untuk mencintaimu dalam konteks yang berbeda, hanya sebagai teman. Tanpa kau sadari, aku sungguh kecewa saat
itu. Aku benar benar kecewa. Sekuat hati
aku berusaha menuruti permintaanmu, mencintaimu hanya sebagai teman saja.
Bodoh. Kau memang bodoh. Sejak kau
pulang ke Indonesia, kau tak pernah menghubungiku. Kau tak pernah menjawab telfonku. Kau tak pernah membalas semua e-mailku. Aku pikir semua sudah berakhir. Aku pikir
kau telah dengan mudahnya melupakanku.
Semua ini salahmu.” Suaranya
lirih. Begitu halus.
“Maafkan aku.”
“Cukup lama untukku bisa membangkitkan
semangatku menjalani kehidupan. Aku
sungguh terpukul dengan kepergianmu.
Sekarang, kau datang lagi, membawa cintamu untukku. Apa yang harus
kulakukan? Kau sungguh membuatku berada
pada keadaan yang sulit.”
“Katakan saja perasaanmu padaku. Apapun yang kau katakan, aku akan rela
menerimanya.”
“Semua tak semudah yang kau pikirkan. Kau
tahu ? aku kini tak sendiri lagi. Telah
ada seorang laki-laki di sampingku. Dia
sangat mencintaiku. Dan aku, aku juga mencintainya. Aku tak ingin menyakiti perasaannya. Tapi aku juga tak ingin menyakiti perasaanmu.”
Seketika, langit seakan runtuh. Kakiku rasanya tak kuat menopang berat
tubuhku sendiri. Semua suram. Dengan tenaga yang tersisa, aku berbalik,
memutar badanku ke arah kaki bukit sana.
“Aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa,” aku berteriak panjang. Itu untuk kebodohanku tiga tahun lalu.
“Aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa,” itu untuk kebodohanku selama di Indonesia.
“Aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa,” dan itu untuk
semua kebodohan yang pernah aku lakukan.
Aku menyesal. Aku kecewa pada diriku sendiri. Sulit rasanya kini memaafkan kesalahan yang
pernah aku perbuat.
Perlahan, aku membalikkan badanku, menatap
gadis itu kembali. Aku keluarkan buku
berukuran sedang dari tasku, kuberikan
padanya sambil berkata, “ Inilah proyek besarku, proyek yang membuatku berjanji untuk tidak
menghubungimu. Dari dulu kau tahu bahwa
aku ingin sekali menjadi seorang penulis, dan itu hasilnya. Sebuah novel, tentang kau, tentang aku, tentang kita
berdua. Aku tulis itu untukmu. Terimalah.
Mungkin takdir hanya mengizinkan kita untuk berteman, tidak lebih. Aku hormati itu. Aku terima.”
Suasana hening, benar benar hening. Aku kini menyesal memilih tempat hening ini
untuk membicarakan hal ini. Keheningan
ini kini justru semakin membuat sesak dadaku, semakin membuat nafasku terasa
berat. Aku menyesal.
(Desember 2010)
2 komentar:
Cem, baca ulang cerpen ieu!!
:)
emang naon kitu Gus?
Posting Komentar