From T to F
Ketika bintang telah hilang
Ketika mentari tak juga datang
Dan ketika mulut tak bisa berkata lantang
Pertama kali bertemu, kamu tak mengenaliku
Begitu pun aku
Dengan lugas aku melewatimu
Kamu yang pertama memanggilku
Kamu memakai baju biru kehitaman bertuliskan namamu
di dada kananmu
Pertemuan kedua, kamu yang terlebih dulu menungu
Tepat waktu
Ah, kamu memang sangat menghargai waktu
Entah pertemuan keberapa
Kamu menghentikanku di jalan
Di tempat kita nanti, boleh bawa motor
Tanyamu
Aku tak tahu
Aku tak punya ketegasan untuk bilang iya atau tidak
Itulah aku
Lalu kita kian sering bercakap cakap,
Kita semakin dekat.
Iya, itu kesalahanmu.
Tidak, itu kesalahanku.
Ah bukan! Cinta tak pernah salah, katanya
Cinta? Sejak
kapan ia ada?
Ah, cinta!
Aku
mencintaimu tanpa tahu mengapa, atau kapan, atau dari mana
Aku
mencintaimu lurus,
Tanpa
macam-macam, tanpa kebanggaan;
Demikianlah
aku mencintaimu
Karena
aku tak tahu cara lainnya
(Pablo Neruda—Soneta XVII)
Sukamakmur, 16 Juli
Ah, kamu menangis
Dan aku tak bisa berbuat apa apa
I
just can hold on your hands
Kamu tahu? Itu pertama kalinya aku memegang tangan
wanita!
The
first time I hold your hand
The
first time you cry in my hand
Saat itulah satu-satunya yang ada dipandanganku
adalah kamu
Dunia mengabur.
Tak ada yang
kupedulikan lagi selain dirimu
Persetan moral, persetan etika.
The
more I know you, The more I love you.
Ah tidak! Lagi lagi cinta.
18 Juli:
Ulang tahunku.
Let
me tell you a little secret!
Sebenernya aku lahir tanggal 17 sehabis maghrib.
Karena kesalahan kecil, di semua dokumen tanggal
lahirku tertulis 18 Juli.
“You are the best gift. Thanks for coming to my
life”
Hari pertama di rumah
Dia langsung menemuimu!
Kamu langsung menetapkan pilihan!
Terlihat simpel
Iya kah? Sesimpel itukah?
Secepat itu?
Yah, itulah keputusanmu!
Dua bulan memang tak kan bisa mengalahkan 6 tahun!
Walau sebenarnya bukan masalah siapa kalah atau
menang.
Hati
ini terikat mimpi sedih dan pedihmu,
orang yang terpilih sesuai kehendak hatimu sangat bahagia. Pandangan matanya terpaku padamu, di
hadapannya kamu tidak menyadari bahwa hatimu bimbang demi cinta
(Pushkin, Terjerat Impian Sentimentalmu)
Lepas dari itu semua,
Whatever
happens,
When
you fall down I’m the first on your list
Ketika kamu jatuh, biarkan aku menolongmu!
Ketika kamu butuh seseorang, cari aku, temui aku!
Anytime
anywhere, turn around and I’ll be there to shine-shine your way
(Owl City ft Yuna- Shine Your Way)
Dan ketika suatu saat nanti, ingatlah, pernah ada
laki laki yang begitu tulus menyayangimu!
Namun
di dalam hari-harimu yang sunyi dan sedih,
Kumohon
sebutkan namamu dengan lirih
Katakan
bahwa “ada yang sedang merindukanku”
Di
dunia ini aku hidup di dalam hati sesorang yang merindukanku
(Pushkin—Namaku)
Bila
ketetapan Tuhan
Sudah
ditetapkan, tetaplah sudah
Tak
ada yang bisa merubah
Dan
takkan bisa berubah
Relakanlah
saja ini
Bahwa
semua yang terbaik
Terbaik
untuk kita semua
Menyerahlah
untuk menang
(Dewa -- Hadapi Dengan Senyuman)
seperti yang pernah kubilang,
tak ada yang lebih penting (bagimu)
selain kebahagiaanmu sendiri.
dan kulihat kamu mulai tertawa bersamanya
maka mungkin kehadiranku kini tak dibutuhkan lagi.
yang bisa kulakukan saat ini hanyalah berdoa semoga
dia (yang kau pilih)
adalah orang yang tulus mencintaimu
adalah orang yang bisa membahagiakanmu
Di sini aku.
Ya, masih di sini. Pagi sehabis hujan, matahari yang masih enggan dan
mozaik-mozaik kenangan.
Jika segala tentangmu memang harus dilupakan, aku ingin melakukannya pelan-pelan. Seperti seorang lelaki yang melepas kekasihnya di stasiun kereta, dengan lambaian dan deru lokomotif yang berjalan perlahan. Maka jika mataku menjadi berkaca-kaca memandang rambutmu yang murung, hingga mengaburkan cara pandangku tentang kenyataan, aku bersedia memejamkannya: Untuk kubasuh pipiku seperti puisi-hujan membasahi tanah-pagi.
Demikianlah aku selalu mencintaimu, jauh, sejauh kepergianmu. Bagai doa yang kupanjatkan setiap hari agar takdir menghancurkan lantai waktu dan Tuhan tak memberiku kesempatan untuk pernah mencintaimu.
Jika segala tentangmu memang harus dilupakan, aku ingin melakukannya pelan-pelan. Seperti seorang lelaki yang melepas kekasihnya di stasiun kereta, dengan lambaian dan deru lokomotif yang berjalan perlahan. Maka jika mataku menjadi berkaca-kaca memandang rambutmu yang murung, hingga mengaburkan cara pandangku tentang kenyataan, aku bersedia memejamkannya: Untuk kubasuh pipiku seperti puisi-hujan membasahi tanah-pagi.
Demikianlah aku selalu mencintaimu, jauh, sejauh kepergianmu. Bagai doa yang kupanjatkan setiap hari agar takdir menghancurkan lantai waktu dan Tuhan tak memberiku kesempatan untuk pernah mencintaimu.
(Fahd
Djibran-Untitled)