Subscribe:

Pages

Sabtu, 15 Desember 2012

Tanpa Judul

Kubiarkan saja alunan lagu dari Naff berjudul Kau Masih Kekasihku itu mengalun datar merayap dari satu neuron menuju neuron lain otakku.  Hanya itu yang bisa kulakukan sambil mencoba menghapusan lukisan senyummu dalam lamunku.  Kubisikkan sebuah cerita rinduku pada bintang, karena kutahu bintang adalah penjaga rahasia terbaik yang tak kan pernah berkhianat, walau terkadang aku berharap salah satu dari bintang-bintang itu membocorkan ceritaku dan menyampaikan padanya.  Aku kemudian diam, menghentikan seluruh melodi dalam saraf-saraf yang masih bergetar menghantarkan rangsangan dari otakku.

Kamis, 15 November 2012

Surga

Seorang lelaki dan seorang wanita berpinggiran berbaring terlentang di sebuah halaman rumah.  keduanya asyik menikmati malam dengan melihat bintang bintang yang gemerlap bersinar.  Sesekali mereka tertawa sambil menunjuk ke arah bintang bintang di atas sana. Suasana hening menyelimuti mereka berdua, hanya bunyi dari kayu yang terbakar api unggun yang ikut  menyertai mereka.

Dalam beberapa saat, keduanya diam dengan pikirannya masing masing.

"An," panggil si lelaki.

Minggu, 04 November 2012

Aku Cinta Padamu

Aku mencintaimu seperti embun mencintai malam
Aku mencintaimu seperti bayangan mencintai cahaya
Aku mencintaimu seperti siang mencintai matahari

Ketika aku tidur, aku ingin kau ada di mimpiku
Ketika kurindu, kuingin kau belai rambutku

Hingga terjaga lagi nanti, aku ingin tetap mencintaimu

Kamis, 18 Oktober 2012

Antara Kita


“Hallo,”  suaramu yang serak dan berat menyadarkan ku kembali dari lamunan.  Senyummu seperti biasa, mengembang tanpa beban.

“Hmm,” kataku enggan.   Kamu tak bersuara lagi, hanya diam dan menatap wajahku dalam.  separuh nyawa yang terlambat akhirnya memenui kesadaranku. Aku baru ingat tentang cara dan kebiasaanmu  saat dekat denganku.  Kamu tak pernah mau duduk di sebelah kiriku.  Katamu, kamu ingin menempatkan diri kamu sendiri di posisi yang benar untukku, di posisi yang paling baik menurutmu.  Meski aku pernah berkata bahwa posisi duduk tak menentukan  baik tidaknya seseorang, kamu tetap saja keras kepala dan tak mau merubah keyakinanmu.  Kamu akhirnya berhenti memperhatikanku dan mau duduk di sebelahku setelah aku menggeser sedikit posisi dudukku.

“Ko mukanya ditekuk gitu? “  Dengan sedikit memiringkan badanmu, kau kembali menatapku.  “Ada masalah?”  Kamu memang selalu peduli padaku. Namun sayangnya, kamu sama sekali tidak peka terhadap apa yang sebenarnya kurasa, yang mungkin  kamu rasakan juga.  Atau jangan jangan aku sendiri yang terlalu berharap bahwa kamu akan mengerti perasaanku.  “Ko diem aja? Kamu lagi dapet?”  kamu kembali bertanya.

Jumat, 14 September 2012

Greet

"Assalamu'alaikum," ingin sekali aku ucapkan kata itu untuk mengawali pembicaraan kita.

"Aku iseng baca salah satu postingan di blog kamu," ucapku sebelum kau balas salamku.

"Hatiku terenyuh membacanya," lanjutku.

"Kamu sekarang di mana?"  Rasa penasaran membuatku ingin terus bertanya.

Jumat, 07 September 2012

Ketika Hamba Marah pada Tuhan-nya


Langit berubah jadi abu
Aku tak mengerti apa yang terjadi
Hanya aku tahu ini bukan karena letusan gunung berapi
Atau awan mendung pembawa hujan

langit tiba tiba saja gelap
Lalu kemudian aku tak bisa melihat lagi biru langit.
Aku MenyalahkanNya atas apa yang terjadi

Jumat, 31 Agustus 2012

Andiana, Mawar Itu Mekar Kembali

Orang bilang, kaktus tak bisa tumbuh di gunung
     dan mawar tak mungkin tumbuh di gurun
Mereka salah
Telah kutemukan tangkai mawar yang bisa tumbuh di gurun
Dengan wanginya ia meng-indahkan hari-hari hidupnya.
Sampai suatu ketika, Ia layu

Catatan Kecil-Serupa Tapi Tak Sama


Mawar
Beberapa bulan yang lalu, namaku banyak disebut media media informasi, baik media elektronik maupun media cetak. Namaku bahkan sempat menjadi headline  surat kabar kabupaten.  Bagi mereka pemburu berita,  penderitaan yang aku rasakan merupakan sebuah santapan sedap untuk mengais rejeki.  Sudah sepantasnya memang, aku tak menyalahkan mereka. 

Rabu, 01 Agustus 2012

Langitku

Langitku yang biasa adalah langit yang cerah.  satu-satu awan berarak, namun tak cukup angkuh untuk menghalangi matahari dan sinarnya.  Sesekali angin berhembus, pelan-kencang, namun tetap damai.  Anak-anak pun gembira menerbangkan aneka warna dan gaya layangan mereka di langitku yang indah.  setiap hari berlangsung seperti itu, hingga aku merasa ada yang aneh antara kita berdua.  kau tak lagi antusias dengan celotehan-celotehanku.  kau tak lagi tertawa dengan lelucon-lelucon kecilku.  Kau tak lagi bisa lepas berbicara denganku.  Sejak saat itu, langitku berubah kelabu.  Sesekali guntur mengguruh angkuh.  Anak

Jumat, 27 April 2012

6) Draft









Draft


Kapan lagi kutulis untukmu
Tulisan tulisan indahku yang dulu
Pernah warnai dunia
Tulisan  terindahku hanya untukmu

Mungkinkah kau kan kembali lagi
Menemaniku menulis lagi
Kita arungi bersama
Puisi terindahku hanya untukmu

Lagu Jikustik berjudul Puisi itu diputar winamp ber-skin Big Bento begitu saja, tanpa aku hayati, tanpa aku resapi makna yang ingin disampaikannya.  Mataku tertuju pada tulisan berbentuk Kazuka Mincho Pro B  berukuran 12 yang tergambar dalam microsoft word 2003 yang sebenarnya sudah usang. Jari-jariku tertempel pada Keyboard bermerk K-One tanpa mengetik satu hurup-pun. Anganku terlanjur melayang ke tempat antah berantah dalam waktu yang tak kuingat lagi kapan.

Kamis, 19 April 2012

Rumput Hati

Ketika malam tiba
rumput berkata senyap
dalam sepi
kudengar lirih bernyanyi

ah
kurasa menangis
meratapi luka yang teramat perih

Dusta
Kau bilang dosa dengan luka

Dengarlah lirinya kembali menangis
Rumput itu kembali menangis



Senja Di Kota Hujan

Bulan sepi sendu
 senjamu guratkan rindu
Dinginmu pilu, mendung, kelabu.


Tak kudengan bait puisiku mengalun
 begitu juga dirimu
bak siang ditelan waktu.

 
Bulan sepi sendu
Dalam langit putihmu
kulihat jelas wajahmu.

Sepi


 Berlari sendiri, mencoba menggerakkan kaki secepat mungkin
Aku tak ingin berhenti, namun laju langkahku semakin tak pasti. Tak ada energi yang tersisa, tak ada tarikan atau dorongan yang bisa sedikit meringankan napas
Aku terjatuh, dalam gurun luas tak berpenghuni, berbaring terlentang tanpa energi. Aku tersiksa. Merintih, perlahan terbunuh sepi

Jumat, 30 Maret 2012

Negeri Mimpi


Dengarkan aku berbicara
Tentang negeriku yang indah ini.
Negeriku bernama negeri mimpi
Seperti namanya negerinya, rakyatnya pun pandai bermimpi
Kami bermimpi menjadi negeri nomor satu
Nomor satu dalam hal apa saja,
Mulai dari nomor satu dalam bicara,
Nomor satu dalam menghayal,
Dan nomor satu dalam bermimpi tentunya.

Pekerjaan kami adalah bermimpi
Dari pagi sampai malam hari, kami terus bermimpi
Hidup kami adalah mimpi.

Kami adalah negeri yang kaya
Dari kecil kami sudah diajarkan bagaimana cara hidup orang kaya;
Boros, hura-hura adalah pendidikan utama kami.
Kami tak peduli terhadap orang susah. Toh kami sudah kaya.
Tuhan menciptakan kami untuk kaya
Ya kami kaya
Masa bodo dengan orang susah di sekitar.
Mereka miskin dan kami kaya.
Kadang kami bersenang senang dengan mereka.
Memberi recehan sambil menyeringai
Sungguh menyenangkan.
Mereka adalah mainan.
Negara kami adalah negara kaya.
Walau pendiri negara adalah maling, kami tetap saja kaya.
Lihatlah berita,
Lihatlah pemimpin kami
Mereka bicara, dan dapat uang.
Mereka tidur pun dapat uang.
Mereka menggoreskan coretan tangannya, juga dapat uang.
Alangkah enaknya memimpin bangsa ini.

Bagi kami, uang adalah raja.
Uang adalah segalanya
Orang melepas agama demi uang
Orang melepas kehormatan demi uang
Orang berjina juga demi uang.
Orang mengemis demi uang
Ah salah
Di negara kayaku, tak ada pengemis
Yang ada peminta-minta.

Julukan untuk negara kami adalah
Negeri sinetron.
Bukan karena tayangan tipi kami hanya sinetron.
Lihatlah di atas sana
Banyak orang bersandiwara.
Peran mereka berbeda beda.
Ada peran sebagai polisi
Coba tebak,
Nenekku kemarin membuat surat bebas mengemudi
Anehnya, dia lolos tes
Padahal nenekku buta huruf dan buta keseimbangan.
Untuk berdiri saja susah, apalagi untuk injak gas.

Kemarin aku pergi ke kota.
Dengan lima puluh saja, lampu merah bebas kutebas.
Keren bukan?

Ada pula yang berperan jadi anggota dewan.
Tidur di kursi empuk saat rapat dapat gaji.
Tak perlu pusingkan urusan rakyat.
Hebat bukan?

Namun ada satu adegan yang sama yang mereka perankan.
Berpura pura baik depan atasan
Supaya naik gaji atau pangkat
Padahal atasan mereka sama sama tukang pura pura.

Berpura pura membela rakyat,
Cerita lama.

Hobi kami adalah berpura-pura
Namanya juga negeri sinetron.
Berpura pura baik,
Berpura pura peduli,
Pura pura pintar.

Pemuda pemuda negara kami adalah pengekor yang hebat.
Kami dijuluki generasi anak ayam.
Ketika arus mengalir ke selatan, kami berlari berbondong menuju selatan
Ketika arus mengalir ke barat, semua sibuk pergi ke barat.
Aneh sekali jika ada orang yang tegar diam, bahkan melawan arus.

Soal berteriak, kami jagonya.
Hematlah energi, bumi makin panas.
Kalo bumi panas, badan jadi gerah.
Kalo badan gerah, tinggal pake pendingin ruangan.
Gerah hilang. Pintar bukan.

Hematlah energi, minyak bumi mahal.
Kalo minyak mahal, BBM naik.
Kalo BBM naik, rakyat miskin sengsara.
Di sana-lah kami kembali berpura pura peduli
Kalo BBM naik, kita demo saja.
Blokir jalan, bikin kemacetan di mana-mana
Rusak mobil-mobil yang melintas
Rusak sarana lalu lintas.
BBM tak jadi naik karena pemerintah kami memang pengecut.
BBM tak jadi naik, hanya saja masalah baru mucul.
Butuh biaya perbaikan sarana.
Kami memang pembuat masalah. Hebat bukan?

Di sekolah,
Kami diajarkan moral dan sopan santun.
Kami diajarkan ilmu kewarganegaraan.
Saat bel pulang, kami lupa pancasila itu ada berapa

Di sekolah, kami diajarkan menghafal
Menghafal apapun,
Apapun
Termasuk hal tak berguna.
Kami diajarkan menghafal.
Tak penting masalah pengamalan.
Yang penting hafal, dan kami jadi juara.
Juara konsep, hingga kami sangat pandai bicara.
Bicara memang lebih keren daripada bertindak.

Teori simpel dibikin serumit mungkin
Kan biar keren.
Kami diajarkan memecahkan masalah
Dengan konsep yang telah ada
Dengan konsep yang telah kami tulis.
Saat catatan kami hilang, tinggal nyontek catatan orang.

Ah
Memang seru membicarakan negeriku ini
Memang seru tinggal di negeriku ini.
Di sini kami tinggal bermimpi,
Di sini kami hanya butuh bicara
Di sini kamii hanya butuh kejelekan orang lain untuk tertawa
Di sini kami hanya butuh kekurangan orang lain untuk berbangga.

Sabtu, 17 Maret 2012

5) Salju yang Hilang









Salju yang Hilang
                               Butir Salju Terakhir II

Senyum gembira melengkung di wajahku saat kutatap lekat foto yang menempel di dinding kamarku.  Empat tahun sudah foto itu tergantung di sana. Tapi, aku tak pernah merasa bosan melihatnya setiap hari.  Entah sihir apa yang ada di dalamnya sehingga saat melihatnya, tanpa sadar hatiku selalu merasa sejuk, senyumku pun secara otomatis bisa melebar begitu saja.

4) Bulan, Bintang, dan Malam











Bulan, Bintang, dan Malam

Ada sesuatu hal yang mengganjal di otakku hingga aku tak bisa berpikir jernih lagi, menimbang apa yang harus aku pertahankan atau aku lepas, kukejar atau kulepas.  Semua berlangsung begitu saja tanpa bisa kukendalikan.  Hanya keadaan, ya, hanya keadaan mungkin yang saat ini bisa kusalahkan.

Jumat, 02 Maret 2012

3) Butir Salju Terakhir


Butir Salju Terakhir

“Baiklah, kutunggu kau di Jardin du Luxenbroug, tepat jam 4 sore.”
JKL

Hari cukup cerah untuk awal musim dingin.  Udara luar semakin terasa dingin, sampai harus kututup jendela asramaku rapat-rapat.  Mesin penghangat ruangan terpaksa kunyalakan,  walau aku tak suka aroma uap buatan yang dihasilkannya.
Berkali-kali tombol up pada remote kutekan, terus kutekan, agar ruangan yang dingin menjadi hangat. Dan tetap saja semua itu tak mampu membuatku merasa hangat.  Aku tetap kedinginan.  Badanku dingin, hatiku dingin, hatiku membeku.
Kutopangkan kepala kepada kedua sikutku pada meja dihadapanku. Meja belajar yang telah berdiri di depan jendela sejak aku datang ke sini.  Atau mungkin meja itu telah berda di sana jauh sebelum aku menginjakkan kaki di sini, di negeri ini,
Entahlah…

Mataku terpejam, seolah terlalu menyilaukan bagiku untuk menatap seberkas cahaya yang menembus kaca-kaca jendela. 
Hatiku dingin, hatiku beku, hatiku bergetar, kemudian diam.  Hatiku sakit, hatiku gundah, hatiku, ah…
Kuusap wajahku kembali, berharap masalah ini sedikit terasa ringan.
Tuhan, Kau selalu menolongku dalam keadaan apapun.  Tapi mengapa sekarang kau biarkan aku ? kau tinggalkan aku?

JKL

Pukul 2 siang
Matahari sepertinya sudah kehilangan energi panasnya. Sinarnya yang begitu cerah tak lagi disertai kehangatannya.  Ada apa? Apa awal musim dingin yang lalu seperti ini ? Secerah ini? Seingatku tidak.  Atau mungkin ingatanku yang telah rapuh. Ah.. kurasa tidak juga.  Aku masih bisa mengingat kejadian-kejadian lalu. Setahun yang lalu, dua tahun yang lalu,  tiga tahun yang lalu, bahkan sejak pertama kali aku menginjakkan kakiku di tanah ini.  Aku masih ingat.
Aku pun masih ingat saat pertama kali mengunjungi  taman ini.  Kulihat pohon-pohon yang rindang,  orang orang yang berlalu lalang-sambil tertawa lepas, saling berpegangan tangan, saling berpelukan-.  Kursi bercat biru di bawah pohon yang diduduki seorang gadis berbaju merah jambu. Ah… gadis merah jambu itu.

Hallo Miss, may I sit here?”  Kataku menyapa dengan logat jawa yang kental.
Gadis itu terdiam sejenak.  Sepertinya ada sesuatu yang sedang dipikirkannya. “Of Course.” Akhirnya dia menjawab.     Are you an Indonesian?” timpalnya kemudian.
Kali ini giliranku yang terdiam sejenak, memproses suatu keanehan dalam otakku.
“Yes, I am.  How can you know it?” hasil pengolahan dalam otakku membuatku bertanya demikian.
“Logat Jawa medok-mu terdengar jelas, bahkan saat kau sedang berbicara Bahasa Inggris.” Jawabnya sambil sedikit tersenyum.
“Wow… anda bisa berbicara Bahasa Indonesia?” kataku heran, sambil kembali memproses sesuatu di otakku.  Otakku hari ini payah sekali rasanya.
“Kenalkan, namaku Meira, Meira Putri Gunawan.” Sambil mengulurkan tangannya, dan tanpa memperdulikan pertannyaanku, dia memperkenalkan namanya. “Dari nama itu, kau bisa tahu bukan, darimana asalku ?” lanjutnya.
Oh boi… sepertinya dia bisa membaca pikiranku.
Tanpa proses berpikir, kali ini aku langsung menjabat tangannya. “ Namaku Agus, Agus Guntoro. Walau logat Jawa medok-ku gak kedengeran, dari namaku kau juga bisa tahu bukan, dari mana asalku?”
Kami berdua tertawa bersama. 
Berawal dari perkenalan yang tanpa disengaja itu, kami melanjutkan dengan berbagai topik obrolan.  Mulai dari cerita bagaimana kami bisa sampai di sini, tentang kesan pertama saat tiba di negeri ini, dan banyak hal saling terpaut dari topik satu dengan topik lain.
Uniknya, ternyata sama sepertiku, dia adalah salah seorang murid yang terpilih untuk menjadi siswa pertukaran pelajar.
Semakin hari semakin sering kita berkomunikasi.  Pergi bersama, tertawa bersama, janji bertemu di taman, walau hanya sekedar untuk menatap jajaran pohon pohon rindang yang mengelilingi taman.
“Aku suka salju,” katannya menghapus keheningan “Aku suka hari pertama musim salju.  Walau kita harus memakai pakaian serba tebal dan menghalangi gerakanku, aku tetap suka salju.”  Aku ingat, ini terjadi tahun lalu.  Kala itu kami sedang duduk berdua di taman ini, di kursi bercat biru ini.
Aku yang sedang melamun pun langsung sadar setelah mendengar suara halusnya.
“Apa yang kau suka dari salju?” kali ini kesadaranku sudah total kembali.
“Entahlah.  Tapi aku merasa berbeda saat melihat butiran-butiran putih kecil itu jatuh dari langit.  Hatiku selalu bergetar.”
Aku tak menimpal perkataannya.  Aku hanya diam, menatap ke depan, kosong.
“Kalau kau?”
“Hm…?” 
“Hal apa yang paling kau sukai?”
“Aku suka bintang. Sama sepertimu-mungkin juga tidak- hatiku selalu bergetar saat melihatnya. ”

Begitulah seterusnya, kami sering menghabiskan hari-hari berdua.
JKL
Pukul 03. 50 sore
Udara terasa semakin dingin.  Butiran-butiran salju mulai turun dari langit.  Terapung seperti anai-anai yang diterbangkan angin. Menyakitkan. Ini sungguh menyakitkan.
Aku tarik nafas dalam-dalam. Kupejamkan kedua mataku, berharap semuanya terasa lebih ringan. Dan percuma.  Semuanya hanya  membuat hatiku semakin terasa sakit saja.
Saat kubuka kedua mataku,  seorang gadis tiba-tiba telah duduk di sampingku.  Ia hanya diam.  Kedua matanya menatap lurus ke depan. Tak tergambar ekspresi apapun di wajahnya.
Hening. Aku benci suasana seperti ini. Sungguh memuakkan.
Lama sudah waktu berputar tanpa ada satu kata pun yang terucap dari bibir kami berdua.  Dia diam.  Begitupun aku. Kami diam.  Benar-benar diam. Menyebalkan.  Aku harus cepat-cepat akhiri semua ini.
“Aku bingung harus memulai dari mana.” Akhirnya satu kata ke luar dari mulutku, memecah keheningan yang sudah lama berlangsung.
“Bukankah dari seminggu yang lalu kau sudah memulainya?  Lanjutkan saja apa yang ingin kau lakukan.”  Suaranya dingin.  Keceriaan yang selalu muncul di setiap kata yang diucapkannya hilang seketika.
“Kau masih marah padaku?”
“Aku tidak pernah marah padamu.”
“Lalu kenapa kau perlakukan aku seperti ini?”
Meira terdiam.  Entah apa yang sedang dipikirkannya.  Aku benar-benar tak bisa membaca raut wajahnya.
“Jawablah Mei!  Aku perlu penjelasan darimu.  Apa perkataanku tempo lalu salah? ”
Suasana kembali hening. Butiran salju yang selalu membuatnya tertawa riang kini tak mampu menghadirkan tawa itu di wajahnya. Benar-benar hening.  Hanya suara dedaunan yang gemerincik tertiup angin.
“Jika kau tak mau mencintaiku sebagai seorang lelaki,  cintailah aku sebagai temanmu, cukup sebagai temanmu.”  Kembali harus aku yang memecah keheningan.  Suaraku berat.  Kenapa sulit sekali berbicara di saat suasana seperti ini. Sial.
“Apa maksudmu?”  dia melontarkan pertanyaannya tanpa menoleh ke arahku.
“Cintai aku cukup sebagai temanmu saja.”  Tanpa memperjelas perkataanku, aku menjawab pertanyaannya.
“Aku tak mengerti.  Perkataanmu sungguh konyol.”
“Aku tak mau kau merasa terbebani dengan perasaan yang aku punya.”
“Terlanjur.  Kau telah membebankannya kepadaku.”
“Maafkan aku.”  Aku tertunduk.  Rasa bersalah yang begitu besar muncul di hatiku.
“Lalu, bagaimana denganmu?  Apa yang akan kau lakukan?”
“Entahlah”
“Ah… kau malah membuatnya semakin rumit.”
“Kau tidak usah memikirkan aku.  Aku seorang lelaki, dan lambat laun…. Lambat laun aku akan bisa mengatasi semua ini.”  Dengan susah payah seulas senyum berusaha kumunculkan di wajahku.  Aku ingin suasana ini mencair, tanpa beban seperti sekarang ini.
“Bodoh! “   satu kata terucap dari mulutnya.
Aku selalu memikirkan kebahagiaanmu. Tapi kau malah tak memperdulikan kebahagiaanmu sendiri.
Aku membalikkan wajah ke arahnya.  Jantungku yang sejak tadi memompa darahku dengan kencang semakin terasa lebih kencang.
“Apa yang kau pikirkan orang bodoh?” penekanan kata yang diucapkannya sangat derdengar jelas di telingaku.
“Entahlah.”
“Kau akan membunuh cintamu?”
“Jika itu yang terbaik,”
Walau aku tak akan pernah bisa melakukannya
“Bagaimapa kau tahu itu yang terbaik?”
“Entahlah”
 “Bodoh.”
“Waktu kita hanya sebentar lagi.  Dalam waktu dekat aku akan kembali ke Indonesia, mengejar mimpiku menjadi seorang penulis.  Dan kau,  kau sudah bilang ingin menetap di sini.  Paris memang cocok untuk  calon desainer sepertimu.  Aku tak ingin waktu yang hanya sebentar lagi ini kita siakan begitu saja.”
“Bodoh”
Kau, aku sungguh tak akan pernah memaafkanmu. Kesalahanmu sungguh teramat besar. Terlalu besar.  Kau hanya mengakui cintamu. Kau tak pernah menanyakan perasaanku padamu.  Egois! Bodoh! Kau hanya ingin mencintaiku, tanpa pernah memintaku mencintaimu, sebagai kekasihmu.  Dan sekarang, kau malah datang padaku dan menyuruhku mencintaimu sebagai temanmu.  Egois!
“Bodoh.  Kau benar benar bodoh!”






Lost Ending
(November-Desember 2010)