Subscribe:

Pages

Kamis, 18 Juni 2015

Guntur




"Prakk,"  suara gelas setengah kubanting beradu dengan meja yang sama terbuat dari kaca.  Minuman kekuningan masih tersisa memenuhi setengah gelas itu.  Sementara di sisi lain empat gelas berukuran sama  telah kosong tak berisi.  Yang tersisa hanya tetesan-tetesan kekuningan yang mengalir di dinding-dindingnya.  Di tengah meja berdiri angkuh botol botol hijau berjumlah lima buah.  Satu diantaranya masih penuh berisi cairan kekuningan yang sama.

Mataku berkeliling menapaki orang orang yang telah tersungkur, rebah tanpa daya bagai anjing yang kelelahan seharian berburu babi di hutan.  Keempat manusia itu mengeluarkan busa dari mulutnya, sedang nafasnya mendengkur seperti babi yang lelah dikejar anjing anjing pemburu.  Dua ironi dalam satu tubuh.  Dua dari empat orang itu saling menindih.  Si lelaki berkepala botak terbaring setengah duduk tidak berdaya di bawah seorang wanita yang sama tidak berdayanya.  Tangan si wanita masih melingkar di pinggang si lelaki seolah enggan terlepas oleh apapun.  Dua orang lainnya tidur terlentang tak jauh dari lelaki dan wanita tadi.

Bau alkohol memenuhi ruangan.  Sumpek.  Ruangan berukuran 5 x 6 ini seakan hilang kandungan oksigennya karena terganti gas yang dikeluarkan dari minuman fermentasi yang hampir habis kami tenggak.  Kipas angin yang berputar kencang di satu sudut ruangan tak mampu mengusir penat yang hadir memenuhi seisi ruangan.

Berbeda dengan orang-orang di hadapanku, kesadaranku masih hadir seutuhnya.  Meski dua gelas penuh cairan fermentasi itu telah kutenggak, aku tetap saja masih terjaga.  Entah apa yang membuat kesadaranku enggan hilang  dari kepala.  Mungkin darah yang mengalir di tubuhku ini terlanjur pekat oleh cairan fermentasi yang telah kutenggak sebelumnya, hingga dua gelas tambahan tak kuasa mengubah komposisi kejenuhan yang telah mengalir menyatu dalam darah.

Atau, mungkin karena sebuah perasaan yang akhir-akhir ini menghantuiku, membuat setiap detik yang kurasa adalah siksaan yang tiada tara pedihnya.  Gelisah.  Akhir akhir ini aku merasa ada yang salah dengan diriku sendir.  Dan sialnya, aku sendiri tak mengerti apa yang salah.

"Bangsat!"  pekikku lirih.  Satu hembusan nafas dalam keluar dari mulutku, diikuti gerakan kedua tangan yang menyentuh kening, lalu mengusap kepala sampai belakang melewati ubun-ubun.  Setengah membanting  punggungku sendiri pada sandaran kursi, aku menengadah, menatap langit langit ruangan yang membisu saja.  Lemah namun cukup kuasa menghardik diriku yang kian merasa merana.

"Bangsaaaaat!"  pekikku sekali lagi sambil masih menatap langit langit,   lebih keras dari pekikan pertama. Satu tarikan nafas panjang diikuti hembusan yang kuat keluar lagi dari mulutku.  Di saat seperti inilah gemuruh mengguruh dalam dadaku.  Sialnya, tidak ada indra dalam diriku yang dapat menerjemahkan arti gemuruh itu.  Semua buta, semua tuli.  Semua bisu.  Aku semakin gelisah saja.

Telah kucari kenikmatan surga dunia dalam vagina  beberapa wanita.  Telah kucari ketenangan dalam sebotol hijau minuman fermentasi.  Telah kucari pula kebahagiaan dalam selinting ganja dan tablet-tablet ektasi yang kulahap rakus dari pengedar kawakan yang telah menjadikanku langganan.  Namun yang kutemukan dari semuanya hanyalah tawa hambar yang tak lama.  Fana.  Sedang luka di hati masih saja menganga dan gelisah yang  tak juga hendak sirna.

Bangsaaat

0 komentar:

Posting Komentar