"Prakk,"
suara gelas setengah kubanting beradu dengan meja yang sama terbuat
dari kaca. Minuman kekuningan masih tersisa memenuhi setengah gelas
itu. Sementara di sisi lain empat gelas berukuran sama telah kosong
tak berisi. Yang tersisa hanya tetesan-tetesan kekuningan yang mengalir
di dinding-dindingnya. Di tengah meja berdiri angkuh botol botol hijau
berjumlah lima buah. Satu diantaranya masih penuh berisi cairan
kekuningan yang sama.
Mataku
berkeliling menapaki orang orang yang telah tersungkur, rebah tanpa
daya bagai anjing yang kelelahan seharian berburu babi di hutan.
Keempat manusia itu mengeluarkan busa dari mulutnya, sedang nafasnya
mendengkur seperti babi yang lelah dikejar anjing anjing pemburu. Dua
ironi dalam satu tubuh. Dua dari empat orang itu saling menindih. Si
lelaki berkepala botak terbaring setengah duduk tidak berdaya di bawah
seorang wanita yang sama tidak berdayanya. Tangan si wanita masih
melingkar di pinggang si lelaki seolah enggan terlepas oleh apapun. Dua
orang lainnya tidur terlentang tak jauh dari lelaki dan wanita tadi.
Bau
alkohol memenuhi ruangan. Sumpek. Ruangan berukuran 5 x 6 ini seakan
hilang kandungan oksigennya karena terganti gas yang dikeluarkan dari
minuman fermentasi yang hampir habis kami tenggak. Kipas angin yang
berputar kencang di satu sudut ruangan tak mampu mengusir penat yang
hadir memenuhi seisi ruangan.
Berbeda
dengan orang-orang di hadapanku, kesadaranku masih hadir seutuhnya.
Meski dua gelas penuh cairan fermentasi itu telah kutenggak, aku tetap
saja masih terjaga. Entah apa yang membuat kesadaranku enggan hilang
dari kepala. Mungkin darah yang mengalir di tubuhku ini terlanjur pekat
oleh cairan fermentasi yang telah kutenggak sebelumnya, hingga dua
gelas tambahan tak kuasa mengubah komposisi kejenuhan yang telah
mengalir menyatu dalam darah.
Atau,
mungkin karena sebuah perasaan yang akhir-akhir ini menghantuiku,
membuat setiap detik yang kurasa adalah siksaan yang tiada tara
pedihnya. Gelisah. Akhir akhir ini aku merasa ada yang salah dengan
diriku sendir. Dan sialnya, aku sendiri tak mengerti apa yang salah.
"Bangsat!"
pekikku lirih. Satu hembusan nafas dalam keluar dari mulutku, diikuti
gerakan kedua tangan yang menyentuh kening, lalu mengusap kepala sampai
belakang melewati ubun-ubun. Setengah membanting punggungku sendiri
pada sandaran kursi, aku menengadah, menatap langit langit ruangan yang
membisu saja. Lemah namun cukup kuasa menghardik diriku yang kian
merasa merana.
"Bangsaaaaat!"
pekikku sekali lagi sambil masih menatap langit langit, lebih keras
dari pekikan pertama. Satu tarikan nafas panjang diikuti hembusan yang
kuat keluar lagi dari mulutku. Di saat seperti inilah gemuruh mengguruh
dalam dadaku. Sialnya, tidak ada indra dalam diriku yang dapat
menerjemahkan arti gemuruh itu. Semua buta, semua tuli. Semua bisu.
Aku semakin gelisah saja.
Telah
kucari kenikmatan surga dunia dalam vagina beberapa wanita. Telah
kucari ketenangan dalam sebotol hijau minuman fermentasi. Telah kucari
pula kebahagiaan dalam selinting ganja dan tablet-tablet ektasi yang
kulahap rakus dari pengedar kawakan yang telah menjadikanku langganan.
Namun yang kutemukan dari semuanya hanyalah tawa hambar yang tak lama.
Fana. Sedang luka di hati masih saja menganga dan gelisah yang tak
juga hendak sirna.
Bangsaaat
0 komentar:
Posting Komentar