Subscribe:

Pages

Jumat, 02 Maret 2012

3) Butir Salju Terakhir


Butir Salju Terakhir

“Baiklah, kutunggu kau di Jardin du Luxenbroug, tepat jam 4 sore.”
JKL

Hari cukup cerah untuk awal musim dingin.  Udara luar semakin terasa dingin, sampai harus kututup jendela asramaku rapat-rapat.  Mesin penghangat ruangan terpaksa kunyalakan,  walau aku tak suka aroma uap buatan yang dihasilkannya.
Berkali-kali tombol up pada remote kutekan, terus kutekan, agar ruangan yang dingin menjadi hangat. Dan tetap saja semua itu tak mampu membuatku merasa hangat.  Aku tetap kedinginan.  Badanku dingin, hatiku dingin, hatiku membeku.
Kutopangkan kepala kepada kedua sikutku pada meja dihadapanku. Meja belajar yang telah berdiri di depan jendela sejak aku datang ke sini.  Atau mungkin meja itu telah berda di sana jauh sebelum aku menginjakkan kaki di sini, di negeri ini,
Entahlah…

Mataku terpejam, seolah terlalu menyilaukan bagiku untuk menatap seberkas cahaya yang menembus kaca-kaca jendela. 
Hatiku dingin, hatiku beku, hatiku bergetar, kemudian diam.  Hatiku sakit, hatiku gundah, hatiku, ah…
Kuusap wajahku kembali, berharap masalah ini sedikit terasa ringan.
Tuhan, Kau selalu menolongku dalam keadaan apapun.  Tapi mengapa sekarang kau biarkan aku ? kau tinggalkan aku?

JKL

Pukul 2 siang
Matahari sepertinya sudah kehilangan energi panasnya. Sinarnya yang begitu cerah tak lagi disertai kehangatannya.  Ada apa? Apa awal musim dingin yang lalu seperti ini ? Secerah ini? Seingatku tidak.  Atau mungkin ingatanku yang telah rapuh. Ah.. kurasa tidak juga.  Aku masih bisa mengingat kejadian-kejadian lalu. Setahun yang lalu, dua tahun yang lalu,  tiga tahun yang lalu, bahkan sejak pertama kali aku menginjakkan kakiku di tanah ini.  Aku masih ingat.
Aku pun masih ingat saat pertama kali mengunjungi  taman ini.  Kulihat pohon-pohon yang rindang,  orang orang yang berlalu lalang-sambil tertawa lepas, saling berpegangan tangan, saling berpelukan-.  Kursi bercat biru di bawah pohon yang diduduki seorang gadis berbaju merah jambu. Ah… gadis merah jambu itu.

Hallo Miss, may I sit here?”  Kataku menyapa dengan logat jawa yang kental.
Gadis itu terdiam sejenak.  Sepertinya ada sesuatu yang sedang dipikirkannya. “Of Course.” Akhirnya dia menjawab.     Are you an Indonesian?” timpalnya kemudian.
Kali ini giliranku yang terdiam sejenak, memproses suatu keanehan dalam otakku.
“Yes, I am.  How can you know it?” hasil pengolahan dalam otakku membuatku bertanya demikian.
“Logat Jawa medok-mu terdengar jelas, bahkan saat kau sedang berbicara Bahasa Inggris.” Jawabnya sambil sedikit tersenyum.
“Wow… anda bisa berbicara Bahasa Indonesia?” kataku heran, sambil kembali memproses sesuatu di otakku.  Otakku hari ini payah sekali rasanya.
“Kenalkan, namaku Meira, Meira Putri Gunawan.” Sambil mengulurkan tangannya, dan tanpa memperdulikan pertannyaanku, dia memperkenalkan namanya. “Dari nama itu, kau bisa tahu bukan, darimana asalku ?” lanjutnya.
Oh boi… sepertinya dia bisa membaca pikiranku.
Tanpa proses berpikir, kali ini aku langsung menjabat tangannya. “ Namaku Agus, Agus Guntoro. Walau logat Jawa medok-ku gak kedengeran, dari namaku kau juga bisa tahu bukan, dari mana asalku?”
Kami berdua tertawa bersama. 
Berawal dari perkenalan yang tanpa disengaja itu, kami melanjutkan dengan berbagai topik obrolan.  Mulai dari cerita bagaimana kami bisa sampai di sini, tentang kesan pertama saat tiba di negeri ini, dan banyak hal saling terpaut dari topik satu dengan topik lain.
Uniknya, ternyata sama sepertiku, dia adalah salah seorang murid yang terpilih untuk menjadi siswa pertukaran pelajar.
Semakin hari semakin sering kita berkomunikasi.  Pergi bersama, tertawa bersama, janji bertemu di taman, walau hanya sekedar untuk menatap jajaran pohon pohon rindang yang mengelilingi taman.
“Aku suka salju,” katannya menghapus keheningan “Aku suka hari pertama musim salju.  Walau kita harus memakai pakaian serba tebal dan menghalangi gerakanku, aku tetap suka salju.”  Aku ingat, ini terjadi tahun lalu.  Kala itu kami sedang duduk berdua di taman ini, di kursi bercat biru ini.
Aku yang sedang melamun pun langsung sadar setelah mendengar suara halusnya.
“Apa yang kau suka dari salju?” kali ini kesadaranku sudah total kembali.
“Entahlah.  Tapi aku merasa berbeda saat melihat butiran-butiran putih kecil itu jatuh dari langit.  Hatiku selalu bergetar.”
Aku tak menimpal perkataannya.  Aku hanya diam, menatap ke depan, kosong.
“Kalau kau?”
“Hm…?” 
“Hal apa yang paling kau sukai?”
“Aku suka bintang. Sama sepertimu-mungkin juga tidak- hatiku selalu bergetar saat melihatnya. ”

Begitulah seterusnya, kami sering menghabiskan hari-hari berdua.
JKL
Pukul 03. 50 sore
Udara terasa semakin dingin.  Butiran-butiran salju mulai turun dari langit.  Terapung seperti anai-anai yang diterbangkan angin. Menyakitkan. Ini sungguh menyakitkan.
Aku tarik nafas dalam-dalam. Kupejamkan kedua mataku, berharap semuanya terasa lebih ringan. Dan percuma.  Semuanya hanya  membuat hatiku semakin terasa sakit saja.
Saat kubuka kedua mataku,  seorang gadis tiba-tiba telah duduk di sampingku.  Ia hanya diam.  Kedua matanya menatap lurus ke depan. Tak tergambar ekspresi apapun di wajahnya.
Hening. Aku benci suasana seperti ini. Sungguh memuakkan.
Lama sudah waktu berputar tanpa ada satu kata pun yang terucap dari bibir kami berdua.  Dia diam.  Begitupun aku. Kami diam.  Benar-benar diam. Menyebalkan.  Aku harus cepat-cepat akhiri semua ini.
“Aku bingung harus memulai dari mana.” Akhirnya satu kata ke luar dari mulutku, memecah keheningan yang sudah lama berlangsung.
“Bukankah dari seminggu yang lalu kau sudah memulainya?  Lanjutkan saja apa yang ingin kau lakukan.”  Suaranya dingin.  Keceriaan yang selalu muncul di setiap kata yang diucapkannya hilang seketika.
“Kau masih marah padaku?”
“Aku tidak pernah marah padamu.”
“Lalu kenapa kau perlakukan aku seperti ini?”
Meira terdiam.  Entah apa yang sedang dipikirkannya.  Aku benar-benar tak bisa membaca raut wajahnya.
“Jawablah Mei!  Aku perlu penjelasan darimu.  Apa perkataanku tempo lalu salah? ”
Suasana kembali hening. Butiran salju yang selalu membuatnya tertawa riang kini tak mampu menghadirkan tawa itu di wajahnya. Benar-benar hening.  Hanya suara dedaunan yang gemerincik tertiup angin.
“Jika kau tak mau mencintaiku sebagai seorang lelaki,  cintailah aku sebagai temanmu, cukup sebagai temanmu.”  Kembali harus aku yang memecah keheningan.  Suaraku berat.  Kenapa sulit sekali berbicara di saat suasana seperti ini. Sial.
“Apa maksudmu?”  dia melontarkan pertanyaannya tanpa menoleh ke arahku.
“Cintai aku cukup sebagai temanmu saja.”  Tanpa memperjelas perkataanku, aku menjawab pertanyaannya.
“Aku tak mengerti.  Perkataanmu sungguh konyol.”
“Aku tak mau kau merasa terbebani dengan perasaan yang aku punya.”
“Terlanjur.  Kau telah membebankannya kepadaku.”
“Maafkan aku.”  Aku tertunduk.  Rasa bersalah yang begitu besar muncul di hatiku.
“Lalu, bagaimana denganmu?  Apa yang akan kau lakukan?”
“Entahlah”
“Ah… kau malah membuatnya semakin rumit.”
“Kau tidak usah memikirkan aku.  Aku seorang lelaki, dan lambat laun…. Lambat laun aku akan bisa mengatasi semua ini.”  Dengan susah payah seulas senyum berusaha kumunculkan di wajahku.  Aku ingin suasana ini mencair, tanpa beban seperti sekarang ini.
“Bodoh! “   satu kata terucap dari mulutnya.
Aku selalu memikirkan kebahagiaanmu. Tapi kau malah tak memperdulikan kebahagiaanmu sendiri.
Aku membalikkan wajah ke arahnya.  Jantungku yang sejak tadi memompa darahku dengan kencang semakin terasa lebih kencang.
“Apa yang kau pikirkan orang bodoh?” penekanan kata yang diucapkannya sangat derdengar jelas di telingaku.
“Entahlah.”
“Kau akan membunuh cintamu?”
“Jika itu yang terbaik,”
Walau aku tak akan pernah bisa melakukannya
“Bagaimapa kau tahu itu yang terbaik?”
“Entahlah”
 “Bodoh.”
“Waktu kita hanya sebentar lagi.  Dalam waktu dekat aku akan kembali ke Indonesia, mengejar mimpiku menjadi seorang penulis.  Dan kau,  kau sudah bilang ingin menetap di sini.  Paris memang cocok untuk  calon desainer sepertimu.  Aku tak ingin waktu yang hanya sebentar lagi ini kita siakan begitu saja.”
“Bodoh”
Kau, aku sungguh tak akan pernah memaafkanmu. Kesalahanmu sungguh teramat besar. Terlalu besar.  Kau hanya mengakui cintamu. Kau tak pernah menanyakan perasaanku padamu.  Egois! Bodoh! Kau hanya ingin mencintaiku, tanpa pernah memintaku mencintaimu, sebagai kekasihmu.  Dan sekarang, kau malah datang padaku dan menyuruhku mencintaimu sebagai temanmu.  Egois!
“Bodoh.  Kau benar benar bodoh!”






Lost Ending
(November-Desember 2010)

0 komentar:

Posting Komentar