Butir Salju Terakhir
“Baiklah, kutunggu kau di Jardin du Luxenbroug, tepat jam 4 sore.”
JKL
Hari cukup cerah untuk awal musim dingin. Udara luar semakin terasa dingin, sampai
harus kututup jendela asramaku rapat-rapat.
Mesin penghangat ruangan terpaksa kunyalakan, walau aku tak suka aroma uap buatan yang
dihasilkannya.
Berkali-kali tombol up pada remote kutekan,
terus kutekan, agar ruangan yang dingin menjadi hangat. Dan tetap saja semua
itu tak mampu membuatku merasa hangat.
Aku tetap kedinginan. Badanku
dingin, hatiku dingin, hatiku membeku.
Kutopangkan kepala kepada kedua sikutku pada
meja dihadapanku. Meja belajar yang telah berdiri di depan jendela sejak aku
datang ke sini. Atau mungkin meja itu
telah berda di sana jauh sebelum aku menginjakkan kaki di sini, di negeri ini,
Entahlah…
Mataku terpejam, seolah terlalu menyilaukan
bagiku untuk menatap seberkas cahaya yang menembus kaca-kaca jendela.
Hatiku dingin, hatiku beku, hatiku bergetar,
kemudian diam. Hatiku sakit, hatiku
gundah, hatiku, ah…
Kuusap wajahku kembali, berharap masalah ini
sedikit terasa ringan.
Tuhan, Kau selalu menolongku dalam keadaan
apapun. Tapi mengapa sekarang kau
biarkan aku ? kau tinggalkan aku?
JKL
Pukul 2 siang
Matahari sepertinya sudah kehilangan energi
panasnya. Sinarnya yang begitu cerah tak lagi disertai kehangatannya. Ada apa? Apa awal musim dingin yang lalu
seperti ini ? Secerah ini? Seingatku tidak.
Atau mungkin ingatanku yang telah rapuh. Ah.. kurasa tidak juga. Aku masih bisa mengingat kejadian-kejadian
lalu. Setahun yang lalu, dua tahun yang lalu,
tiga tahun yang lalu, bahkan sejak pertama kali aku menginjakkan kakiku
di tanah ini. Aku masih ingat.
Aku pun masih ingat saat pertama kali
mengunjungi taman ini. Kulihat pohon-pohon yang rindang, orang orang yang berlalu lalang-sambil tertawa
lepas, saling berpegangan tangan, saling berpelukan-. Kursi bercat biru di bawah pohon yang
diduduki seorang gadis berbaju merah jambu. Ah… gadis merah jambu itu.
“Hallo Miss, may I sit here?” Kataku menyapa dengan logat jawa yang kental.
Gadis
itu terdiam sejenak. Sepertinya ada
sesuatu yang sedang dipikirkannya. “Of Course.” Akhirnya dia menjawab. “Are
you an Indonesian?” timpalnya kemudian.
Kali
ini giliranku yang terdiam sejenak, memproses suatu keanehan dalam otakku.
“Yes,
I am. How can you know it?” hasil
pengolahan dalam otakku membuatku bertanya demikian.
“Logat
Jawa medok-mu terdengar jelas, bahkan saat kau sedang berbicara Bahasa
Inggris.” Jawabnya sambil sedikit tersenyum.
“Wow…
anda bisa berbicara Bahasa Indonesia?” kataku heran, sambil kembali memproses
sesuatu di otakku. Otakku hari ini payah
sekali rasanya.
“Kenalkan,
namaku Meira, Meira Putri Gunawan.” Sambil mengulurkan tangannya, dan tanpa
memperdulikan pertannyaanku, dia memperkenalkan namanya. “Dari nama itu, kau
bisa tahu bukan, darimana asalku ?” lanjutnya.
Oh
boi… sepertinya dia bisa membaca pikiranku.
Tanpa
proses berpikir, kali ini aku langsung menjabat tangannya. “ Namaku Agus, Agus
Guntoro. Walau logat Jawa medok-ku gak kedengeran, dari namaku kau juga bisa
tahu bukan, dari mana asalku?”
Kami
berdua tertawa bersama.
Berawal
dari perkenalan yang tanpa disengaja itu, kami melanjutkan dengan berbagai topik
obrolan. Mulai dari cerita bagaimana
kami bisa sampai di sini, tentang kesan pertama saat tiba di negeri ini, dan
banyak hal saling terpaut dari topik satu dengan topik lain.
Uniknya,
ternyata sama sepertiku, dia adalah salah seorang murid yang terpilih untuk
menjadi siswa pertukaran pelajar.
Semakin
hari semakin sering kita berkomunikasi.
Pergi bersama, tertawa bersama, janji bertemu di taman, walau hanya
sekedar untuk menatap jajaran pohon pohon rindang yang mengelilingi taman.
“Aku
suka salju,” katannya menghapus keheningan “Aku suka hari pertama musim
salju. Walau kita harus memakai pakaian
serba tebal dan menghalangi gerakanku, aku tetap suka salju.” Aku ingat, ini terjadi tahun lalu. Kala itu kami sedang duduk berdua di taman
ini, di kursi bercat biru ini.
Aku
yang sedang melamun pun langsung sadar setelah mendengar suara halusnya.
“Apa
yang kau suka dari salju?” kali ini kesadaranku sudah total kembali.
“Entahlah. Tapi aku merasa berbeda saat melihat
butiran-butiran putih kecil itu jatuh dari langit. Hatiku selalu bergetar.”
Aku
tak menimpal perkataannya. Aku hanya
diam, menatap ke depan, kosong.
“Kalau
kau?”
“Hm…?”
“Hal
apa yang paling kau sukai?”
“Aku
suka bintang. Sama sepertimu-mungkin juga tidak- hatiku selalu bergetar saat
melihatnya. ”
Begitulah
seterusnya, kami sering menghabiskan hari-hari berdua.
JKL
Pukul 03. 50 sore
Udara terasa semakin dingin. Butiran-butiran salju mulai turun dari
langit. Terapung seperti anai-anai yang
diterbangkan angin. Menyakitkan. Ini sungguh menyakitkan.
Aku tarik nafas dalam-dalam. Kupejamkan
kedua mataku, berharap semuanya terasa lebih ringan. Dan percuma. Semuanya hanya membuat hatiku semakin terasa sakit saja.
Saat kubuka kedua mataku, seorang gadis tiba-tiba telah duduk di
sampingku. Ia hanya diam. Kedua matanya menatap lurus ke depan. Tak
tergambar ekspresi apapun di wajahnya.
Hening. Aku benci suasana seperti ini.
Sungguh memuakkan.
Lama sudah waktu berputar tanpa ada satu
kata pun yang terucap dari bibir kami berdua.
Dia diam. Begitupun aku. Kami
diam. Benar-benar diam.
Menyebalkan. Aku harus cepat-cepat
akhiri semua ini.
“Aku bingung harus memulai dari mana.”
Akhirnya satu kata ke luar dari mulutku, memecah keheningan yang sudah lama
berlangsung.
“Bukankah dari seminggu yang lalu kau sudah
memulainya? Lanjutkan saja apa yang
ingin kau lakukan.” Suaranya
dingin. Keceriaan yang selalu muncul di
setiap kata yang diucapkannya hilang seketika.
“Kau masih marah padaku?”
“Aku tidak pernah marah padamu.”
“Lalu kenapa kau perlakukan aku seperti
ini?”
Meira terdiam. Entah apa yang sedang dipikirkannya. Aku benar-benar tak bisa membaca raut
wajahnya.
“Jawablah Mei! Aku perlu penjelasan darimu. Apa perkataanku tempo lalu salah? ”
Suasana kembali hening. Butiran salju yang
selalu membuatnya tertawa riang kini tak mampu menghadirkan tawa itu di
wajahnya. Benar-benar hening. Hanya
suara dedaunan yang gemerincik tertiup angin.
“Jika kau tak mau mencintaiku sebagai
seorang lelaki, cintailah aku sebagai
temanmu, cukup sebagai temanmu.” Kembali
harus aku yang memecah keheningan. Suaraku
berat. Kenapa sulit sekali berbicara di
saat suasana seperti ini. Sial.
“Apa maksudmu?” dia melontarkan pertanyaannya tanpa menoleh
ke arahku.
“Cintai aku cukup sebagai temanmu
saja.” Tanpa memperjelas perkataanku,
aku menjawab pertanyaannya.
“Aku tak mengerti. Perkataanmu sungguh konyol.”
“Aku tak mau kau merasa terbebani dengan
perasaan yang aku punya.”
“Terlanjur.
Kau telah membebankannya kepadaku.”
“Maafkan aku.” Aku tertunduk. Rasa bersalah yang begitu besar muncul di
hatiku.
“Lalu, bagaimana denganmu? Apa yang akan kau lakukan?”
“Entahlah”
“Ah… kau malah membuatnya semakin rumit.”
“Kau tidak usah memikirkan aku. Aku seorang lelaki, dan lambat laun…. Lambat
laun aku akan bisa mengatasi semua ini.”
Dengan susah payah seulas senyum berusaha kumunculkan di wajahku. Aku ingin suasana ini mencair, tanpa beban
seperti sekarang ini.
“Bodoh! “
satu kata terucap dari mulutnya.
Aku
selalu memikirkan kebahagiaanmu. Tapi kau malah tak memperdulikan kebahagiaanmu
sendiri.
Aku membalikkan wajah ke arahnya. Jantungku yang sejak tadi memompa darahku
dengan kencang semakin terasa lebih kencang.
“Apa yang kau pikirkan orang bodoh?”
penekanan kata yang diucapkannya sangat derdengar jelas di telingaku.
“Entahlah.”
“Kau akan membunuh cintamu?”
“Jika itu yang terbaik,”
Walau
aku tak akan pernah bisa melakukannya
“Bagaimapa kau tahu itu yang terbaik?”
“Entahlah”
“Bodoh.”
“Waktu kita hanya sebentar lagi. Dalam waktu dekat aku akan kembali ke
Indonesia, mengejar mimpiku menjadi seorang penulis. Dan kau,
kau sudah bilang ingin menetap di sini.
Paris memang cocok untuk calon
desainer sepertimu. Aku tak ingin waktu
yang hanya sebentar lagi ini kita siakan begitu saja.”
“Bodoh”
Kau,
aku sungguh tak akan pernah memaafkanmu. Kesalahanmu sungguh teramat besar.
Terlalu besar. Kau hanya mengakui
cintamu. Kau tak pernah menanyakan perasaanku padamu. Egois! Bodoh! Kau hanya ingin mencintaiku,
tanpa pernah memintaku mencintaimu, sebagai kekasihmu. Dan sekarang, kau malah datang padaku dan
menyuruhku mencintaimu sebagai temanmu.
Egois!
“Bodoh.
Kau benar benar bodoh!”
Lost Ending
(November-Desember 2010)
0 komentar:
Posting Komentar