“Klik,”
gembok pintu garasi mobilku berbunyi setelah sisa-sisa tenagaku hari ini
menekan ujung-ujungnya. Mobil yang menemaniku pergi dan kembali bekerja telah
beristirahat nyaman di kandangnya. Aku
berjalan menuju pintu rumah. Suasana
sepi sekali, hanya ada suara jangkrik satu dua dan suara langkah kakiku yang
terdengar oleh telingaku. Semua orang
nampaknya telah terlelap dalam tidurnya.
Pintu rumah terbuka perlahan. Semua ruangan dalam keadaan gelap, hanya satu
ruangan yang masih menyala lampunya. Aku
mendorong kaki-kakiku menuju ruang yang masih bercahaya itu. Suara televisi yang masih menyala langsung
menyambutku. Pandanganku langsung
mengarah ke sofa depan televisi.
Sambil
terduduk, kau tidur dengan
lelapnya. Tangan kirimu terlungkup di atas pahamu, sementara tangan kananmu
masih memegang remote televisi yang masih menyala itu. Aku menyeringai, tersenyum melihat
pemandangan yang indah itu. Kakiku
kembali aku langkahkan menuju suatu ruangan sebelah. Entah mengapa kaki yang tadi sudah tak
bertenaga, kini kembali bugar. Mereka tak lagi harus kudorong ungtuk
melangkah maju. Perlahan pintu ruangan
itu kubuka. Cahaya dari ruangan yang
masih bercahaya itu menyeruak memasuki kamar yang baru saja kubuka. Cahaya yang terpancar dari arah pintu
langsung menerangi tempat tidur mungil yang diatasnya telah berbaring anak yang
kini tertidur lelap, anak kita. Bibirku
kembali tersenyum melihat anak kita yang tidur dengan pulasnya. Khawatir mengganggu tidurnya, aku langsung menutup kembali pintu itu dan
berjalan menuju ruangan yang masih terang itu.
Aku duduk di sebelahmu, menatap tayangan televisi yang masih
menyiarkan sinetron picisan tak bermutu. Dengan hati hati, aku mengambil remote dari
tangan kananmu. Kamu sedikit tersentak kemudian bangun. Tangan kirimu mengusap usap matamu, berusaha
memunculkan kesadaran seutuhnya.
“Kamu udah pulang, Mas?” pertanyaanmu yang
sebenarnya tak harus kujawab.
“Mau ngopi dulu atau langsung mandi?”
tanyamu kemudian.
“Langsung mandi aja,” jawabku halus.
“Aku panasin dulu ya airnya,” katamu sambil
bangkit berdiri.
Dengan cepat aku menangkap pergelangan
tanganmu. Kamu yang sepertinya sedikit
kaget dengan tingkahku menatapku heran, mematung. Dengan halus aku menarik tubuhmu mendekat. Kuusap rambut yang menutupi keningmu. Kamu masih menampakkan pandangan heran di wajahmu. Kucium
keningmu lalu kubisikkan satu kalimat lirih di telingamu, “Aku cinta padamu.”
Kamu bangkit berdiri. Kamu tersenyum sambil
berkata padaku, “Aku tahu.” Kamu lantas berjalan pergi..
Kutekan tombol remote dengan ibu jariku,
mencari tayangan bola dalam salah satu stasiun televisi. Entah darimana asalnya, musik merdu tiba-tiba mengalun indah dalam
hatiku.
***
Kuelus-elus rambut anak kita yang kini
tidut lelap dipangkuanku. Kutatap dalam
wajah cantiknya dari mulai alis sampai ujung dagunya. Orang orang bilang, mata anak kita mirip
dengan matamu. Tapi menurutku, matanya malah mirip dengan mataku. Orang-orang bilang, hidungnya mancung seperti
milikmu. Namun menurutku, hidungnya
tidak begitu mancung, mirip dengan hidungku.
Orang-orang bilang, bibirnya
mirip dengan bibirmu. Aku tak bisa
terima itu. Bagaimana mungkin bibir anak
perempuan mirip dengan bibirmu, kau kan laki-laki. Jelas-jelas bibirnya mirip dengan bibirku.
Setelah yakin tidurnya telah pulas, perlahan aku memangkunya, memindahkannya pada
tempat tidur mungil di kamarnya. Lampu
kamarnya aku matikan, pintunya perlahan kututup.
Aku duduk kembali di sofa depan
televisi. Sambil menunggu kepulanganmu,
aku larut ke dalam sinetron kesukaanku.
Tanpa sadar, aku tertidur, sampai sesuatu yang aneh menyentuh
tangan kananku. Aku sedikit
tersentak. Tangan kiriku mengusap-usap
kedua mataku, berusaha mengembalikan kesadaranku seutuhnya.
“Kamu udah pulang, Mas?” pertanyaanku yang
sebenarnya tak harus kaujawab.
“Mau ngopi dulu atau langsung mandi?”
tanyaku kemudian.
“Langsung mandi aja,” jawabmu halus.
“Aku panasin dulu ya airnya,” katamu sambil
bangkit berdiri.
Dengan cepat kamu menangkap pergelangan
tanganku. Aku yang tak mengerti
tingkahmu menatapmu dalam, mematung.
Dengan halus kamu menarik tubuhku mendekatimu. Kauusap rambut yang menutupi keningku. Aku masih belum mengerti apa yang terjadi, hanya saja detak jantungku rasanya semakin kencang. Kamu
cium keningku lalu kamu berbisik lirih di telingaku, “Aku cinta padamu.”
Aku bangkit berdiri. Sambil menyembunyikan
pipiku yang tiba-tiba memerah dan jantungku yang berdegup lebih kencang aku
menjawab “Aku tahu.”
Aku lantas melangkah menuju kamar mandi.
Entah darimana asalnya,
tiba-tiba musik merdu mengalun indah dalam hatiku.
0 komentar:
Posting Komentar