Subscribe:

Pages

Sabtu, 07 November 2015

Kembali Pulang



Satu persatu aku tanggalkan atribut-atribut kejahiliyahan dari tubuhku; gelang yang telah sekian tahun melingkar di pergelangan tangan, rambut gondrong acak acakan yang seolah telah menjadi ciri khas diriku.  Aku orang baik baik.  Meski atribut itu tak menggambarkan prilaku setan, dan aku tetaplah diriku yang sama, aku ingin bertingkah seperti orang baik lainnya.   Pemberontakkan demi pemberontakkan yang kulakukan ternyata tanpa kusadari telah membawaku ke suatu tempat antah berantah yang membuatku ingin pulang saja.

Selasa, 03 November 2015

Selamat (Jalan)

Pukul sepuluh pagi di hari Sabtu terakhir bulan Oktober.
Matahari duha telah lama mengintip dari celah jendela yang tertutup tirai, menggelitik mata yang masih saja ingin terpejam.  Pagi ini sehabis shalat shubuh aku memang sengaja tidur lagi.  Bukan tidur lagi tepatnya, tapi tidur (tidak pakai lagi).  Semalaman aku tidak tidur sama sekali.  Jangan bertanya apa yang aku kerjakan!

  Kepala pening luar biasa dengan ingus yang keluar dari hidung tiada hentinya.  Aku coba membuka mata, menatap pagi yang tidak ada bedanya dengan pagi sebelumnya; suram.  Telfon genggam berwarna hitam yang terletak di atas meja kuraih dengan enggan dan kuhidupkan.  Dua pesan masuk, dua panggilan tak terjawab.  Bagus.  Satu pesan masuk pukul setengah 8 dari teman yang meminta diantar ke kantor polisi mengambil STNK motornya yang ditahan ketika kena tilang, meminta diantar jam 8.  Telat.  Satu lagi pesan masuk pukul 5 pagi.  Pesan darimu.

“Cem aku mau pindahan.  Boleh nitip gitar punya *******”
Aku segera membalasnya
“Jam berapa pindahannya?” mengabaikan topik gitar yang menjadi inti pesan.
“Nanti jam 2 siang”
“15 menitan lagi aku kesana”

***

15 menit kemudian
Dengan kantung mata yang membengkak, hidung yang meler, dan mata yang merah, aku menyeret tubuh lemasku ke kostanmu.  Bapak Kostanmu menyambutku dengan tatapan aneh, tapi berubah ramah ketika aku menyebut namamu.  beberapa detik kemudian kamu muncul dengan kaos oblong putih dan rambut diikan asal asalan, tidak kalah berantakannya dengan penampilanku pagi ini.

“Helm kamu mirip gojek, hijau” sambutmu.
“heh?” aku termenung, blank.  “ ah. haha” Sial.  Otakku sepertinya belum berjalan sempurna.
“Nitip yah, yang punyanya baru pulang nanti sore,”  katamu sambil menyodorkan gitar.
Aku tersenyum. Perasaan tidak-ingin-berpisah yang telah ada semakin menjalar saja.
“Kamu langsung pulang atau...”
“Engga, pindah ke rumah Uwa di ****”
“Oh yang waktu itu.”
Kamu mengangguk
“Selamat (jalan) yah..”
Air mukamu berubah. Aku memang tidak bisa menerjemahkannya sebagai perasaan bersedih-karena-perpisahan, tapi itulah sebenarnya yang aku harapkan.

Begitulah.  Tidak sampai 5 menit kita bertemu, yang bisa jadi untuk terakhir kalinya.  Aku berusaha tegar, meski nyatanya berat juga.  Motor yang kukendarai melaju dengan kecepatan tak sampai 30 kmperjam.  Waktu terasa berjalan lambat, dengan kenangan kenangan masa lalu yang tiba-tiba memenuhi kepala.

***

Tentu saja
    Tentu saja hari ini ada, jarum jam masih berputar 24 hitungan.
    Tentu saja tak perlu adegan seperti Jesse dan Celine saling berjanji bertemu di tempat yang sama 6 bulan kemudian. Atau  Nanami yang melepas Motoharu di stasiun kereta dengan lambayan dan tangisan.
    Tentu saja ini bukan novel atau film yang dramatis  namun bahagia di akhir adegan, hingga  kalimat "aku berharap waktu berhenti saat ini" tak perlu diucapkan.
    Tentu saja.
    Ah... tentu saja.
.

Bogor, 3 November 2015
-tsy-

Sabtu, 17 Oktober 2015

Ada Cinta di Toko Buku

Di tengah kondisi keuangan yang mengharuskanku untuk berhemat, hasrat untuk pergi ke toko buku malah tidak bisa kubendung.  Jadilah dengan isi dompet yang mengada-ada aku berangkat juga ke toko buku di salah satu mall di kota.

Aku sebenarnya bukan tipikal orang yang senang membaca.  Membaca bagiku hanyalah sesuatu yang bisa mengantarkanku tertidur pulas.  Jika memang ada bacaan yang bisa membuatku terjaga sepenjang malam, pastilah itu novel yang cara penyampaiannya menyenangkan dan ceritanya membuat penasaran setengah melek.  Alasan utamaku pergi ke toko buku adalah aku sudah tidak tahan lagi dengan kadar kejenuhan hidupku yang sepertinya sudah jauh di ambang batas kenormalan.  Toko buku adalah satu dari sedikit tempat yang bisa membuatku sejenak melupakan dunia beserta isinya.  Melihat cover buku-buku yang beraneka ragam serta sinopsis yang membingungkan membuatku tidak sempat berpikir tentang beban hidup dan hal-hal yang memuakkan lainnya.  Daripada pergi ke bar mabuk-mabukan, atau jatuh di narkoba, mending nyasar ke toko buku.

Dengan earphone menempel lekat di telinga dan helm hijau yang selalu menemaniku ke mana-mana (please jangan sebut aku tukang gojek), aku melajukan motorku dengan kecepatan  tak sampai 70 km/jam.  Sambil mengemudi sesekali mulutku ikut menyanyikan lagu-lagu lawas dari Air Supply yang diputar dari smartphone yang sudah ketinggalan jaman yang kukantongi di saku celana.  Tak lebih dari satu jam aku sudah sampai di mall yang kutuju.  Siang-siang begini pengunjung mall memang belum begitu banyak.

Kaki-kakiku kerap dan cepat melangkah dari parkiran menuju toko buku melewati toko toko berbagai barang.  Ketika hendak turun melewati eskalator, mataku menangkap sebuah jam tangan yang dipajang di etalase toko jam.  Sejenak aku melihat bentuknya memang menarik,  Namun ketika aku melihat pricetag nya, GILA, harganya jutaan.   Harga yang setara dengan uang makanku berbulan-bulan.  Merasa minder berada di tempat itu, aku segera meluruskan lagi langkahku, turun menuju tujuanku semula.

Lagu dari James Bay berjudul Let It Go langsung menyambut kedataganku.  Satu lagi yang kusuka dari toko buku adalah lagu-lagu  yang diputarnya selalu enak didengar.  Bagian pertama yang kukunjungi adalah lemari tentang buku peternakan.  Siapa tahu ada buku yang mendukung penulisan skripsiku.  Hasilnya seperti biasa, tidak ada.  Topik skripsiku mungkin terlalu antimainstream hingga buku  yang membahasnya pun sulit kutemukan.  Bagian kedua adalah rak novel, mencari karya Fahd Djibran (sekarang menggunakan nama aslinya, Fahd Pahdepie) seperti A cat In My Eyes, Menatap Punggung Muhammad, Semesta Sebelum Dunia, dan buku lainnya yang tak sempat aku miliki.  Sepertinya buku buku itu memang dicetak limited hingga setiap aku mencarinya di toko buku, baik  yang real maupun online, hasilnya nihil.  Hari ini pun demikian.
 
Satu persatu synopsis dari buku yang kulihat judul dan covernya menarik, aku baca. Pepatah  Don’t judge the book by it’s cover  rasanya memang benar.  Tapi dalam urusan memilih buku sepertinya kurang pas.  Darimana lagi kita tahu buku itu menarik selain dari gambar cover, judul, dan sinopsisnya?  Masa harus buka plastiknya satu-satu lalu kita baca bukunya sampai tamat?

Satu jam kurang lebih aku sudah berada di toko buku dengan beberapa synopsis buku telah kubaca.   Tiba tiba muncul di sebelahku sesosok yang sudah tidak  asing lagi bagiku, kamu.

“Eh, Na…” kataku sambil setengah terkejut.  Kejutan yang menyenangkan, sebelum aku menyadari ada orang di sebelahmu yang sama sama menghadap ke arahku.

“Ocem sendirian aja?” katamu.

“He eh,” jawabku.  Karena sendiri lebih banyak yang bisa dipikirkan.

“Ocem kenalkan ini ---------“ katamu lagi sambil menunjuk lelaki yang ada di pinggirmu.  Aku malas menyebut namanya di sini.

“Taofik,” kataku sambil mengulurkan lengan dan (berpura pura) menyunggingkan senyum.

Mari anggap laki-laki itu tak pernah ada!

“Ocem lagi nyari buku apa?”

“Ah engga, iseng-iseng aja main ke toko buku.  Kamu nyari buku apa?”

“Engga.  Kita teh mau nonton, sambil nunggu bioskopnya dibuka ya main aja ke toko buku.” Jawabmu.

Deggg! Kalian lagi nge-date?  Deggg!

“Oh nonton.  Emang ada film yang bagus, Na?”

“Engga juga sih, itung itung refreshing aja.”

“Ooh…”

“Yaudah atuh ya, kita ke atas dulu, takut filmya udah mulai.” Katamu sambil melambaikan tangan dan melempar senyuman.  Aduhaaai senyum itu.  Tapi seperti dijatuhkan dari pesawat terbang hingga ke tanah (meski aku belum pernah mengalaminya), sakitnya luar biasa ketika melihat kamu berjalan berdampingan dengan orang yang tadi kamu kenalkan,  sedang aku hanya bisa menatapmu dari belakang.  Ingin rasanya menonjok diriku sendiri yang tidak bisa berbuat apa-apa (kecuali mendo’akan kalian cepat putus).

 Ungkapan terlatih patah hati itu bullshit.  Tetap saja kita merasa sakit ketika melihat orang yang kita cintai tangannya digandeng orang lain.

Memang ada cinta di toko buku. Tapi sayangnya bukan milik kita, tapi milik kalian.  Selamat berbahagia.
Bogor, 17 Oktober 2015

_____________________________________________________________
Cerita ini hanyalah fiktif belaka. Bila ada kesamaan lokasi, nama, atau panggilan, semata-mata hanyalah sesuatu yang dihubung-hubungkan

Minggu, 09 Agustus 2015

Setan: Hancurkan Semua

Kau berbisa.
Kau penyiksa
Penuh bualan dan dusta

Smua kenikmatan
Semua keindahan
Semu dan penuh bualan

Kau penyiksa!
Lepas semua!
Setan, kau rusak segalanya!

Lepaskan semua!
Lepaskan semua!
Anjing, kau hancurkan akalku!

Lemah kumelihat
Resah kuterikat.
Bangsat,  ku tak bisa mengelak!

kau merubah semua
kau hancurkan semua
Remuk semua tanpa tersisa.

Lemah kumelihat
Resah ku terikat
Bangsat, ku tak bisa mengelak!

Bualmu kupercaya
Tipumu ku terperdaya
Sadar, kutersadar tak bisa mengelak.

Kau kian bersinar
Kau kian berpijar
Anjing, kutersadar dan tersadar

Kau mengikat semua
 Kau alihkan semua
Kau hancurkan semua

Setan, kau hancurkan pola hidupku!



Jumat, 19 Juni 2015

Permintaan Maaf


Mataku sedang menatap kosong ke depan kelas ketika telfon genggam dalam saku celanaku bergetar.  Kurogoh ia dengan malas sambil setengah mengumpat, siapa pula orang yang mengirim pesan singkat di tengah perkuliahan seperti ini?

Kamis, 18 Juni 2015

Bintang

Malam 2 Ramadhan.
Malam ini tanpa bintang
Malam ini tanpa bintang, kataku
Tak ada yang mengingatkanku padamu
Tapi aku tetap mengingatmu
Aku merindukanmu.

Guntur




"Prakk,"  suara gelas setengah kubanting beradu dengan meja yang sama terbuat dari kaca.  Minuman kekuningan masih tersisa memenuhi setengah gelas itu.  Sementara di sisi lain empat gelas berukuran sama  telah kosong tak berisi.  Yang tersisa hanya tetesan-tetesan kekuningan yang mengalir di dinding-dindingnya.  Di tengah meja berdiri angkuh botol botol hijau berjumlah lima buah.  Satu diantaranya masih penuh berisi cairan kekuningan yang sama.

Kamis, 11 Juni 2015

Pertengkaran Kemarin

"Kamu di sana apa kabar?" itulah pertanyaan yang hampir tiap hari aku ucapkan.  Namun setiap hendak menanyakan padamu langsung, aku sendiri langsung bisa menjawabnya,"Kamu baik baik saja (meski tanpa diriku)" Kemudian akhirnya aku hanya bisa melihat isi profilmu dari media sosial yang semakin menegaskan bahwa kamu baik baik saja. Ya, kamu baik baik saja tanpa aku.

Adalah kebohongan bila aku berkata bahwa waktu tiga tahun bersamamu dapat kulupakan begitu saja.  Adalah kebohongan pula bila kini kamu telah hilang dari hati dan pikiranku.  Bagaimana tidak, waktu tiga tahun bukanlah waktu yang sebentar, terlebih banyak kenangan yang terjadi selama waktu itu. Ditambah dengan cara perpisahan kita yang tidak jelas menurutku, tidak ada kata perpisahan atau ucapan selamat tinggal di antara kita.

Jarak memang pembunuh paling keji dalam sebuah hubungan.  Awalnya kita memang baik baik saja berada di tempat yang berbeda, dalam jarak sekian ratus kilometer panjangnya.  Toh kita masih bisa bertegur sapa lewat teknologi.  Kita masih bisa berucap mesra seperti mengungkapkan rasa kangen kita lewat telfon atau pesan singkat.  Namun seiring waktu, segalanya berubah.  Atas nama pertumbuhan, kamu berubah, begitupun aku.  Kita menjadi sibuk dengan urusan masing-masing.  Intensitas percakapan kita semakin berkurang.  Ditambah biaya yang harus kita keluarkan demi dapat bertegur sapa.  Tak ada anggaran yang aku khususkan untuk dapat terus berbicara denganmu. Kita semakin jaran bercengkrama, hingga puncaknya, suatu malam kamu mengirim pesan singkat ke telfon genggamku.  Kamu berkata bahwa kamu kecewa padaku.  Aku kaget bukan kepalang.  Kukira hubungan kita baik baik saja.  Pertemuan yang sedang kuhadiri pun aku abaikan.  Aku menepi, menekan layar hp berkali kali untuk menghubungimu.  Setiap kali terhubung, sebanyak itu pula kamu menolak panggilanku.  Puluhan pesan singkat kukirimkan padamu dari telfon genggamku, dan tak satupun kamu membalasnya.

Semua serba tiba-tiba dan membingungkan.  Hingga detik ini, aku tidak mengerti apa yang membuatmu kecewa padaku.  Tindakanku kah? apa yang salah dengan tindakanku? Semua membingungkan.  Dan sialnya, tak ada satu kata pun darimu yang menjelaskan semuanya.  Kamu bungkam.  Setiap kutelfon, kamu selalu menolaknya.

Satu tahun lebih. Ya, telah satu tahun lebih kamu bersikap dingin seperti ini.  Padahal dalam waktu itu tak kurang dari seratus pesan singkat telah kukirimkan.  Aku pun menyerah.  Lelah.  tak ada itikad baik darimu untuk memperbaiki apa yang telah rusak.  Percuma saja bagiku mengharapkan semua kembali seperti dulu jika kamu sendiri tidak mau melakukannya.  Kamu egois.

Aku menyerah.  Aku pasrah.  Hidupku harus terus berjalan.  Aku harus menjalani hidup sebik kamu menjalaninya, tanpa diriku.  Kamu bertemu orang-orang baru, pergi ke tempat-tempat baru, menjalin hubungan dengan orang baru, aku pun akan melakukannya.  Bukan sebagai pembalasan dendam terhadapmu.  Percayalah, sudah sejak lama aku memaafkanmu.  Aku melakukannya hanya karena aku sendiri sadar, dunia masih terus berputar.  Aku harus tetap tumbuh, menjalani kehidupan yang baru, menghargai orang-orang yang saat ini ada di sisiku, menghargaiku.

(V)

Jumat, 29 Mei 2015

Percakapan

Day 2
*****

Jam weker di atas meja belajarku menunjuk angka 2. Udara siang Kota Bogor sedang panas-panasnya.  Sudah beberapa hari  kota yang orang sebut sebagai kota hujan ini tak ditetesi air dari langit.   Kipas angin yang menggantung di langit-langit kamarku seolah tak berdaya mengusir udara panas yang memenuhi seisi ruangan.  Aku hampir memejamkan mata ketika telfon genggam yang kutaruh di samping jam weker berbunyi. Satu pesan masuk pada aplikasi WhatsApp-ku.  Pesan darimu

Kamis, 30 April 2015

Secangkir Rindu

Bagaimana bisa kamu bisa bertahan dalam pikiranku, sementara kamu tidak melakukan apapun sama sekali?  Bagaimana bisa senyummu senantiasa menggetarkan dada, sementara aku sendiri tahu senyummu bukan seutuhnya miliku? Argh... nampaknya memang hatiku telah terpaut di atas namamu.

Dan namamu, terdengar lebih indah dari alunan beethoven sekalipun, membuat kepala langsung menoleh ketika seseorang menyebut namamu.

Aku hilang kata.  Bagaimana bisa  secangkir rindu hadir tanpa ada seduhan rasa sebelumnya?  

Memang benar adanya

"Tak ada yang lebih indah dari hujan bulan juni"

Senin, 06 April 2015

Berpindah

Aku tatap barisan barang barang yang telah tersusun rapi dalam kardus kardus berukuran besar dan tas koper yang besarnya melebihi badanku sendiri. Mataku terus mengeliling pada tiap sisi dan sudut ruangan, sedang otakku memutar memori berisi kenangan kenangan yang mau tak mau harus turut aku bawa pergi. Satu hal yang akhirnya aku sadari, betapa kenangan kenangan itu sangat berarti. Seburuk apapun kejadian yang pernah aku alami ternyata menjadi sesuatu yang manis di layar imaji.

Pandangan mataku terjatuh pada satu tulisan kecil di tembok berwarna putih itu. Tulisan namamu. Suatu hari aku iseng menulisnya dengan sebuah pena bertinta biru. Bibirku otomatis menyunggingkan seulas senyum mengingat perasaanku padamu, waktu itu.

Perhatianku kembali berfokus pada barang barang di depanku. Satu tarikan nafas masuk ke paru paruku. Berat.

Mengapa berat sekali meninggalkan tempat ini?

Aku kembali membiarkan diriku larut dalam lamunan, bagaimana tempat ini dulu begitu nyaman ditempati, bagaimana dulu tempat ini begitu menyenangkan untuk menjadi pendengar sejati, tempat berkeluh kesah yang menyenangkan.

Aku meninggalkan tempat ini bukan berarti aku benar-benar ingin pergi.  Aku tak ingin pergi, namun kenyataan dan keadaan berpendapat lain.  Aku tetap harus pergi dan tak bisa lama-lama lagi di sini.  Mungkin aku memang tidak pantas menghuni tempat ini meski tempat ini begitu terasa nyaman bagiku.

Selalu menarik memang menyimak bagaimana Tuhan telah mengatur semua skenario kehidupan kita:
Dulu aku merasa asing di tempat ini.  kemudian aku mulai nyaman dan menikmatinya, Hingga sekarang aku harus kembali asing.  Ya, pada akhirnya kita harus menjadi asing kembali. 

Rabu, 04 Maret 2015

Secangkir Cappuccino

"Kenapa suka sekali minum kopi?" kataku mengawali percakapan.  Pelayan baru saja selesai membawakan pesanan kita.

"Ini bukan kopi.  Ini Cappuccino," jawabmu sambil mengaduk minumanmu dengan sendok.

"Apalah namanya. Yang penting ada kandungan kopi-nya kan?" kataku. Kamu sedikit tersenyum.

"Ga tau. Suka aja." jawabmu.

"Ko ga tau?" aku belum menyerah.

"Ngeyel ih! Apa harus selalu ada alasan untuk suka sama sesuatu?" katamu.  Meski kesal kamu tidak pernah bisa menampilkan wajah marah.  Selalu yang terlihat di wajahmu adalah raut muka imut menggemaskan.

"Mungkin tidak selalu harus.  Tapi pada kesan pertama pasti ada sesuatu yang membuat kamu jadi suka."
Kamu diam.  Matamu menerawang.  Hening sejenak menyelimuti kita.

"Mungkin, karena saat minum kopi perasaanku menjadi lebih tenang." ungkapmu.
Aku menganggukkan kepala.

"Lalu... Lalu apa alasanmu menyukaiku?" katamu tiba tiba.  Aku yang hendak memasukkan makanan ke mulutku sampai membatalkannya. 

"Apa harus selalu ada alasan untuk suka sama seseorang?" kataku membalikkan pertanyaanmu.
Dan sialnya, kamu melakukan hal yang sama : "Mungkin tidak selalu harus.  Tapi pada kesan pertama pasti ada sesuatu yang membuat kamu jadi suka," katamu.

Aku terdiam.  Kutatap wajahmu dalam, berusaha menemukan satu dari sekian banyak alasan mengapa aku bisa menyukaimu.

"Aku suka tahi lalat kecil yang ada di bibirmu.  Menurutku wanita yang memiliki tahi lalat kecil di bibirnya lebih cantik tiga kali lipat dibanding bila dia tidak memilikinya."

Rabu, 25 Februari 2015

Bolehkah aku mencintaimu?

"Hai," katamu sambil tersenyum menyambutku
.
Ahh.. aku selalu suka senyuman itu.

Aku hanya membalasmu dengan senyuman tipis yang melengkung di wajah, kemudian menggeser kursi tepat di depanmu.

"Mas," kataku sambil mengacungkan tangan.  Pelayan yang merangkap koki di warung tenda ini kemudian menghampiriku.

"Pesen ayam goreng sambal padang ya satu.  Nasinya nasi uduk. Minumnya air putih aja ya, Mas"

Pelayan tadi mengangguk sambil mencatat semua pesananku,  lantas meninggalkan kita berdua.

Hening melingkupi kita beberapa detik.  Kamu masih sibuk dengan makananmu sementara aku,  aku terlalu asyik melihat kamu makan.

Aku menyukai waktu ketika aku melihatmu dan kamu tidak menyadarinya.

"So?" kataku memecah keheningan. Sebenarnya yang sedang kulakukan adalah bersiap siap mendengarkanmu bercerita.  Cerita yang pastinya panjang lebar dan membosankan.  Iya, sangat membosankan.  Tapi aku akan bersabar mendengarkannya.

"Apa?"  katamu.  Entah sedang berpura pura atau kamu memang tidak mengerti maksudku.

"Iya apa?" balasku tidak mau kalah.

"Apanya yang apa?"katamu lagi.  Lebih tidak mau kalah.

"Isssh.. Gimana ceritanya?"

Kamu pun dengan antusias mulai menceritakan ceritamu.  Tentang kalian berdua.  Tentang bagaimana dia tiap hari menelfonmu, tentang bagaimana dia selalu bersikap manis kepadamu, tentang hubungan jarak jauh kalian.  Tentang dia yang seperti ini, tentang dia yang seperti itu, tentang dia yang begini dan begitu.  Sungguh membosankan.  Tapi aku menikmatinya.  Aku menikmati saat saat mendengarmu berbicara, meski sebenarnya dalam waktu yang sama aku juga menderita.

Selalu seperti itu.

***

Mungkin memang inilah jalan kita.  Kita dipertemukan (hanya) sebagai sahabat, bukan yang lain.


 

Minggu, 15 Februari 2015

Aku Ingin Menulis Lagi

Ahh.. An, aku tak mengerti apa yang telah terjadi pada diriku sendiri.  Aku sekarang tak ubahnya seperti orang tua yang kehilangan tongkatnya, seperti pelukis yang kehilangan kuasnya.  Sepenuh hati aku ingin menulis lagi,  menceritakan suatu kisah lewat sebuah tulisan.  Tapi entah kenapa rasanya hal itu sekarang sulit sekali dilakukan.  Aku kehilangan inspirasi, An.

Kamu pernah berkata bahwa penulis yang baik itu adalah penulis yang menulis dengan hatinya.  Aku tak bisa lagi, An. Aku tak bisa!  Aku takut hatiku beku, An.  Aku takut dosa telah mengeraskan hatiku.  Apa yang harus aku lakukan?

Kamu juga pernah bilang, "Bukalah mata hatimu, lalu kamu akan melihat apa yang tidak bisa dilihat mata.  Tulislah apa yang dilihat hatimu!"  Ah, lagi-lagi aku merasa takut, An.  apa hati ini telah buta hingga tak bisa lagi peka terhadap apa yang ada?

Aku takut, An.
Apa yang harus aku lakukan?

Jumat, 13 Februari 2015

Semua Akan Baik Baik Saja (kan?)


Ah... An, lagi-lagi yang akan kusampaikan hanyalah keluhan, hanyalah sisi lemahku yang tak mampu menanggung semua beban sendirian.  Sungguh pengecut bukan?

 Terkadang aku iri dengan orang lain yang bisa berlari kencang dalam hidupnya, melewati segala rintang dengan satu lompatan tanpa ragu, tanpa harus banyak yang dipikirkan.  Dan pastinya kamu tahu, aku bukan orang yang seperti itu.  Ya, aku terlalu asyik dengan ritme hidupku sendiri yang santai, yang tak pernah mau terkekang deadline-deadline yang harus terpenuhi.   Namun pada akhirnya, seperti biasa aku harus meratapi ketertinggalanku, telat menyadari bahwa dunia telah jauh meninggalkanku.

Seperti sekarang, An, ketika orang lain sudah siap wisuda, aku masih harus mengurusi revisian proposal penelitian yang tak rampung juga. Aku ke mana aja?

Ternyata memang benar ya, titik terberat dalam perkuliahan justru ketika saat-saat terakhir, saat di mana sudah tidak ada lagi perkuliahan, yang harus kita lakukan hanyalah menyusun tugas akhir. Tapi tak kusangka prosesnya harus sepanjang ini, An. 

Namun seperti yang selalu kamu bilang kan? bahwa semua akan baik baik saja.

Tapi tetap saja berat An !
Apa yang harus aku lakukan?

Arrgh... Tuhan saja tidak pernah menguji manusia di luar batas kemampuannya!
Lalu ujian macam apa yang sedang kuhadapi sekarang ini?
Aku pusing, An!

Namun seperti yang selalu kamu bilang kan? bahwa semua akan baik baik saja.
Ya! semua akan baik baik saja!
Semua akan indah pada waktunya
Aku hanya harus mempercayainya bukan?

Selasa, 10 Februari 2015

Our Conversation

4 Februari 2015


Ini tempat sensitif, ini tempatnya orang pacaran. Jadi aku akan duduk sedikit menyerong, aku tidak akan duduk tepat di depanmu. Aku tidak mau orang lain mengira kita pacaran, meski sebenarnya aku sedikit menginginkannya. Arrghh. membiarkan orang lain mengira kita pacaran hanyalah membohongi diriku sendiri.

Kamis, 22 Januari 2015

Cinta Pertama

Rani, tadi malam kamu muncul lagi di mimpiku.  Tergambar jelas bagaimana wajahmu, bagaimana putihnya kerudung yang kamu kenakan.  Sebagian orang menganggap mimpi hanyalah bunga tidur, dan sebagian lagi menganggap ada sebuah makna atau pertanda di dalam setiap mimpi. Ah, aku tak mau pusing memikirkannya. Hanya saja setiap aku bermimpi tentang kamu, mimpiku selalu terasa indah.

Katanya, munculnya seseorang di mimpi kita adalah lantaran kita sedang kangen atau memikirkan orang itu.  Padahal, sebelum tidur aku tidak sedang memikirkan kamu.  Mungkin iya aku kangen kamu. Sedikit. Tapi masa iya hanya karena kangen lantas kamu bisa ada di mimpi aku?

Hampir  empat tahun kita berpisah, satu tahun lebih kita tidak bertemu, kamu pun telah banyak bertemu orang orang baru, sudah tidak ada lagi alasan bagiku  untuk..... untuk terus memikirkan kamu.  Meski sebenarnya pikiran-pikiran tentang kamu masih sering melintas di kepala hingga saat ini.

Aku adalah orang yang percaya bahwa cinta pertama itu tak pernah mati.  Ia tersembunyi di satu sisi hati yang suatu saat bisa menampakkan diri. Mengapa?  Aku pun tidak mengerti.  Namun, hal itu tentu bukan berarti dapat dijadikan alasan untuk kita stuck di masa lalu. Masa lalu bukan untuk dijalani di masa ini, pun bukan  untuk dilupakan.  Bagiku, masa lalu adalah masa di mana semua kenangan tersimpan. Hanya itu. Meski terkadang muncul keinginan agar masa lalu dapat terulang lagi.

Begitu pula dengan dirimu, Ran. Aku tak pernah menyesal bertemu denganmu. Aku tak pernah menyesal memiliki perasaan istimewa kepadamu. Pun tak lagi berharap suatu saat takdir menyatukan kita berdua. Aku terlalu takut bahkan hanya untuk memimpikannya.  Aku terlalu takut terjatuh dengan impianku sendiri.  Kehadiran dirimu dalam mimpi dan ingatanku saja sudah cukup berarti untukku.  Tak perlu memusingkan apa yang belum terjadi, tak perlu pula berangan-angan terlalu tinggi.  Kita jalani saja takdir kita masing-masing.  Bila memang kita menuju puncak yang sama, suatu ketika kita pun akan bertemu di atas sana.

Terima kasih
Terima kasih telah meng-indahkan setiap mimpi mimpiku