Subscribe:

Pages

Jumat, 19 Juni 2015

Permintaan Maaf


Mataku sedang menatap kosong ke depan kelas ketika telfon genggam dalam saku celanaku bergetar.  Kurogoh ia dengan malas sambil setengah mengumpat, siapa pula orang yang mengirim pesan singkat di tengah perkuliahan seperti ini?
Kuhidupkan layarnya dengan sekali pijit.  satu pesan telah mucul otomatis di layar muka. "Fik, bisa ketemu?" bunyinya.  Sebuah pesan dari orang yang telah lama tak menghubungiku, orang yang telah berusaha kuhapus tulisan namanya dari otak dan hatiku hingga hampir bersih seluruhnya.  Kalila.

Dan dengan lancangnya, tulisan nama itu kembali jelas tampak dalam memoriku. Sial!. Mengapa begitu saja orang ini muncul ketika hampir semua memori tentangnya kubersihkan dari ingatanku?

Aku mengabaikan tulisan itu dengan tidak mengetik pesan jawaban.  Malas sudah rasanya menanggapi orang yang telah nyata nyata membuangku ke tempat yang paling hina sekaligus.  Namun ternyata, rasa penasaranku terus mengakar.  Rasa penasaranku terbit ketika pesan kedua muncul. "Tolong, aku ingin bicara,"  katanya.  Tidak serta merta dia akan mengirim pesan beruntun dua kali bila memang tidak ada hal penting yang ingin disampaikannya.  Aku menyerah, membenamkan egoku sedalam dalamnya hingga wujudnya tak tampak lagi.  

Akhirnya aku mengetik pesan balasan untuknya, "Sore ini di luar perpus.  Jam 4 tepat."

Sesuai dugaan, Kalila telah duduk di salah satu kursi yang terletak tak jauh dari pintu masuk perpustakaan.  Padahal jam tanganku belumlah menujuk pada angka 4 pas.  Aku berjalan gontai mendekatinya.  Seribu perasaan yang pernah berusaha kukubur begitu saja muncul ke permukaan. Ada apa dengan diriku?

Kalila menyapaku dengan senyuman canggung ketika dia melihatku.  Aku pun melengkungkan senyuman yang tidak kalah canggungnya.  Tanpa satu kata keluar dari mulutku, aku langsung duduk di depannya.  Satu meja panjang menjadi pemisah tubuh kami berdua.

Sekian lama waktu berjalan, tak juga satu patah kata keluar dari mulut kami berdua.  Aku terlalu malas memulai pembicaraan, sementara dia kulihat kesulitan mencairkan suasana.  Kami diam membisu seperti dua orang yang belum pernah bertemu sama sekali.

Lama-lama aku bosan dengan keadaan ini.  Mengalah, aku pun mulai membuka pembicaraan. "Jadi?" kataku singkat.

"Hmm?" Kalila tampak bingung.  Sulit sekali sepertinya bagi dia merangkai kata kata yang ingin disampaikannya.

Aku tak menanggapi, malah menunggu respon lain yang akan diberikannya.

"Aku... Aku mau minta maaf, Fik." katanya akhirnya.  Ekspresi wajahnya berubah derastis.  Ada nada memelas di setiap kata yang diucapkannya.

"Maaf untuk?"  

"Untuk semuanya."

"Semuanya itu apa?"

"Ya semua.  Kamu tahu kan maksudku?"

"Enggak.  Kalau kamu ingin meminta maaf, kamu harus tahu persis apa kesalahan yang kamu lakukan."  kataku.  Perasaanku tiba tiba melambung.  Aku merasa sedang di atas angin.  Wanita di depanku ini memelas maaf dariku.

"Untuk semua yang telah terjadi antara kita.  Aku nggak tenang kalau belum minta maaf ke kamu."

"Jadi sekarang udah tenang?"

"Belum.  Kan kamu belum maafin."

"Kenapa baru sekarang minta maafnya?  Dulu dulu ke mana?  Lagian, kamu sendiri yang minta aku buat ngilang dari kehidupan kamu, buat sepenuhnya pergi dari pandangan kamu.  Kenapa kamu tiba tiba minta ketemu?"

"Maafin aku." Ekspresi wajahnya semakin parah saja.  Tangis mungkin sebentar lagi pecah dari balik kelopak matanya. Dia menunduk, menyembunyikan wajah-merasa-bersalah nya.

"Maaf lagi. Kata aku juga percuma minta maaf kalau kamu enggak merasa bersalah, kalau kamu apa kesalahan kamu sebenarnya."

Satu tetes air mata akhirnya jatuh juga ke pipinya, menembus pertahanan yang telah sekian lama dia lakukan.
"Aku minta maaf udah nyakitin kamu.  Ternyata peraasan aku ke kamu dulu itu cuma pelampiasan dari kejenuhanku aja dengan hubungan yang sedang aku jalanin.  Maksud aku, aku nggak bermaksud nyakitin hati kamu."

"Walau kamu enggak bermaksud, tapi kamu jelas jelas udah mempermainkanku, La.  Kamu diam saja ketika aku dekati.  Kamu nerima pernyataan cintaku padahal saat itu kamu lagi sama orang lain.  Lebih salahnya, kamu berbohong tentang dia, tentang pacar (sialan)mu itu.  Dan ketika aku telah benar-benar mencintaimu, kamu kembali pada pacarmu yang dulu."

"Maafin aku."

Melihat ketidakberdayaannya, aku pun luluh.  Nuraniku terbit ketika tetes demi tetes air mata keluar membasahi pipinya.  Emosiku reda seketika. 
"Sudahlah, La.  Jika maaf yang kamu inginkan, aku telah memaafkanmu, bahkan jauh sebelum hari ini datang.  Lagipula, aku turut andil besar dalam kesalahan yang kita lakukan.  Aku pun sebenarnya harus meminta maaf padamu.  Maka maafkanlah aku.  Sudahlah.  Semua hutang yang  pernah aku janjikan padamu telah terbayar lunas Bahkan ketika kamu menyuruhku untuk menghilang dari kehidupanmu, aku lakukan.  Mari mulai saat ini kita sepakati bersama, sudah tidak ada urusan apapun di antara kita.  Maka tidak ada lagi alasan bagi kita berdua untuk saling bertemu, terlebih hanya untuk membicarakan masa lalu yang harus kita kubur dalam dalam.  Sudahlah."

Kalila mengangguk. Tangisnya pecah sudah ketika mendengarku berbicara.  Entahlah apa yang dirasakannya,  namun raut wajahnya meyakinkanku bahwa rasa bersalah perlahan mulai berkurang dalam dirinya.

0 komentar:

Posting Komentar