Mataku sedang menatap kosong
ke depan kelas ketika telfon genggam dalam saku celanaku bergetar.
Kurogoh ia dengan malas sambil setengah mengumpat, siapa pula orang yang
mengirim pesan singkat di tengah perkuliahan seperti ini?
Kuhidupkan
layarnya dengan sekali pijit. satu pesan telah mucul otomatis di layar
muka. "Fik, bisa ketemu?" bunyinya. Sebuah pesan dari orang yang telah
lama tak menghubungiku, orang yang telah berusaha kuhapus tulisan
namanya dari otak dan hatiku hingga hampir bersih seluruhnya. Kalila.
Dan dengan lancangnya, tulisan nama itu kembali jelas tampak dalam memoriku. Sial!. Mengapa begitu saja orang ini muncul ketika hampir semua memori tentangnya kubersihkan dari ingatanku?
Aku
mengabaikan tulisan itu dengan tidak mengetik pesan jawaban. Malas
sudah rasanya menanggapi orang yang telah nyata nyata membuangku ke
tempat yang paling hina sekaligus. Namun ternyata, rasa penasaranku
terus mengakar. Rasa penasaranku terbit ketika pesan kedua muncul.
"Tolong, aku ingin bicara," katanya. Tidak serta merta dia akan
mengirim pesan beruntun dua kali bila memang tidak ada hal penting yang
ingin disampaikannya. Aku menyerah, membenamkan egoku sedalam dalamnya
hingga wujudnya tak tampak lagi.
Akhirnya aku mengetik pesan balasan untuknya, "Sore ini di luar perpus. Jam 4 tepat."
Sesuai
dugaan, Kalila telah duduk di salah satu kursi yang terletak tak jauh
dari pintu masuk perpustakaan. Padahal jam tanganku belumlah menujuk
pada angka 4 pas. Aku berjalan gontai mendekatinya. Seribu perasaan
yang pernah berusaha kukubur begitu saja muncul ke permukaan. Ada apa
dengan diriku?
Kalila
menyapaku dengan senyuman canggung ketika dia melihatku. Aku pun
melengkungkan senyuman yang tidak kalah canggungnya. Tanpa satu kata
keluar dari mulutku, aku langsung duduk di depannya. Satu meja panjang
menjadi pemisah tubuh kami berdua.
Sekian
lama waktu berjalan, tak juga satu patah kata keluar dari mulut kami
berdua. Aku terlalu malas memulai pembicaraan, sementara dia kulihat
kesulitan mencairkan suasana. Kami diam membisu seperti dua orang yang
belum pernah bertemu sama sekali.
Lama-lama aku bosan dengan keadaan ini. Mengalah, aku pun mulai membuka pembicaraan. "Jadi?" kataku singkat.
"Hmm?" Kalila tampak bingung. Sulit sekali sepertinya bagi dia merangkai kata kata yang ingin disampaikannya.
Aku tak menanggapi, malah menunggu respon lain yang akan diberikannya.
"Aku...
Aku mau minta maaf, Fik." katanya akhirnya. Ekspresi wajahnya berubah
derastis. Ada nada memelas di setiap kata yang diucapkannya.
"Maaf untuk?"
"Untuk semuanya."
"Semuanya itu apa?"
"Ya semua. Kamu tahu kan maksudku?"
"Enggak.
Kalau kamu ingin meminta maaf, kamu harus tahu persis apa kesalahan
yang kamu lakukan." kataku. Perasaanku tiba tiba melambung. Aku
merasa sedang di atas angin. Wanita di depanku ini memelas maaf dariku.
"Untuk semua yang telah terjadi antara kita. Aku nggak tenang kalau belum minta maaf ke kamu."
"Jadi sekarang udah tenang?"
"Belum. Kan kamu belum maafin."
"Kenapa
baru sekarang minta maafnya? Dulu dulu ke mana? Lagian, kamu sendiri
yang minta aku buat ngilang dari kehidupan kamu, buat sepenuhnya pergi
dari pandangan kamu. Kenapa kamu tiba tiba minta ketemu?"
"Maafin
aku." Ekspresi wajahnya semakin parah saja. Tangis mungkin sebentar
lagi pecah dari balik kelopak matanya. Dia menunduk, menyembunyikan
wajah-merasa-bersalah nya.
"Maaf lagi. Kata aku juga percuma minta maaf kalau kamu enggak merasa bersalah, kalau kamu apa kesalahan kamu sebenarnya."
Satu tetes air mata akhirnya jatuh juga ke pipinya, menembus pertahanan yang telah sekian lama dia lakukan.
"Aku
minta maaf udah nyakitin kamu. Ternyata peraasan aku ke kamu dulu itu
cuma pelampiasan dari kejenuhanku aja dengan hubungan yang sedang aku
jalanin. Maksud aku, aku nggak bermaksud nyakitin hati kamu."
"Walau
kamu enggak bermaksud, tapi kamu jelas jelas udah mempermainkanku, La.
Kamu diam saja ketika aku dekati. Kamu nerima pernyataan cintaku
padahal saat itu kamu lagi sama orang lain. Lebih salahnya, kamu
berbohong tentang dia, tentang pacar (sialan)mu itu. Dan ketika aku
telah benar-benar mencintaimu, kamu kembali pada pacarmu yang dulu."
"Maafin aku."
Melihat ketidakberdayaannya, aku pun luluh. Nuraniku terbit ketika tetes demi tetes air mata keluar membasahi pipinya. Emosiku reda seketika.
"Sudahlah,
La. Jika maaf yang kamu inginkan, aku telah memaafkanmu, bahkan jauh
sebelum hari ini datang. Lagipula, aku turut andil besar dalam
kesalahan yang kita lakukan. Aku pun sebenarnya harus meminta maaf
padamu. Maka maafkanlah aku. Sudahlah. Semua hutang yang pernah aku
janjikan padamu telah terbayar lunas Bahkan ketika kamu menyuruhku untuk
menghilang dari kehidupanmu, aku lakukan. Mari mulai saat ini kita
sepakati bersama, sudah tidak ada urusan apapun di antara kita. Maka
tidak ada lagi alasan bagi kita berdua untuk saling bertemu, terlebih
hanya untuk membicarakan masa lalu yang harus kita kubur dalam dalam.
Sudahlah."
0 komentar:
Posting Komentar