"Kamu di sana apa kabar?" itulah
pertanyaan yang hampir tiap hari aku ucapkan. Namun setiap hendak
menanyakan padamu langsung, aku sendiri langsung bisa menjawabnya,"Kamu
baik baik saja (meski tanpa diriku)" Kemudian akhirnya aku hanya bisa
melihat isi profilmu dari media sosial yang semakin menegaskan bahwa
kamu baik baik saja. Ya, kamu baik baik saja tanpa aku.
Adalah
kebohongan bila aku berkata bahwa waktu tiga tahun bersamamu dapat
kulupakan begitu saja. Adalah kebohongan pula bila kini kamu telah
hilang dari hati dan pikiranku. Bagaimana tidak, waktu tiga tahun
bukanlah waktu yang sebentar, terlebih banyak kenangan yang terjadi
selama waktu itu. Ditambah dengan cara perpisahan kita yang tidak jelas
menurutku, tidak ada kata perpisahan atau ucapan selamat tinggal di
antara kita.
Jarak
memang pembunuh paling keji dalam sebuah hubungan. Awalnya kita memang
baik baik saja berada di tempat yang berbeda, dalam jarak sekian ratus
kilometer panjangnya. Toh kita masih bisa bertegur sapa lewat
teknologi. Kita masih bisa berucap mesra seperti mengungkapkan rasa
kangen kita lewat telfon atau pesan singkat. Namun seiring waktu,
segalanya berubah. Atas nama pertumbuhan, kamu berubah, begitupun aku.
Kita menjadi sibuk dengan urusan masing-masing. Intensitas percakapan
kita semakin berkurang. Ditambah biaya yang harus kita keluarkan demi
dapat bertegur sapa. Tak ada anggaran yang aku khususkan untuk dapat
terus berbicara denganmu. Kita semakin jaran bercengkrama, hingga
puncaknya, suatu malam kamu mengirim pesan singkat ke telfon genggamku.
Kamu berkata bahwa kamu kecewa padaku. Aku kaget bukan kepalang.
Kukira hubungan kita baik baik saja. Pertemuan yang sedang kuhadiri pun
aku abaikan. Aku menepi, menekan layar hp berkali kali untuk
menghubungimu. Setiap kali terhubung, sebanyak itu pula kamu menolak
panggilanku. Puluhan pesan singkat kukirimkan padamu dari telfon
genggamku, dan tak satupun kamu membalasnya.
Semua
serba tiba-tiba dan membingungkan. Hingga detik ini, aku tidak
mengerti apa yang membuatmu kecewa padaku. Tindakanku kah? apa yang
salah dengan tindakanku? Semua membingungkan. Dan sialnya, tak ada satu
kata pun darimu yang menjelaskan semuanya. Kamu bungkam. Setiap
kutelfon, kamu selalu menolaknya.
Satu
tahun lebih. Ya, telah satu tahun lebih kamu bersikap dingin seperti
ini. Padahal dalam waktu itu tak kurang dari seratus pesan singkat
telah kukirimkan. Aku pun menyerah. Lelah. tak ada itikad baik darimu
untuk memperbaiki apa yang telah rusak. Percuma saja bagiku
mengharapkan semua kembali seperti dulu jika kamu sendiri tidak mau
melakukannya. Kamu egois.
Aku
menyerah. Aku pasrah. Hidupku harus terus berjalan. Aku harus
menjalani hidup sebik kamu menjalaninya, tanpa diriku. Kamu bertemu
orang-orang baru, pergi ke tempat-tempat baru, menjalin hubungan dengan
orang baru, aku pun akan melakukannya. Bukan sebagai pembalasan dendam
terhadapmu. Percayalah, sudah sejak lama aku memaafkanmu. Aku
melakukannya hanya karena aku sendiri sadar, dunia masih terus
berputar. Aku harus tetap tumbuh, menjalani kehidupan yang baru,
menghargai orang-orang yang saat ini ada di sisiku, menghargaiku.
(V)
0 komentar:
Posting Komentar