Subscribe:

Pages

Kamis, 11 Juni 2015

Pertengkaran Kemarin

"Kamu di sana apa kabar?" itulah pertanyaan yang hampir tiap hari aku ucapkan.  Namun setiap hendak menanyakan padamu langsung, aku sendiri langsung bisa menjawabnya,"Kamu baik baik saja (meski tanpa diriku)" Kemudian akhirnya aku hanya bisa melihat isi profilmu dari media sosial yang semakin menegaskan bahwa kamu baik baik saja. Ya, kamu baik baik saja tanpa aku.

Adalah kebohongan bila aku berkata bahwa waktu tiga tahun bersamamu dapat kulupakan begitu saja.  Adalah kebohongan pula bila kini kamu telah hilang dari hati dan pikiranku.  Bagaimana tidak, waktu tiga tahun bukanlah waktu yang sebentar, terlebih banyak kenangan yang terjadi selama waktu itu. Ditambah dengan cara perpisahan kita yang tidak jelas menurutku, tidak ada kata perpisahan atau ucapan selamat tinggal di antara kita.

Jarak memang pembunuh paling keji dalam sebuah hubungan.  Awalnya kita memang baik baik saja berada di tempat yang berbeda, dalam jarak sekian ratus kilometer panjangnya.  Toh kita masih bisa bertegur sapa lewat teknologi.  Kita masih bisa berucap mesra seperti mengungkapkan rasa kangen kita lewat telfon atau pesan singkat.  Namun seiring waktu, segalanya berubah.  Atas nama pertumbuhan, kamu berubah, begitupun aku.  Kita menjadi sibuk dengan urusan masing-masing.  Intensitas percakapan kita semakin berkurang.  Ditambah biaya yang harus kita keluarkan demi dapat bertegur sapa.  Tak ada anggaran yang aku khususkan untuk dapat terus berbicara denganmu. Kita semakin jaran bercengkrama, hingga puncaknya, suatu malam kamu mengirim pesan singkat ke telfon genggamku.  Kamu berkata bahwa kamu kecewa padaku.  Aku kaget bukan kepalang.  Kukira hubungan kita baik baik saja.  Pertemuan yang sedang kuhadiri pun aku abaikan.  Aku menepi, menekan layar hp berkali kali untuk menghubungimu.  Setiap kali terhubung, sebanyak itu pula kamu menolak panggilanku.  Puluhan pesan singkat kukirimkan padamu dari telfon genggamku, dan tak satupun kamu membalasnya.

Semua serba tiba-tiba dan membingungkan.  Hingga detik ini, aku tidak mengerti apa yang membuatmu kecewa padaku.  Tindakanku kah? apa yang salah dengan tindakanku? Semua membingungkan.  Dan sialnya, tak ada satu kata pun darimu yang menjelaskan semuanya.  Kamu bungkam.  Setiap kutelfon, kamu selalu menolaknya.

Satu tahun lebih. Ya, telah satu tahun lebih kamu bersikap dingin seperti ini.  Padahal dalam waktu itu tak kurang dari seratus pesan singkat telah kukirimkan.  Aku pun menyerah.  Lelah.  tak ada itikad baik darimu untuk memperbaiki apa yang telah rusak.  Percuma saja bagiku mengharapkan semua kembali seperti dulu jika kamu sendiri tidak mau melakukannya.  Kamu egois.

Aku menyerah.  Aku pasrah.  Hidupku harus terus berjalan.  Aku harus menjalani hidup sebik kamu menjalaninya, tanpa diriku.  Kamu bertemu orang-orang baru, pergi ke tempat-tempat baru, menjalin hubungan dengan orang baru, aku pun akan melakukannya.  Bukan sebagai pembalasan dendam terhadapmu.  Percayalah, sudah sejak lama aku memaafkanmu.  Aku melakukannya hanya karena aku sendiri sadar, dunia masih terus berputar.  Aku harus tetap tumbuh, menjalani kehidupan yang baru, menghargai orang-orang yang saat ini ada di sisiku, menghargaiku.

(V)

0 komentar:

Posting Komentar