Subscribe:

Pages

Jumat, 31 Agustus 2012

Catatan Kecil-Serupa Tapi Tak Sama


Mawar
Beberapa bulan yang lalu, namaku banyak disebut media media informasi, baik media elektronik maupun media cetak. Namaku bahkan sempat menjadi headline  surat kabar kabupaten.  Bagi mereka pemburu berita,  penderitaan yang aku rasakan merupakan sebuah santapan sedap untuk mengais rejeki.  Sudah sepantasnya memang, aku tak menyalahkan mereka. 


Mawar adalah nama asliku, bukan nama samaran.  Para pekerja media itu tak lagi harus menyembunyikan namaku kala mereka membuat berita tentang diriku.  Mungkin kebanyakan para penyimak berita akan menyangka nama “Mawar” adalah nama samaranku jika para pekerja media tak menjelaskannya, karena nama “Mawar” sudah umum digunakan untuk menyamarkan oran yang yang berasib sepertiku, korban pelecehan seksual. Ah, tak penting juga. Baik nama samaran ataupun nama asli, sudah tidak penting lagi untukku. 

Dalam perutku kini tumbuh  bayi yang aku sendiri tak tahu berasal dari benih siapa. Entah Doni, entah Riki, entah Abdi, atau Haeru yang berhasil menyarangkan benihnya di badanku. Empat orang itu menggilirku suatu malam saat aku berjalan sendiri pulang dari tempat mengaji. Aku hanya bisa pasrah setelah sekuat tenaga melawan dan berteriak sekerasnya namun sama sekali tak ada pertolongan. Empat orang itu terlalu kuat untuk aku lawan seorang diri.

Penderitaanku tak henti sampai di sana.  Perkosaan itu tak ada artinya dibanding rasa maluku menghadapi orang-orang di sekelilingku.  Walaupun sebagian dari mereka tahu nasib yang aku alami, namun semua dari mereka tetap tidak bisa menerima adanya kehamilan di luar pernikahan.  Aku tetap terasingkan, dari masyarakat, dari dunia, bahkan dari diriku sendiri.---

Dwi
Dua orang wartawan minggu lalu berkunjung ke rumahku untuk berwawancara seputar diriku yang berhasil menjadi juara dalam sebuah kompetisi kepintaran tingkat nasional.  Mereka bertanya banyak tentang diriku, mulai dari caraku belajar, caraku bertanding, sampai caraku makan mereka tanyakan.  Sesekali ibuku menjawab pertanyaan dari wartawan itu walaupun sebenarnya yang mereka tanyai adalah aku.  Ada sorot kebanggaan terpancar dari mata ibuku saat menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan.

Hari ini koran itu terbit.  Ayahku yang seorang pelanggan setia koran itu adalah orang pertama yang menunjukannya kepadaku.  Ia pun terlihat bangga kala menyerahkan koran itu kepadaku.  Beliau yang biasanya enggan mengantarkanku berangkat sekolah, kini dengan senang hati menyempatkan dirinya.  

Alangkah terkejutnya diriku ketika sampai di sekolah.  di atas pintu gerbang tertulis ucapan selamat yang ditunjukkan kepadaku.  Bahkan di sana terpampang jelas foto diriku yang sedang memegang piala kejuaraan.  Ayah langsung tersenyum sambil mengelus-elus kepalaku  ketika melihat tulisan itu.  Keterkejutanku tak berhenti di sana.  Setelah turun dari mobil, berbondong-bondong guru-guru dan murid menyalamiku satu-satu.  Walaupun aku tak mengenali mereka semua,  dengan senang hati aku menyambut jabatan tangan dari mereka.---


Rangga
Tubuhku kini terbaring tak berdaya di atas sebuah ranjang. jarum inpus menancap kuat di pergelangan tangan kananku. Kanan dan Kiriku adalah orang orang tak berdaya yang sedang menunggu giliran panggilan Ijroil, seperti diriku sendiri.

Seminggu lalu, aku masuk ke tempat ini dengan keadaan tak sadarkan diri. kala itu, buih putih keluar dari mulutku.  Luka bekas suntikan jarum masih memerah dalam lenganku.  Dosis yang terlalu tinggi yang aku suntikkan pada aliran darahku membuatku berada di ambang antara hidup dan mati.

Berita tentangku memang tak banyak tampak di media, karena pada saati itu isu kasus korupsi sedang begitu panasnya.  Hanya sebuah berita kecil dari sebuah program berita di salah satu stasiun televisi yang menyiarkan berita tentang aku.  Itu pun hanya menceritakan bahwa seorang pemuda pecandu narkoba, diriku, masuk rumah sakit gara gara over dosis narkoba.  Berita yang naif, komentarku.  mereka hanya memperlihatkan apa yang mereka lihat dan dengar, tanpa merasa apa yang seharusnya mereka rasa.

Aku tak hendak menyalahkan Tuhan yang menjadikanku manusia seperti ini, aku tak hendak menyalahkan orang tua yang tiap hari beradu mulut, tiap hari sibuk dengan urusan mereka sendiri, aku tak hendak menyalahkan teman-temanku yang melihat keadaanku seperti itu malah menjauh dariku, aku tak hendak menyalahkan Doni, teman kampusku yang mengenalkan barang haram itu padaku, aku pun tak hendak menyalahkan diriku sendiri.

Aku tak hendak menyalahkan siapa siapa tentang keadaanku, toh semua itu sudah tidak penting lagi bagiku. aku kini terbaring di sini, di tempat ini, dengan suntikan inpus yang menusuk di pergelanganku, dengan mata yang masih saja tertutup, dengan otak yang belum bisa berfungsi sempurna, dan dengan kesadaran yang masih saja belum kembali.---

0 komentar:

Posting Komentar