Subscribe:

Pages

Rabu, 04 Juni 2014

Indonesia

"Bangke, Jakarta memang kampret..." Iwan memaki sambil memukul stir di depannya.

"Lu kenapa teriak teriak gitu?  kesurupan lu?" Tina menimpali dari kursi belakang.

"Tau nih tiba tiba marah marah." aku ikut menimpali.



"Macetnya Jakarta udah kelewatan tau ga?  masa udah setengah jam kita baru maju 5 meter coba.. balapan sama penyu pun kalah kita." Katanya Iwan dengan muka kesal.

"Namanya juga weekend, orang-orang pada turun lah ke jalan." Aku coba menganalisis. "Lagian lu kayak baru aja pergi ke Jakarta."

"Tapi Bro, macet kayak gini tuh buang buang waktu.  Lu pada sih enak saat macet bisa sambil istirahat tidur.  Kita yang nyetir, macet pun tetep aja harus melotot ke depan." Katanya masih dengan muka kesal.

"Terus lu mau gimana? teriak teriak gitu nyuruh mobil yang di depan minggir? ' Woy yang di depan, minggir, minggir, Iwan Si Batak Jawa mau lewat ini'"  Tina malah meledek Iwan dengan meniru logat Bataknya.

"Batak Jawa apa Badak Jawa Tin? hahaha," aku pun malah tergoda meledek Iwan.

"Ah kalian ni, Aku lagi kesal juga malah kalian ledek. Mau kuturunkan kalian di sini ha? Biar kalian jalan kaki sana nyampe Bogor. Gempor-gemporlah tuh kaki." Walau suaranya kini memelan, air muka kerasnya tak juga hilang dari wajahnya.

"Haha... Sory sory bro, bercandalah kita, kau jangan marah begitu lah,"  Tina berbicara masih dengan meniru logatnya Iwan.

"Kesal kali aku ni, Jakarta udah berapa kali ganti gubernur, tak satu pun bisa atasi kemacetan jalan. Belum lagi gubernur yang sekarang, belum selesai dia benahi Jakarta, malah pengen naik jadi presiden. Di mana elektabilitas dia? Di mana janji janji yang dia ucapkan ketika kampanye dulu?"  ujar Iwan.

Tina sedikit terkekeh. "Wan, bahasa lu, tinggi beud."

"Namanya juga politik Wan, mumpung dia lagi tenar-tenarnya, ya dia naik lah. Periode depan belum tentu kan dia masih setenar sekarang." Aku bertingkah sok mengerti politik.

Iwan masih kekeh, "Tapi Bro, kalo gini terus, kapan beresnya negeri ini?  Urusan satu pemimpin belum beres, udah ganti lagi sama pemimpin lain, kapan majunya negara kita?"

Tina menyondongkan badannya ke depan, memposisikan dirinya diantara dua kursi depan. "Iya sih, tapi Wan, majunya negeri ini ga cukup dengan pemimpin yang ideal. Justru poin pentingnya itu ada di kita sebagai warga negaranya."

Iwan menarik tuas perseneleng, memajukan mobil sejauh satu meter. "Tapi seengaknya Tin, kalo pemimpinnya adil dan ga cuma mikirin urusan satu pihak, gue yakin negara ini pasti bisa berkembang lebih cepat.  Liat aja ketika Rosululloh memimpin Madinah dulu, perubahan besar bisa beliau lakukan pada negara yang dipimpinnya."

"Itu kan dulu, Wan.  Udah beda zaman kita." Tina tetap dengan pendiriannya.

"Bukan itu Tin poin pentingnya.  Maksud aku tuh pemimpin punya peran penting dalam majunya satu negara."

"Sudah sudah jangan berdebat, ntar pada berantem lagi."  Aku menengahi.

"Siapa pula yang berdebat.  Kita kan lagi diskusi, iya ga Wan?" Tina sewot.

"Tau nih.  Kayak gini nih yang namanya apatis,  ga mau pusing pikirin negeri sendiri."  Iwan pun malah  ikut menyerangku.

"Enak aja apatis.  Gini gini juga jue udah coba membuat negara kita lebih maju."

"Buktinya?"

"Gue udah berusaha menjadi warga negara yang baik dan benar."

"Gitu doang mah ga bakal bikin negara kita maju." Tina tidak setuju.

Aku memiringkan badan menghadap kedua temanku, "Eh Tin, Aa Gym bilang, mulai dari hal kecil, mulai dari sekarang, dan mulai dari diri kita sendiri. Kalo semua rakyat Indonesia berpikiran kayak gue, gue yakin Indonesia bisa maju."

"Idih, pede kali kau." Iwan mencibirkan bibirnya. "Memang kau siapa? Gandhi?"

"Haha... Bukan gitu, Wan. Menurut gue, terkadang kita harus meniru orang lain untuk bisa jadi seperti dia. " Aku mencoba berdiplomasi.

"Maksud kau?" Iwan tak mengerti. "Jadi kita harus jadi orang lain gitu?"

"Bukan, maksud gue, jika kita pengen negara kita maju, kita harus bersikap seperti warga dari negara negara yang sudah maju.  Guru gue dulu pernah bilang, jika ingin sukses, kita hanya harus melakukan ATM pada orang yang udah sukses duluan."

"Kau malah muter-muter jelasinnya. Apalah itu ATM, mesin uang? Langsung aja ke pokoknya."  Iwan tak sabaran.

"ATM itu singkatan dari Amati, Tiru, Modifikasi.  pertama kita amati tuh orang-orang yang ada di negara maju kayak gimana, terus kita tiru.  Ambil contoh Jepang.  Orang-orang Jepang itu terkenal taat aturan.  Orang normal Jepang ga akan mau duduk di tempat khusus orang cacat walaupun kursi tersebut kosong. Orang Jepang juga rela antre dan ga nyerobot ke depan kayak orang-orang Indonesia, walaupun antrean itu panjang.  Nah kita tiru tuh sikap taat aturan mereka. Ga ada ruginya kan buat kita."

"Tapi itu kan di Jepang. Gimana kalau sikap orang-orang di negara maju itu ternyata ga sesua di negara kita? Apa kita harus tetap gitu niru mereka?"  Giliran Tina sekarang angkat bicara.

"Itulah fungsi yang terakhir, Tin, Modifikasi.  Kalau ternyata apa yang ada di negara maju itu ga sesuai dengan negara kita, ya kita modifikasi bagian mananya supaya hal tersebut bisa sesuai dengan negara kita.  Ya, kita pun punya akal lah buat nentuin mana yang bagus dan mana yang enggak." Aku menjelaskan.

Iwan mengangguk, "Ada benarnya juga Tin kata anak ini, kadang meniru hal yang baik itu bisa bernilai baik."

Mobil di depan maju dua meter.  Dengan sigap Iwan menginjak pedal gasnya.







0 komentar:

Posting Komentar