Subscribe:

Pages

Rabu, 25 Desember 2013

Gerimis

Anna
Bus yang kutumpangi telah setengah jam berlalu, sedang aku masih terjebak di halte ini oleh gerimis yang tak kunjung reda.  Buatku, menerobos gerimis seperti ini bukanlah masalah sebenarnya.  Bisa saja aku berlari secepatnya sampai rumah.  Namun yang jadi masalah adalah ketika sampai rumah, Mama pasti ngomel ngomel karena badan dan pakaianku basah.  Belum lagi resiko flu yang bakal muncul jika aku terkena air hujan, seperti beberapa minggu lalu ketika aku sampai harus dirawat di rumah sakit gara-gara demam tinggi. Padahal waktu itu aku hanya terkena gerimis saja. Aku memang punya sedikit masalah dalam kekebalan tubuh.

Telefon genggam milik orang di sebelahku tiba-tiba berbunyi. Ah, kenapa tidak dari tadi terpikir olehku untuk menelfon orang rumah dan memintanya menjemputku di sini. Segera kukeluarkan telefon genggamku dari dalam tas. Aku coba menghidupkan layarnya. Sial, layarnya tak mau hidup.  Mungkin baterinya yang habis. terakhir aku charge memang tadi malam. Argh, kenapa aku bisa se sial ini?.. akhirnya, aku harus kembali menikmati masa penantianku, menunggu langit menghentikan tetes-tetes airnya.

"Lagi nunggu jemputan payung ya?" tiba tiba orang di sebelahku tadi bertanya.

Aku langsung menoleh ke arahnya, "Iya, eh engga juga, eh ga tau?"

Keningnya berkerut, satu lengkungan senyum terpampang samar di wajahnya, "Ko ga tau?"

"Dibilang nunggu, iya. tapi ga tau nunggu siapa, dan yang ditunggu pun ga tau dia lagi ditunggu." jawabku bertele-tele.

"Eh?" keningnya semakin berkerut.

"Iya, aku lagi nunggu orang rumah buat jemput bawain payung, tapi mereka ga tau aku lagi nungguin mereka."

"Kenapa ga coba telefon?"

"Hp akunya mati."

"Oh... nih," dia menyodorkan telfon genggam yang tadi dipakainya kepadaku.

"Ga papa nih?"

"Udah pake aja"

Aku menerimanya dan mulai bersiap untuk menekan tombol angkanya.
"Tapi..."

"Ada apa lagi?"

"Aku ga hafal nomornya."

"Ya Tuhan..." katanya sambil tertawa.
"Terus mau nunggu di sini sampai kapan? sampai hujannya reda? hujan kaya gini biasanya lama lho.."

"Ya mau gimana lagi." kataku putus harapan.

Dia tidak bertanya lagi.  Pandangannya kini lurus ke depan menerawang.  Sepertinya ada sesuatu yang sedang dipikirkannya. Dia melihat jam yang dipakai di tangan kanannya, lalu berkata," Aku harus segera pergi."

"Oh," jawabku tak tahu apa yang harus aku katakan.

Dia berdiri kemudian melepas jaket kulit warna coklat yang dikenakannya.
"Pernah dengan pepatah yang menyebutkan bahwa seorang lelaki sejati tidak pernah meninggalkan seorang wanita di halte seorang diri?"

"Eh?" aku melongo tidak mengerti apa yang diucapkannya.  Namun tanpa membiarkanku berpikir, dia meraih tanganku.  Seperti terkena hipnotis, aku dengan gampangnya berdiri.  Namun kesadaranku segera tiba.
"Mau ngapain?"

"Ayo, aku antar sampai rumahmu. Hujan belum tentu reda kalau kamu terus menunggu."

"Tapi jaketmu basah nanti."

"Ga papa. Pernah denger pepatah yang berbunyi ' Lelaki sejati tidak takut jaketnya basah'?"

"Ahaha... perkataan filsuf mana tuh?"

"Lupa siapa namanya.. hahaha..."

Sebuah melodi melow mengalun terdengar  dari salah satu rumah yang kami lintasi. Atau hanya perasaanku saja?
Tanpa sadar, aku telah menempuh setengah perjalanan menuju rumahku

0 komentar:

Posting Komentar