Draft
Kapan
lagi kutulis untukmu
Tulisan
tulisan indahku yang dulu
Pernah
warnai dunia
Tulisan terindahku hanya untukmu
Mungkinkah
kau kan kembali lagi
Menemaniku
menulis lagi
Kita
arungi bersama
Puisi
terindahku hanya untukmu
Lagu Jikustik berjudul Puisi itu diputar winamp ber-skin Big Bento begitu saja, tanpa aku hayati, tanpa aku resapi makna
yang ingin disampaikannya. Mataku
tertuju pada tulisan berbentuk Kazuka
Mincho Pro B berukuran 12 yang
tergambar dalam microsoft word 2003 yang
sebenarnya sudah usang. Jari-jariku tertempel pada Keyboard bermerk K-One tanpa
mengetik satu hurup-pun. Anganku terlanjur melayang ke tempat antah berantah
dalam waktu yang tak kuingat lagi kapan.
Saat aku mengetik sebuah nama, dia muncul begitu saja
dari balik layar laptop-ku. Senyum indahnya terpampang dalam karya terindah Tuhan
berbentuk wajah seorang wanita. Rambut
sebahunya diikat ekor kuda ke belakang, indah.
Tas gendong berukuran kecil yang tak pernah ia tinggalkan turut
menghiasi kesempurnaan parasnya. Sambil
berjalan, tangannya ia ayunkan ke kiri dan ke kanan. Satu langkah di depanku dia berhenti. Aku
meliriknya sekilas dan kemudian kembali menatap layar laptopku. Dia mencondongkan tubuhnya ke arahku dengan
wajah yang sangat aneh. Aku kembali meliriknya dengan tatapan polos, lalu
kembali lagi menatap layar laptopku. Wajahnya berubah kesal. Pipi berlesungnya
dia kembungkan. Dia menyerah. Dia duduk di tepat di sebelahku.
“Yang,”
“Hmmm” balasku sambil terus menatap layar laptop.
“Yang,”
“Hmmm,” balasku
lagi. Kali ini sambil meliriknya sekilas
dan kembali ke layar laptop.
“Yang !!!” suaranya meninggi.
Aku menyerah.
Layar laptop yang sejak dua jam tadi kutatap tak henti, kini kututup.
“Iya Sayang, apa?”
Dia tak menjawab.
Kakinya yang menggantung ia ayun-ayunkan ke depan dan belakang.
Aku hendak menyentuh kembali laptopku. Namun saat melihat wajahnya, dia tampak tak
suka. Dasar wanita, diduakan sama laptop aja cemburu.
“Yang, kapan novel kamu terbit ?” Akhirnya suara lebut
itu muncul kembali.
“Penerbit bilang sekarang lagi fisishing. Mungkin dua tiga
minggu lagi udah bisa terbit.”
“Hmmm... udah ada rencana buat promo?”
“Dua hari pasca terbit aku harus ngisi di toko buku
langganan kita. Seminggu kemudian ngisi di luar kota. Ya, dua bulan pertama
pasti banyak yang harus aku kerjakan.”
“Kamu bakalan sibuk dong?”
“Hmm..”
“Kamu bakalan ga ada waktu dong buat aku?”
Aku menatap wajahnya.
Ekspresi manja ini yang tak pernah bisa aku lupakan.
“Kita kan masih bisa telfonan.”
“Boong. Pas promo
novel yang dulu juga kamu super sibuk, sampe seminggu ga nelfon aku. Aku telfon pun ga kamu angkat.”
“Tapi aku kan masih balas SMS kamu.”
“Iya, pagi SMS malam baru dibales”
“Maaf, maaf.. kali ini engga deh.”
“Janji?” sambil mengacungkan jari kelingkingnya. Klasik.
“Janji ga ya...” aku menggodanya.
“Iiih..”
“Iya deh, janji,” balasku sambil menyambut jari
kelingkingnya.
“Kamu udah sholat, Yang?” katanya mengalihkan
pembicaraan.
Aku tersenyum malu.
Baru ingat bahwa adzan Dzuhur sudah hampir dua jam yang lalu
berkumandang.
“Kan kebiasaan, kalo udah nyentuh laptop pasti lupa
segalanya. Sholat dulu gih! Entar
waktunya keburu habis!”
“Iya Ibu yang bawel.. saya sholat sekarang.” Aku
menggodanya sambil mengusap-usap rambut yang diikatnya lalu lantas berjalan
menuju mushola fakultas.
JKL
“Purnamannya indah ya?” sambil duduk di balkon loteng,
aku menatap ke langit sana tanpa melepas hp-ku.
Hampir tiga jam sudah kami berkomunikasi lewat handphone.
“Hmm.” Balasnya singkat.
“Seindah mata kamu,” aku bergumam lirih, tanpa disangka
ternyata dia bisa mendengarnya.
“Idih gombal.” Sautnya ketus.
Aku tak menjawab.
“Yang, udah jam sepuluh.”
“Tahu. Aku juga punya jam kali.. ?” aku menggodanya, walaupun aku tahu benar apa
maksudnya. Teori kedokteran yang
dipelajarinya benar-benar ia terapkan.
Aku ingat betul bagaimana dia bercerita dengan antusias bahwa batas kita
untuk begadang adalah jam sepuluh malam.
Ketika itulah organ bagian dalam kita seperti hati memulai
aktivitasnya. Dan sebagian besar organ
vital yang bekerja harus dalam keadaan tidur.
Maka dari itu kita tidak boleh terlalu lama begadang. Benar benar calon dokter sejati, pikirku saat
itu.
“Aku tutup ya, Yang, udah waktunya tidur.”
“Kayak anak kecil aja jam sepuluh udah harus tidur.”
“Kan udah aku bilang, organ dalam manusia itu bekerja
mulai dari jam sepuluh, dan itu harus dalam keadaan tertidur.” Gaya bicaranya seperti guru TK yang
mengajarkan anak didiknya cara makan yang benar.
“Emang iya?”
“Ngeyel ih...” suaranya meninggi, namun begitu halus.
“Bukan ngeyel, aku
masih pengen bicara sama kamu.”
“Tuh kan, gombal lagi.
Udah ya, entar keterusan. Besok
kan masih bisa ketemuan”
“Iya deh. Oh iya,
besok kamu berangkat jam berapa?”
“Aku berangkat jam delapan. Kalo kamu sibuk aku bisa berangkat sendiri.”
“Ga boleh.
Pokoknya ga ada yang boleh nganter kamu selain aku!”
“Iya deh opah jelek. Besok aku tunggu ya. Bye”
“Sip. Muuah..”
“Apa ?”
“Itu ciuman dari aku, Sayang.”
“Ih ga boleh cium cium, bukan muhrim tau.., hehe...” dia tertawa.
“Iya deh oma yang paling cantik, walau cantik tetap
oma-oma, hehe....”
“Walau oma-oma tapi opah suka kan? Udah ah, kan jadi keterusan. See you, honey, oyasumi nasai, jangan lupa
sholat Isya !”
“Iya iya..See you.
Loving you always. Bye”
JKL
“Tiit,” suara klakson motorku aku bunyikan untuk memberi
tanda bahwa aku telah sampai di depan rumahnya.
Sejurus kemudian, dia muncul dari balik pintu. Oblong putih bergaris-garis pink dipadukan
dengan rok panjang hitam dan tas gendong kecil semakin menambah
kecantikannya. Senyumya yang mengembang
membuatku tak bisa mengalihkan pandanganku. Oh Tuhan, sungguh indah ciptaan-Mu
ini.
“Mau kemana Neng,”
sambil menyerahkan helm aku berperan seperti tukang ojek.
“Kota Lama, Bang. Ongkosnya berapa?”
“Buat Neng tercinta, abang kasih geratis deh.”
“Makasih Abang yang ganteng.”
Motor yang kami tunggangi perlahan mulai melaju meninggalkan
rumah yang desainnya klasik namun tetap elegan.
Sepanjang perjalanan, kedua tangannya melingkar erat di
perutku. Pipi kanannya menempel lengket
di punggungku. Suara lembutnya tak
kudengar sejak tadi.
“Yang, kamu tidur ya?”
“Kalo lagi naik kendaraan jangan ngobrol, nanti bisa
hilang konsentrasi.”
“Iya deh ibu polwan..”
Aku tak melepaskan tarikan gas motorku.
“Jemaatnya ko dikit, Yang? ” tanyaku ketika sampai di
depan gedung yang kami tuju.
“Belum pada datang kali. Kan mulainya jam sepuluh
nanti.”
“Terus kamu kok datengnya pagi amat?”
“Aku mau curhat dulu sama bapa”
“Hmmm...
pulangnya jam berapa? Aku jemput lagi ya!”
“Jam dua belasan.
Ga usah deh, aku mau ke rumah temen dulu.”
”Siapa ? cewe cowo?”
“Cowo.”
Aku diam. Tanpa sadar ternyata ekspresi curiga bercampur
sedikit marah telah terpasang di wajahku.
“Idih cemburu.
Boong ko Yang, dia cewe. Itu lho
temen yang aku kenalkan di sini minggu lalu.”
“Ohh.. kirain.” Aku lega.
“Kirain apa?”
“Engga. Cepetan
sana masuk, entar keburu rame.”
“Ya udah kalau gitu. Dah”
Aku membalas dengan tersenyum sambil mengangkat tangan
kananku.
Langkahnya anggun menuju gedung yang di atapnya terdapa
dua bilah kayu menyilang. Sebuah gereja
tua namun nampak masih terpelihara dengan baik.
Hari ini dia melakukan ibadah rutin mingguannya.
Dia adalah seorang kristiani yang taat. Namun
ketaatannya tak membuatnya fanatik terhadap agamanya. Dia sangat menghargai
agama-agama lain. Tak jarang dia
mengingatkanku jika aku lupa melaksanakan sholat. Bahkan,
sebelum dia menerimaku sebagai pacarnya, dia bertanya dahulu padaku tentang perbedaan
antara kami ini. Dia takut perbedaan ini
akan menjadi suatu masalah besar di kemudian hari. Namun, aku berhasil meyakinkannya. Selama
kita tidak mempermasalahkan perbedaan ini, maka perbedaan ini tidak akan
menjadi masalah. Dan hal itu terbukti.
Sampai dua tahun ini kami berhasil
berjalan beriringan di atas jembatan perbedaan.
Selangkah sebelum memasuki ruangan, dia membalikkan
badannya dan melihat ke arahku. Sambil
tersenyum, dia melambaikan tangannya dan lekas masuk ke dalam ruangan.
Aku membalas senyumnya sambil memperhatikan dia
masuk. Sejuk rasanya melihat wanita yang
kucintai tersenyum ke arahku, walau pun dalam jarak yang begitu jauh. Aku pun
menyalakan motorku dan langsung pergi meninggalkan tempat itu.
JKL
Yang, kamu ke mn? Dua hari
ini kita g ketemuan. Kamu ga kangen sm aku? Km
ga sakit kan?
Yang, angkat dong telfon
aku... kamu marah ya ? Knp? Cerita dong klo ada masalah..
Kamu k mn sih yang? Aku
telfon g km angkat. Sms g dibls, d kampus g ada. Kemarin aku k rmh, bibi blg km
ga ada. Kamu k mana?
0 komentar:
Posting Komentar