Subscribe:

Pages

Jumat, 27 April 2012

6) Draft









Draft


Kapan lagi kutulis untukmu
Tulisan tulisan indahku yang dulu
Pernah warnai dunia
Tulisan  terindahku hanya untukmu

Mungkinkah kau kan kembali lagi
Menemaniku menulis lagi
Kita arungi bersama
Puisi terindahku hanya untukmu

Lagu Jikustik berjudul Puisi itu diputar winamp ber-skin Big Bento begitu saja, tanpa aku hayati, tanpa aku resapi makna yang ingin disampaikannya.  Mataku tertuju pada tulisan berbentuk Kazuka Mincho Pro B  berukuran 12 yang tergambar dalam microsoft word 2003 yang sebenarnya sudah usang. Jari-jariku tertempel pada Keyboard bermerk K-One tanpa mengetik satu hurup-pun. Anganku terlanjur melayang ke tempat antah berantah dalam waktu yang tak kuingat lagi kapan.


Saat aku mengetik sebuah nama, dia muncul begitu saja dari balik layar laptop-ku. Senyum indahnya terpampang dalam karya terindah Tuhan berbentuk wajah seorang wanita.  Rambut sebahunya diikat ekor kuda ke belakang, indah.  Tas gendong berukuran kecil yang tak pernah ia tinggalkan turut menghiasi kesempurnaan parasnya.  Sambil berjalan, tangannya ia ayunkan ke kiri dan ke kanan.   Satu langkah di depanku dia berhenti. Aku meliriknya sekilas dan kemudian kembali menatap layar laptopku.  Dia mencondongkan tubuhnya ke arahku dengan wajah yang sangat aneh. Aku kembali meliriknya dengan tatapan polos, lalu kembali lagi menatap layar laptopku. Wajahnya berubah kesal. Pipi berlesungnya dia kembungkan. Dia menyerah. Dia duduk di tepat di sebelahku.
“Yang,”
“Hmmm” balasku sambil terus menatap layar laptop.
“Yang,”
“Hmmm,”  balasku lagi.  Kali ini sambil meliriknya sekilas dan kembali ke layar laptop.
“Yang !!!” suaranya meninggi.
Aku menyerah.  Layar laptop yang sejak dua jam tadi kutatap tak henti, kini kututup.
“Iya Sayang, apa?”
Dia tak menjawab.  Kakinya yang menggantung ia ayun-ayunkan ke depan dan belakang.
Aku hendak menyentuh kembali laptopku.  Namun saat melihat wajahnya, dia tampak tak suka.  Dasar wanita, diduakan sama laptop aja cemburu.
“Yang, kapan novel kamu terbit ?” Akhirnya suara lebut itu muncul kembali.
“Penerbit bilang sekarang lagi fisishing.  Mungkin dua tiga minggu lagi udah bisa terbit.”
“Hmmm... udah ada rencana buat promo?”
“Dua hari pasca terbit aku harus ngisi di toko buku langganan kita. Seminggu kemudian ngisi di luar kota. Ya, dua bulan pertama pasti banyak yang harus aku kerjakan.”
“Kamu bakalan sibuk dong?”
“Hmm..”
“Kamu bakalan ga ada waktu dong buat aku?”
Aku menatap wajahnya.  Ekspresi manja ini yang tak pernah bisa aku lupakan.
“Kita kan masih bisa telfonan.”
“Boong.  Pas promo novel yang dulu juga kamu super sibuk, sampe seminggu ga nelfon aku.  Aku telfon pun ga kamu angkat.”
“Tapi aku kan masih balas SMS kamu.”
“Iya, pagi SMS malam baru dibales”
“Maaf, maaf.. kali ini engga deh.”
“Janji?” sambil mengacungkan jari kelingkingnya.  Klasik.
“Janji ga ya...” aku menggodanya.
“Iiih..”
“Iya deh, janji,” balasku sambil menyambut jari kelingkingnya.
“Kamu udah sholat, Yang?” katanya mengalihkan pembicaraan.
Aku tersenyum malu.  Baru ingat bahwa adzan Dzuhur sudah hampir dua jam yang lalu berkumandang.
“Kan kebiasaan, kalo udah nyentuh laptop pasti lupa segalanya.  Sholat dulu gih! Entar waktunya keburu habis!” 
“Iya Ibu yang bawel.. saya sholat sekarang.” Aku menggodanya sambil mengusap-usap rambut yang diikatnya lalu lantas berjalan menuju mushola fakultas.
JKL

“Purnamannya indah ya?” sambil duduk di balkon loteng, aku menatap ke langit sana tanpa melepas hp-ku.  Hampir tiga jam sudah kami berkomunikasi lewat handphone.
“Hmm.” Balasnya singkat.
“Seindah mata kamu,” aku bergumam lirih, tanpa disangka ternyata dia bisa mendengarnya.
“Idih gombal.” Sautnya ketus.
Aku tak menjawab.
“Yang, udah jam sepuluh.”
“Tahu. Aku juga punya jam kali.. ?”  aku menggodanya, walaupun aku tahu benar apa maksudnya.  Teori kedokteran yang dipelajarinya benar-benar ia terapkan.   Aku ingat betul bagaimana dia bercerita dengan antusias bahwa batas kita untuk begadang adalah jam sepuluh malam.   Ketika itulah organ bagian dalam kita seperti hati memulai aktivitasnya.  Dan sebagian besar organ vital yang bekerja harus dalam keadaan tidur.  Maka dari itu kita tidak boleh terlalu lama begadang.  Benar benar calon dokter sejati, pikirku saat itu.
“Aku tutup ya, Yang, udah waktunya tidur.”
“Kayak anak kecil aja jam sepuluh udah harus tidur.”
“Kan udah aku bilang, organ dalam manusia itu bekerja mulai dari jam sepuluh, dan itu harus dalam keadaan tertidur.”  Gaya bicaranya seperti guru TK yang mengajarkan anak didiknya cara makan yang benar.
“Emang iya?”
“Ngeyel ih...” suaranya meninggi, namun begitu halus.
“Bukan ngeyel, aku  masih pengen bicara sama kamu.”
“Tuh kan, gombal lagi.  Udah ya, entar keterusan.  Besok kan masih bisa ketemuan”
“Iya deh.  Oh iya, besok kamu berangkat jam berapa?”
“Aku berangkat jam delapan.   Kalo kamu sibuk aku bisa berangkat sendiri.”
“Ga boleh.  Pokoknya ga ada yang boleh nganter kamu selain aku!”
“Iya deh opah jelek. Besok aku tunggu ya. Bye”
“Sip. Muuah..”
“Apa ?”
“Itu ciuman dari aku, Sayang.”
“Ih ga boleh cium cium, bukan  muhrim tau.., hehe...” dia tertawa.
“Iya deh oma yang paling cantik, walau cantik tetap oma-oma, hehe....”
“Walau oma-oma tapi opah suka kan?  Udah ah, kan jadi keterusan.  See you, honey, oyasumi nasai, jangan lupa sholat Isya !”
“Iya iya..See you.   Loving you always. Bye”
JKL

“Tiit,” suara klakson motorku aku bunyikan untuk memberi tanda bahwa aku telah sampai di depan rumahnya.
Sejurus kemudian, dia muncul dari balik pintu.   Oblong putih bergaris-garis pink dipadukan dengan rok panjang hitam dan tas gendong kecil semakin menambah kecantikannya.  Senyumya yang mengembang membuatku tak bisa mengalihkan pandanganku. Oh Tuhan, sungguh indah ciptaan-Mu ini.
“Mau kemana Neng,”  sambil menyerahkan helm aku berperan seperti tukang ojek.
“Kota Lama, Bang. Ongkosnya berapa?”
“Buat Neng tercinta, abang kasih geratis deh.”
“Makasih Abang yang ganteng.”
Motor yang kami tunggangi perlahan mulai melaju meninggalkan rumah yang desainnya klasik namun tetap elegan.
Sepanjang perjalanan, kedua tangannya melingkar erat di perutku.  Pipi kanannya menempel lengket di punggungku.  Suara lembutnya tak kudengar sejak tadi.
“Yang, kamu tidur ya?”
“Kalo lagi naik kendaraan jangan ngobrol, nanti bisa hilang konsentrasi.”
“Iya deh ibu polwan..”
Aku tak melepaskan tarikan gas motorku.
“Jemaatnya ko dikit, Yang? ” tanyaku ketika sampai di depan gedung yang kami tuju.
“Belum pada datang kali. Kan mulainya jam sepuluh nanti.”
“Terus kamu kok datengnya pagi amat?”
“Aku mau curhat dulu sama bapa”
“Hmmm...  pulangnya jam berapa? Aku jemput lagi ya!”
“Jam dua belasan.  Ga usah deh, aku mau ke rumah temen dulu.”
”Siapa ? cewe cowo?”
“Cowo.”
Aku diam. Tanpa sadar ternyata ekspresi curiga bercampur sedikit marah telah terpasang di wajahku.
“Idih cemburu.  Boong ko Yang, dia cewe.  Itu lho temen yang aku kenalkan di sini minggu lalu.”
“Ohh.. kirain.” Aku lega.
“Kirain apa?”
“Engga.  Cepetan sana masuk, entar keburu rame.”
“Ya udah kalau gitu. Dah”
Aku membalas dengan tersenyum sambil mengangkat tangan kananku.
Langkahnya anggun menuju gedung yang di atapnya terdapa dua bilah kayu menyilang.  Sebuah gereja tua namun nampak masih terpelihara dengan baik.  Hari ini dia melakukan ibadah rutin mingguannya.
Dia adalah seorang kristiani yang taat. Namun ketaatannya tak membuatnya fanatik terhadap agamanya. Dia sangat menghargai agama-agama lain.  Tak jarang dia mengingatkanku jika aku lupa melaksanakan sholat.  Bahkan,  sebelum dia menerimaku sebagai pacarnya,   dia bertanya dahulu padaku tentang perbedaan antara kami ini.  Dia takut perbedaan ini akan menjadi suatu masalah besar di kemudian hari.  Namun, aku berhasil meyakinkannya. Selama kita tidak mempermasalahkan perbedaan ini, maka perbedaan ini tidak akan menjadi masalah.  Dan hal itu terbukti. Sampai  dua tahun ini kami berhasil berjalan beriringan di atas jembatan perbedaan.
Selangkah sebelum memasuki ruangan, dia membalikkan badannya dan melihat ke arahku.  Sambil tersenyum, dia melambaikan tangannya dan lekas masuk ke dalam ruangan.
Aku membalas senyumnya sambil memperhatikan dia masuk.  Sejuk rasanya melihat wanita yang kucintai tersenyum ke arahku, walau pun dalam jarak yang begitu jauh. Aku pun menyalakan motorku dan langsung pergi meninggalkan tempat itu.
JKL

Yang, kamu ke mn? Dua hari ini kita g ketemuan. Kamu ga kangen sm aku? Km  ga sakit kan?

Yang, angkat dong telfon aku... kamu marah ya ? Knp? Cerita dong klo ada masalah..


Kamu k mn sih yang? Aku telfon g km angkat. Sms g dibls, d kampus g ada. Kemarin aku k rmh, bibi blg km ga ada. Kamu k mana?





Tuuuut....tuuut....tuuut....


Yang udah seminggu. Kamu marah? Aku bikin salah? atw jangan” km sakit? Cerita dong..

Yang, novelku hri ini terbit.  Kmu g mau ngasih slmt bwt aku?
...

Honey, honey, honey.. aku udh g tahan. Aku tunggu km besok depan audit. Aku g akan pergi sblum km datng. Biar ujan ky di sinetron, biar diusir satpam krn kemaleman, ak g akan prgi.


Yang, aku udah depan audit ni. Km dtg Y! Ak tg..

JKL

Seorang wanita berjalan mendekatiku.  Dia yang biasanya memakai kaos oblong berlengan pendek dipadukan dengan jeans, kini memakai kaos lengan panjang dengan bawahan rok hitam panjang. Tas gendong yang selalu ia bawa kini tak terlihat di punggungnya.  Hanya rambut kucir kuda yang tidak berubah dari penampilannya.  Walau begitu, tetap saja aku bisa mengenali dia dengan baik.
Melihat orang yang selama ini aku tunggu datang, ada sebuah kebahagiaan yang besar dalam hatiku, sebuah rasa lega yang tiba-tiba saja menyegarkanku.  Lega karena ia baik-baik saja.  Lega karena akhirnya ia mau menemaniku.
Dengan ekspresi wajah yang polos,  dia duduk di sampingku. Aneh rasanya, dia sama sekali tak menyapaku. Pandangannya lurus kedepan, kosong.  Tiba-tiba saja hening menyelimuti tempat di sekitarku. Aneh.
Tetap hening.
Masih hening
Masih hening.
Masih saja hening.
“Apa kabar?”
Akhirnya.
“Hmm?”
Canggung.
“Apa kabar?”
“Kangen kamu.”
Dia hanya tersenyum tipis.
Aku melihatnya, memandangnya. Mencari sebuah jawaban atas semua yang terjadi ini. Tak sedetik pun kualihkan mataku dari matanya. Dia melirikku sekejap, lalu kembali memandang lurus ke depan.
“Kamu sakit, Yang?”
Dia tak menjawab.
Kembali hening.
Air mata tiba-tiba saja menggenangi matanya. Satu tetes jatuh membasahi pipinya.
“Kita harus putus.”
Aku tersentak mendengarnya. Ingin rasanya aku tak pernah mendengar suara itu. Suara itu hanya ada dalam lamunanku. Suara itu nyata. Suara itu benar-benar nyata.
“Apa maksudmu Yang? Aku tak mengerti.”
Aku memang benar-benar tak mengerti.
“Tuhan-mu menyuruhku memutuskanmu.”
Setetes air mata kembali lagi jatuh.
“Apa maksudmu?  Aku tak mengerti,Yang.  Aku  tak mengerti.   Coba kamu tenangin dulu diri kamu, lalu ceritakan apa yang terjadi.”
“Pulang dari gereja, aku dan temanku berjalan menuju rumahnya.  Sampai di rumahnya, aku mendengar sebuah suara yang teramat merdu.  Seseorang sedang membacakan ayat Al-Qur’an di masjid yang letaknya tak begitu jauh dari rumah temanku.  Alunannya begitu merdu hingga aku tertarik untuk terus mendengarkannya. Selesai membacakan ayatnya, laki-laki itu kemudian membacakan artinya. ‘Dan janganlah kamu nikahi perempuan musyrik, sebelum mereka beriman.  Sungguh, hamba sahaya perempuan yang beriman lebih baik daripada perempuan musyrik meskipun dia menarik hatimu. (QS Al-Baqarah:221)’.  Aku tersentak mendengarnya.  Begitu bencikah Tuhanmu pada wanita sepertiku, Yang?  kenapa? Padahal aku hanya menjalankan apa yang aku yakini.”
“Bukan begitu, Yang. Kamu salah paham.”
“Apa yang salah dari pemahamanku? Dua minggu lebih aku merenung, berpikir, memahami apa maksud dari kalimat itu. Dan hasilnya bermuara pada tempat yang sama.”
“Sudahlah, Yang.  Bukankan hal seperti ini sudah kita bahas di awal, perbedaan antara kita tidak akan menjadi halangan untuk kita bisa bersatu. Benar? Lupakan hal ini, dan kita jalani seperti biasa.”
“Bagaimana aku bisa melupakannya?.  Kau tahu hatiku tersiksa akhir-akhir ini. Tiap kali membaca sms darimu, aku menangis, Yang, aku menangis sejadi-jadinya.  Aku yakin Tuhan itu adil, tapi mengapa Tuhan menjadikan kita berbeda?  Kau muslim dan aku bukan? Mengapa muslim dan bukan muslim tak bisa bersatu?  Mengapa aku yang bukan muslim tak bisa menjadi yang terbaik untukmu yang muslim? Aku tak mengerti, Yang, aku tak mengerti.”
“Sama sepertimu, aku pun tak mengerti. Tapi apa sesuatu yang tidak kita mengerti tetap harus kita yakini?”
Dia menunduk.  air matanya kini telah membasahi semua bagian pipinya.
“Apa harus aku berganti keyakinan agar tidak ada lagi pemisah antara kita? Agar tiada lagi perbedaan antara kita? Agar kita bisa...” perkataanku terhenti.  Sebuah hantaman keras tiba-tiba saja mendarat di pipiku.  Aku terpental.
“Tuhan bukan mainan, Yang. Agama bukan mainan, bukan sesuatu yang seenaknya saja bisa kita pilih, seenaknya saja bisa kita ikuti atau kita tinggalkan semau kita. Kau tahu betul itu kan?”
“Lalu, apa yang harus kita lakukan?”
“Kita putus.  Demi Tuhan-ku dan Tuhan-mu, demi agamaku dan agamamu, kita  putus.”
Aku menghembuskan napas panjang. Berat. menyerah. Membiarkan waktu dan takdir membawaku pergi.
“Baiklah. Demi Demi Tuhan-ku dan Tuhan-mu, demi agamaku dan agamamu, kita  putus.”
Tangisnya kini tumpah.
“Semoga Tuhan menjadikan kita satu di kehidupan selanjutnya. Membentuk keluarga yang bahagia dengan anak yang membahagiakan, dengan tanpa perbedaan yang harus kita pusingkan.”
Air matanya kian membanjiri pipinya. Dia tersedu.
“Give me your hug, your last hug, your last hug as a girlfriend”
Kami berpelukan. Pelukannya begitu erat hingga sulit bagiku untuk bernafas. Dan aku nyaman dengan hal itu. Lama kami berpelukan, melupakan waktu, melupakan dunia, melupakan semesta beserta isinya. Demi Tuhan, demi agama, demi cinta, kami berpisah.

Kugerakan mouse komputerku menuju icon save yang ada di sebelah atas halaman.  Deadline yang diberikan penerbit untuk merevisi ending novelku akhirnya bisa kupenuhi dengan baik.  Lagu Jikustik berjudul Puisi kuputar sekali lagi dari winamp yang sejak tadi bernyanyi menemaniku me-review ending dari novelku.  Dengan cukup puas, kututup halaman ms word 2003 yang telah sangat membantuku bekerja. Muncullah halaman Dekstop dengan walpaper seorang lelaki duduk di kursi yang sedang memandangi purnama. Aku tersenyum. Kututup pula winamp berskin Big Bento dari layar komputerku, membiarkan walpaper dari dekstop tampil seutuhnya tanpa ada yang menghalangi pemandangannya.





 (April 2012)

0 komentar:

Posting Komentar