Subscribe:

Pages

Selasa, 03 November 2015

Selamat (Jalan)

Pukul sepuluh pagi di hari Sabtu terakhir bulan Oktober.
Matahari duha telah lama mengintip dari celah jendela yang tertutup tirai, menggelitik mata yang masih saja ingin terpejam.  Pagi ini sehabis shalat shubuh aku memang sengaja tidur lagi.  Bukan tidur lagi tepatnya, tapi tidur (tidak pakai lagi).  Semalaman aku tidak tidur sama sekali.  Jangan bertanya apa yang aku kerjakan!

  Kepala pening luar biasa dengan ingus yang keluar dari hidung tiada hentinya.  Aku coba membuka mata, menatap pagi yang tidak ada bedanya dengan pagi sebelumnya; suram.  Telfon genggam berwarna hitam yang terletak di atas meja kuraih dengan enggan dan kuhidupkan.  Dua pesan masuk, dua panggilan tak terjawab.  Bagus.  Satu pesan masuk pukul setengah 8 dari teman yang meminta diantar ke kantor polisi mengambil STNK motornya yang ditahan ketika kena tilang, meminta diantar jam 8.  Telat.  Satu lagi pesan masuk pukul 5 pagi.  Pesan darimu.

“Cem aku mau pindahan.  Boleh nitip gitar punya *******”
Aku segera membalasnya
“Jam berapa pindahannya?” mengabaikan topik gitar yang menjadi inti pesan.
“Nanti jam 2 siang”
“15 menitan lagi aku kesana”

***

15 menit kemudian
Dengan kantung mata yang membengkak, hidung yang meler, dan mata yang merah, aku menyeret tubuh lemasku ke kostanmu.  Bapak Kostanmu menyambutku dengan tatapan aneh, tapi berubah ramah ketika aku menyebut namamu.  beberapa detik kemudian kamu muncul dengan kaos oblong putih dan rambut diikan asal asalan, tidak kalah berantakannya dengan penampilanku pagi ini.

“Helm kamu mirip gojek, hijau” sambutmu.
“heh?” aku termenung, blank.  “ ah. haha” Sial.  Otakku sepertinya belum berjalan sempurna.
“Nitip yah, yang punyanya baru pulang nanti sore,”  katamu sambil menyodorkan gitar.
Aku tersenyum. Perasaan tidak-ingin-berpisah yang telah ada semakin menjalar saja.
“Kamu langsung pulang atau...”
“Engga, pindah ke rumah Uwa di ****”
“Oh yang waktu itu.”
Kamu mengangguk
“Selamat (jalan) yah..”
Air mukamu berubah. Aku memang tidak bisa menerjemahkannya sebagai perasaan bersedih-karena-perpisahan, tapi itulah sebenarnya yang aku harapkan.

Begitulah.  Tidak sampai 5 menit kita bertemu, yang bisa jadi untuk terakhir kalinya.  Aku berusaha tegar, meski nyatanya berat juga.  Motor yang kukendarai melaju dengan kecepatan tak sampai 30 kmperjam.  Waktu terasa berjalan lambat, dengan kenangan kenangan masa lalu yang tiba-tiba memenuhi kepala.

***

Tentu saja
    Tentu saja hari ini ada, jarum jam masih berputar 24 hitungan.
    Tentu saja tak perlu adegan seperti Jesse dan Celine saling berjanji bertemu di tempat yang sama 6 bulan kemudian. Atau  Nanami yang melepas Motoharu di stasiun kereta dengan lambayan dan tangisan.
    Tentu saja ini bukan novel atau film yang dramatis  namun bahagia di akhir adegan, hingga  kalimat "aku berharap waktu berhenti saat ini" tak perlu diucapkan.
    Tentu saja.
    Ah... tentu saja.
.

Bogor, 3 November 2015
-tsy-

0 komentar:

Posting Komentar