Satu persatu aku tanggalkan atribut-atribut kejahiliyahan
dari tubuhku; gelang yang telah sekian tahun melingkar di pergelangan tangan,
rambut gondrong acak acakan yang seolah telah menjadi ciri khas diriku. Aku orang baik baik. Meski atribut itu tak menggambarkan prilaku
setan, dan aku tetaplah diriku yang sama, aku ingin bertingkah seperti orang
baik lainnya. Pemberontakkan demi
pemberontakkan yang kulakukan ternyata tanpa kusadari telah membawaku ke suatu
tempat antah berantah yang membuatku ingin pulang saja.
Sabtu, 07 November 2015
Selasa, 03 November 2015
Selamat (Jalan)
Pukul sepuluh pagi di hari Sabtu terakhir bulan Oktober.
Matahari
duha telah lama mengintip dari celah jendela yang tertutup tirai,
menggelitik mata yang masih saja ingin terpejam. Pagi ini sehabis
shalat shubuh aku memang sengaja tidur lagi. Bukan tidur lagi tepatnya,
tapi tidur (tidak pakai lagi). Semalaman aku tidak tidur sama sekali.
Jangan bertanya apa yang aku kerjakan!
Kepala pening
luar biasa dengan ingus yang keluar dari hidung tiada hentinya. Aku
coba membuka mata, menatap pagi yang tidak ada bedanya dengan pagi
sebelumnya; suram. Telfon genggam berwarna hitam yang terletak di atas
meja kuraih dengan enggan dan kuhidupkan. Dua pesan masuk, dua
panggilan tak terjawab. Bagus. Satu pesan masuk pukul setengah 8 dari
teman yang meminta diantar ke kantor polisi mengambil STNK motornya yang
ditahan ketika kena tilang, meminta diantar jam 8. Telat. Satu lagi
pesan masuk pukul 5 pagi. Pesan darimu.
“Cem aku mau pindahan. Boleh nitip gitar punya *******”
Aku segera membalasnya
“Jam berapa pindahannya?” mengabaikan topik gitar yang menjadi inti pesan.
“Nanti jam 2 siang”
“15 menitan lagi aku kesana”
***
15 menit kemudian
Dengan
kantung mata yang membengkak, hidung yang meler, dan mata yang merah,
aku menyeret tubuh lemasku ke kostanmu. Bapak Kostanmu menyambutku
dengan tatapan aneh, tapi berubah ramah ketika aku menyebut namamu.
beberapa detik kemudian kamu muncul dengan kaos oblong putih dan rambut
diikan asal asalan, tidak kalah berantakannya dengan penampilanku pagi
ini.
“Helm kamu mirip gojek, hijau” sambutmu.
“heh?” aku termenung, blank. “ ah. haha” Sial. Otakku sepertinya belum berjalan sempurna.
“Nitip yah, yang punyanya baru pulang nanti sore,” katamu sambil menyodorkan gitar.
Aku tersenyum. Perasaan tidak-ingin-berpisah yang telah ada semakin menjalar saja.
“Kamu langsung pulang atau...”
“Engga, pindah ke rumah Uwa di ****”
“Oh yang waktu itu.”
Kamu mengangguk
“Selamat (jalan) yah..”
Air
mukamu berubah. Aku memang tidak bisa menerjemahkannya sebagai perasaan
bersedih-karena-perpisahan, tapi itulah sebenarnya yang aku harapkan.
Begitulah.
Tidak sampai 5 menit kita bertemu, yang bisa jadi untuk terakhir
kalinya. Aku berusaha tegar, meski nyatanya berat juga. Motor yang
kukendarai melaju dengan kecepatan tak sampai 30 kmperjam. Waktu terasa
berjalan lambat, dengan kenangan kenangan masa lalu yang tiba-tiba
memenuhi kepala.
***
Tentu saja
Tentu saja hari ini ada, jarum jam masih berputar 24 hitungan.
Tentu saja tak perlu adegan seperti Jesse dan Celine saling berjanji bertemu di tempat yang sama 6 bulan kemudian. Atau Nanami yang melepas Motoharu di stasiun kereta dengan lambayan dan tangisan.
Tentu saja ini bukan novel atau film yang dramatis namun bahagia di akhir adegan, hingga kalimat "aku berharap waktu berhenti saat ini" tak perlu diucapkan.
Tentu saja.
Ah... tentu saja. .
Tentu saja hari ini ada, jarum jam masih berputar 24 hitungan.
Tentu saja tak perlu adegan seperti Jesse dan Celine saling berjanji bertemu di tempat yang sama 6 bulan kemudian. Atau Nanami yang melepas Motoharu di stasiun kereta dengan lambayan dan tangisan.
Tentu saja ini bukan novel atau film yang dramatis namun bahagia di akhir adegan, hingga kalimat "aku berharap waktu berhenti saat ini" tak perlu diucapkan.
Tentu saja.
Ah... tentu saja. .
Bogor, 3 November 2015
-tsy-
Label:
Flash Story
Langganan:
Postingan (Atom)