Subscribe:

Pages

Rabu, 20 November 2013

The Climb

Nampaknya aku mulai jengah dengan semua ini; rumus matematik yang sulit kupecahkan,  deretan ikatan karbon yang mengular panjang, dan hukum hukum Newton-Archimedes yang tak pernah kumengerti maksudnya apa. Ini untuk apa? sudah saja hentikan semua ini.

Brrakk, kubanting buku Campbell setebal daun pintu kamarku.   Bosan sudah aku melihat tulisan hijau hitam di dalamnya. Covernya yang hijau pun benar-benar sudah tak menarik bagiku. Padahal dulu, hijau adalah warna kesukaanku.


Kurebahkan badanku di atas kasur lantai yang mulai tak empuk.  Bantal tanpa sarung kubenamkan di bawak kepalaku.  Mataku lurus kosong menatap langit-langit putih yang mulai kusam. Dramatis.  Satu hembusan napas panjang nan berat keluar dari mulutku.

"Untuk apa ini semua?" tanyaku lagi.

Lalu anganku mulai melayang nakal memikirkan apa yang tak pernak kupikirkan; bagaimana jika kuhentikan saja semua ini?  keluar dari sekolah dan menjadi punk seperti orang orang yang selalu kulihat  saat berangkat sekolah. Tertawa lepas tanpa beban, menjalani hidup seperti apa yang mereka mau, adalah sesuatu yang selalu kulihat dari wajah mereka.

Atau aku jadi pengamen saja, seperti mereka yang sering kulihat di stasiun pinggir kota? Berbekal tutup botol yang dipalu, mereka asyik tanpa beban bernyanyi, tanpa harus peduli not-not balok atau chord yang selalu diajarkan guru seni.

Bukankah yang dicari dalam hidup ini adalah kebahagiaan? bila jadi punk dan pengamen saja bisa bahagia, buat apa capek capek sekolah? Bukankah dengan tertawa dan bahagia kehidupan akan terasa sempurna?

Namun pada akhirnya, aku kembali hanya bisa menyerah. Kupungut kembali buku yang tadi kulempar dan kembali kubuka.  Kuulangi lagi dari lembar pertama.  Ada tulisan tanganku di sana yang kutulis saat aku baru membelinya, "Ketika di tengah pendakian, kau akan bertanya mengapa mau mendaki gunung yang tinggi. Namun ketika kau sampai di puncak, kau akan tahu jawabannya."

0 komentar:

Posting Komentar