“Hallo,” suaramu yang
serak dan berat menyadarkan ku kembali dari lamunan. Senyummu seperti biasa, mengembang tanpa
beban.
“Hmm,” kataku enggan.
Kamu tak bersuara lagi, hanya diam dan menatap wajahku dalam. separuh nyawa yang terlambat akhirnya memenui
kesadaranku. Aku baru ingat tentang cara dan kebiasaanmu saat dekat denganku. Kamu tak pernah mau duduk di sebelah
kiriku. Katamu, kamu ingin menempatkan
diri kamu sendiri di posisi yang benar untukku, di posisi yang paling baik
menurutmu. Meski aku pernah berkata
bahwa posisi duduk tak menentukan baik
tidaknya seseorang, kamu tetap saja keras kepala dan tak mau merubah
keyakinanmu. Kamu akhirnya berhenti
memperhatikanku dan mau duduk di sebelahku setelah aku menggeser sedikit posisi
dudukku.
“Ko mukanya ditekuk gitu? “ Dengan sedikit memiringkan badanmu, kau
kembali menatapku. “Ada masalah?” Kamu memang selalu peduli padaku. Namun sayangnya,
kamu sama sekali tidak peka terhadap apa yang sebenarnya kurasa, yang mungkin kamu rasakan juga. Atau jangan jangan aku sendiri yang terlalu
berharap bahwa kamu akan mengerti perasaanku.
“Ko diem aja? Kamu lagi dapet?” kamu kembali
bertanya.
Aku enggan menjawab pertanyaanmu. Lalu tiba tiba keheningan
menyelimuti kita.
“An,” Kamu memanggilku sambil memegang pundakku.
Aku memiringkan badanku ke arahmu. Suatu hembusan nafas panjang keluar membawa beban dalam dadaku. “Bodoh !” kataku
sambil berlalu pergi meninggalkanmu.
0 komentar:
Posting Komentar