Subscribe:

Pages

Sabtu, 17 Maret 2012

5) Salju yang Hilang









Salju yang Hilang
                               Butir Salju Terakhir II

Senyum gembira melengkung di wajahku saat kutatap lekat foto yang menempel di dinding kamarku.  Empat tahun sudah foto itu tergantung di sana. Tapi, aku tak pernah merasa bosan melihatnya setiap hari.  Entah sihir apa yang ada di dalamnya sehingga saat melihatnya, tanpa sadar hatiku selalu merasa sejuk, senyumku pun secara otomatis bisa melebar begitu saja.
Adalah foto seorang gadis duduk di sebuah kursi bercat biru.  Latar belakangnya adalah pepohonan rindang yang indah.  Senyum manisnya terkembang, gigi atasnya yang putih terlihat begitu rapi.  Kedua tangannya menengadah ke atas setinggi bahu.  Kepalanya menatap langit, menjemput butiran-butiran putih kecil yang jatuh dari atas sana.  Dia tersenyum, dia tertawa riang.  Salju memang selalu bisa membuatnya bahagia.
“Sebentar lagi aku akan menemuimu, gadis merah jambu.  Tunggulah aku di sana, di kursi biru itu!” bisikku sambil tersenyum kepada gadis itu, kepada gadis dalam foto itu.
Kreeeeek…
Pintu kamarku terbuka saat aku masih asyik menatap foto itu.  Seorang ibu paruh baya masuk sambil membawa segelas susu.  Dia melangkah mendekatiku, menyerahkan gelas yang dipegangnya padaku, kemudian duduk di tempat tidurku.
“Kau sudah memikirkannya matang matang tentang hal ini?”  ucapnya setelah menghembuskan nafas panjang.
“Sudah.  Keputusanku sudah bulat.  Aku akan pergi,” jawabku sambil melangkah mendekatinya lalu kemudian duduk di sampingnya.
“Pikirkanlah sekali lagi! Masih belum terlambat jika kau ingin membatalkannya.”
“Tidak Bu, ini adalah keputusan yang telah aku ambil.  Sayang Bu, tidak semua orang bisa mendapatkan beasiswa ini.”
Dia tak menjawab.  Berat sepertinya untuk melepasku pergi lagi.
“Restuilah anakmu ini Ibu!  Semua tidak akan menjadi berkah jika ibu tak merestuiku,”  kataku sambil menggenggam tangannya dan menempelkannya di dadaku.
Dia merangkulku, memelukku, lalu menangis di pundakku.  Air matannya membasahi kemejaku.   Dalam hatiku aku berucap,  semoga ini bukan sebuah pembangkangan.  Semoga ini jalan yang Allah pilihkan untukku.  Ridhoilah aku Ibu, ridhoi aku.
JKL

Sinar mentari menembus lurus kaca jendela ruangan tamu, membentuk hipotenus yang utuh dengan dinding dan lantai sebagai sisi pengapitnya.  Suara burung-burung masih sayup terdengar walau dhuha telah datang.  
Para tetangga dan saudara-saudaraku, baik yang jauh maupun yang dekat sudah mulai berdatangan.  Tanpa harus diundang pun, mereka nampaknya dengan rela datang ke rumahku.  Satu persatu dari mereka menyalamiku, mengucapkan kata-kata perpisahan padaku.  Tak jarang dari mereka yang datang sambil membawa bingkisan.  Namun tak sedikit pula orang yang memesan oleh-oleh saat aku pulang nanti.  Kebanyakan dari mereka adalah anak para tetangga, dan keponakan-keponakanku yang jarang sekali bisa bertemu denganku di hari-hari biasa.
Pukul 08.05
Dua jam sebelum keberangkatanku menuju bandara, lalu terbang menuju Paris.  Aku menuju kamarku, meninggalkan keramaian di ruang tamu rumah kami. Sebenarnya sangat berat untukku meninggalkan kampung halamanku sendiri ini.  Walaupun beberapa tahun yang lalu aku sudah pernah merasakan indahnya Kota Paris, tetap saja bagiku lebih indah kampung ini. Di sini aku tumbuh, bermain-main dengan anak-anak yang lain sewaktu kecil;  berburu capung di sawah, menangkap ikan-ikan kecil di sungai, dan yang paling tidak akan pernah aku lupakan adalah saat di mana kami berempat, aku dan sahabat-sahabat kecilku mengikrarkan sebuah janji persahabatan.  Ah sahabat-sahabat kecilku, dimana kalian kini berada ?
Ibu nampaknya mengikutiku ke kamar.  Saat aku berdiri di depan jendela kamarku, dia mengetuk pintu dan masuk.  Rasa berat untuk melepask masih terlihat di raut wajahnya.
“Barang-barangmu sudah kau siapkan semua ?” Suaranya lembut menyapa telinga.
“Sudah Bu, aku sudah aku masukkan ke tas semalam.”
“Termasuk pakaian-pakaian hangatmu? Ibu tidak ingin kau kedinginan saat musim salju tiba.”  Nampaknya ibu cukup paham tentang perbedaan musim di Indonesia dan di Perancis sana.
“Sudah Bu,”  jawabku sambil sedikit mengangguk.
Ibu melangkah mendekatiku.  Dia berdiri di sampingku, menghadap ke arah yang sama denganku, jendela kamarku.
“Ada satu hal lagi yang belum pasti aku sertakan.”
“Apa itu, cepatlah masukkan ke dalam tasmu, jangan sampai kau lupa membawanya.  Waktumu sangat terbatas.”
“Restu dan do’amu Ibu, aku ingin memastikan bahwa kau benar benar merestuiku pergi.”  Aku memutar badanku, menghadap ibu yang masih tetap menatap ke luar jendela.
Sesaat ibu masih terdiam.  Entah apa yang sedang ia pikirkan.
Tak lama kemudian, ibu berbalik menghadapku.  Sambil memegang erat lenganku dia berkata, “Pergilah Nak, pergilah.  Ibu merestuimu.  Carilah ilmu sebanyak banyaknya.  Jadilah sebaik-baiknya manusia. Pergilah.  Do’aku akan selalu menyertaimu.”
Aku cepat memeluknya.  Air mata yang sejak tadi ia tahan tumpah sudah di pundakku.  Dia menangis tersedu. 
“Terima kasih Ibu,”  kataku sambil tetap memeluk erat tubuhnya.
JKL

Jardin du Luxenbroug masih terlihat indah seperti tahun-tahun yang lalu.  Pohon-pohon rindang masih tetap tumbuh mengelilinginya.  Kursi biru yang kini aku duduki masih terletak di posisi yang sama, hanya catnya yang berubah,  lebih terlihat segar.  Mungkin belum lama di cat ulang.  Paris memang selalu memperhatikan keindahan sampai pada  hal-hal yang kecil seperti kursi taman ini.  Tidak seperti Indonesia, sebelum reot dan ambruk, mereka tidak akan mau mengganti kursi yang sebenarnya sangat berpengaruh terhadap keindahan taman seperti ini.
Hari ini aku berniat mengunjungi kenalan-kenalan orang Paris-ku dulu.  Aku ingin mengatakan bahwa aku telah kembali ke Negara mereka.  Mereka pasti akan sangat terkejut melihatku yang tiba-tiba berada di hadapan mereka.  Namun sebelumnya, aku mampir dulu ke taman ini, sekedar melepas rindu, sembari hendak mengirim e-mail kepada gadis merah jambu itu.

From                         : Agus Guntoro
To                             :  Meira Putri Gunawan
Subject                     :  Hallo….
Tiga tahun sudah kita berpisah.  Kuharap kau masih ingat siapa aku.  Sebelumnya aku mau minta maaf,  karena selama di Indonesia,  aku tidak pernah menghubungimu.  Tentu ada alasan mengapa aku melakukannya.  Jangan harap aku akan menceritakannya sekarang, karena aku tidak akan melakukannya.
Ah astagfirullah, aku lupa mengucap salam pembuka.. hehe…
Assalamu’alaikum wahai Meira Putri,  apa kabar ?  hehe…
Menyambung perkataanku di awal tadi.   Aku sungguh ingin sekali bertemu denganmu.  Ada sesuatu yang ingin aku katakan padamu.  Aku ingin berbicara langsung denganmu.  Cepat hubungi aku di nomor 085220453413 secepatnya setelah kau baca e-mailku ini.  Aku menunggumu. 
Wassalam

Aku menutup laptopku.  Jaringan nirkabel yang tersedia di taman ini begitu membantuku, dan para pengunjung lain tentunya.  Kumasukan laptop ke dalam tas.  Saat itu aku melihat sebuah buku berukuran sedang ada di dalam tasku.  Aku tersenyum sendiri.  Aku ke luarkan buku itu dan ku buka lembar demi lembar buku tersebut.  Ada getaran yang tiba-tiba saja muncul di dadaku. Entahlah, aku tidak tahu apa itu.
JKL

Pukul 08:00 malam, dua hari setelah kukirimkan e-mailku itu.
Sambil tiduran di tempat tidurku, aku melihat langit-langit kamar yang di cat warna putih.  Pikiranku melayang,  entah ke mana dia terbang. Aku melepasnya begitu saja.
“Mengapa kau belum menghubungiku juga, wahai gadis merah jambu ?” ucapku dalam hati sambil menatap layar handphone ku yang tak kunjung menyala.
“Apa kau telah melupakanku?  Apa kau tak ingin bertemu denganku lagi ? Atau,  ah sudahlah, aku tidak boleh berpikiran macam-macam.  Mungkin dia belum membuka e-mailku.”
Aku duduk, lalu berdiri.  Saat baru saja aku melangkahkan kakiku,  handphone-ku berdering.  Suaranya semakin keras.  Aku cepat menyambarnya dari atas tempat tidurku.
Nomor baru.
Aku cepat mengangkatnya.
“Hallo..”
Apa yang ingin kau bicarakan?” Suara dari seberang sana langsung menusuk telingaku
Wa’alaikum  salam, hehe…  sabar dong,  segitu kangennya ya sama aku ?” kataku menggoda.
Ke mana saja kau selama ini ?  Berkali-kali aku menelfonmu tak pernah nyambung juga.  E-mailku tak pernah kau balas.  Boddoh..”
Handphone ku kecebur sungai dan hanyut terbawa arus.  Kau pasti tidak akan mengerti bagaimana derasnya arus sungai di kampungku.  Aku tidak ingat nomormu.”
Alasan..  Kau kan  bisa mengirim e-mail padaku.”
“Kampungku jauh dari warnet.  Dan asal kau tahu saja, di kampungku tak ada jaringan internet,” kataku berdalih.  Sebenarnya bisa saja aku membalas e-mailnya karena aku tak tinggal di kampung selama kuliah di Indonesia.  Aku menyewa kamar kost yang jaraknya cukup dekat dengan kampusku.
Jadi ini alasan yang kau maksud dalam e-mailmu ? 
Aku tak menjawab, hanya sedikit menyunggingkan senyum di wajahku.
Pukul 10:01 malam
“Hari sudah larut.  Besok aku tunggu kau di Jardin du Luxenbroug pukul dua siang,” kataku menutup pembicaraan yang telah cukup lama terjadi.
Boddoh..”jawabnya sambil memutuskan sambungan.
JKL

Pukul 02:30
Aku sengaja datang terlambat, lebih tepatnya, terlambat menghampirinya.  Aku ingin mengenang saat pertama kali melihatnya, duduk manis di kursi biru, memakai baju warna merah jambu. Sungguh indah.
Dan sekarang, aku melihatnya kembali.  Aku benar-benar melihatnya kembali.  Dia duduk di kursi biru itu.  Hanya saja pakaian yang dia kenakan berbeda dengan waktu itu.  Dia memakai baju warna putih dengan bawahan rok panjang hitam.  Wajahnya sudah bisa ku lihat dengan jelas walau dari jarak bermeter-meter.  Sesekali dia melihat tangan yang dia pakai.  Aku tahu dia pasti sudah bosan menungguku.
“Sudah lama menunggu?”  ucapku dengan ekspresi wajah datar tanpa ada rasa bersalah.
“Ke mana saja kau? Sudah satu jam aku duduk di sini menunggumu.”
“Kau tidak rindu padaku ?”
“Tidak,” jawabnya sambil memalingkan muka.
“Benar-benar tidak rindu ?”
“Tidak”
“Sayang sekali, padahal aku selalu merindukanmu.”
“Aku membencimu.  Buat apa aku merindukan orang yang kubenci?”
“Kau membenciku?”
“Ya, aku sangat membencimu.”
“Sayang sekali, padahal aku selalu…”  Aku menghentikan perkataanku.  Hampir saja.
Dia berbalik menatapku
“Ayo ikut aku!” kataku sambil meraih tangannya.
“Mau pergi ke mana ?  kukira kita akan mengobrol di sini.”
“Ayo ikuti aku saja, jangan banyak komentar.”
Aku membawanya ke sebuah bukit kecil yang tidak terlalu jauh dari taman itu.  Di sini cukup sepi, dan itu yang aku cari.  Aku tidak ingin ada orang berlalu lalang di depan atau di belakan kami saat kami berbicara.
Bukit yang indah.  Hamparan pemandangan yang ada di depan sana begitu menyejukkan mata.  Kesunyiannya pun juga menyejukkan hatiku yang sejak tadi selalu bergemuruh.
“Kau ingin tahu kenapa aku tak pernah menghubungimu sejak pulang ke Indonesia?”  Aku membuka pembicaraan sambil membalikkan badanku, menghadap gadis merah jambu itu yang sejak tadi duduk di belakangku.
“Karena handphonemu hanyut di sungai ?  karena rumahmu jauh dari warnet?”  Nada suaranya tinggi.
“Bukan.  Ya. Maksudku, itu sebagian kecil dari alasanku.”
“Lalu apa alasan utamamu tak pernah menghubungiku?”
“Aku sedang menyelesaikan sebuah proyek, proyek besar.  Dan selama aku menyelesaikannya, aku berjanji tidak akan menghubungimu dulu.”
“Kau takut aku akan mengganggu pekerjaanmu?”
“Bukan, bukan itu.  Ada hal lain.”
“Apa ?”
Ingin sekali rasanya aku mengungkapkannya semua.  Tapi hatiku selalu melarangnya.  Entah kenapa, mulutku sulit mengatakannya.
“Karena aku masih mencintaimu.”
Dia terdiam.  Kepalanya menunduk.  Aku tak bisa membaca raut wajahnya.
“Waktu tiga tahun tak cukup untukku bisa melupakanmu.  Kita memang tak pernah berhubungan dan bertatap muka lagi.  Tapi semua itu justru membuatku semakin merindukan dan mencintaimu.”
Dia masih terdiam.
“Satu hal yang aku sadari ketika berada di Indonesia, bahwa aku hanya mengungkapkan perasaanku padamu, tanpa membiarkanmu mengatakan perasaanmu kepadaku.  Kini aku sadar itu adalah kesalahan yang besar dan fatal.
Sekarang, aku ingin mendengar kau mengucapkan perasaanmu padaku.  Katakanlah!”
Meira masih terdiam.  Kepalanya masih tertunduk.  Mungkin berat untuknya mendengar semua ucapanku.  Mungkin juga berat untuk mengungkapkan semua perasaannya padaku.
“Bodoh.”  Akhirnya dia berkata.
“Dulu aku mencintaimu, sebelum kau memintaku untuk mencintaimu dalam konteks yang berbeda, hanya sebagai teman.  Tanpa kau sadari, aku sungguh kecewa saat itu.  Aku benar benar kecewa. Sekuat hati aku berusaha menuruti permintaanmu, mencintaimu hanya sebagai teman saja. Bodoh. Kau memang bodoh.  Sejak kau pulang ke Indonesia, kau tak pernah menghubungiku.  Kau tak pernah menjawab telfonku.  Kau tak pernah membalas semua e-mailku.  Aku pikir semua sudah berakhir.  Aku pikir  kau telah dengan mudahnya melupakanku.  Semua ini salahmu.”  Suaranya lirih.  Begitu halus.
“Maafkan aku.”
“Cukup lama untukku bisa membangkitkan semangatku menjalani kehidupan.  Aku sungguh terpukul dengan kepergianmu.  Sekarang, kau datang lagi, membawa cintamu untukku. Apa yang harus kulakukan?  Kau sungguh membuatku berada pada keadaan yang sulit.”
“Katakan saja perasaanmu padaku.  Apapun yang kau katakan, aku akan rela menerimanya.”
“Semua tak semudah yang kau pikirkan. Kau tahu ? aku kini tak sendiri lagi.  Telah ada seorang laki-laki di sampingku.  Dia sangat mencintaiku. Dan aku, aku juga mencintainya.  Aku tak ingin menyakiti perasaannya.  Tapi aku juga tak ingin menyakiti perasaanmu.”
Seketika, langit seakan runtuh.  Kakiku rasanya tak kuat menopang berat tubuhku sendiri.  Semua suram.  Dengan tenaga yang tersisa, aku berbalik, memutar badanku ke arah kaki bukit sana.
“Aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa,”  aku berteriak panjang.  Itu untuk kebodohanku tiga tahun lalu.
“Aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa,”  itu untuk kebodohanku  selama di Indonesia.
“Aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa,” dan itu untuk semua kebodohan yang pernah aku lakukan.  Aku menyesal. Aku kecewa pada diriku sendiri.  Sulit rasanya kini memaafkan kesalahan yang pernah aku perbuat.
Perlahan, aku membalikkan badanku, menatap gadis itu kembali.  Aku keluarkan buku berukuran sedang dari tasku,  kuberikan padanya sambil berkata, “ Inilah proyek besarku,  proyek yang membuatku berjanji untuk tidak menghubungimu.   Dari dulu kau tahu bahwa aku ingin sekali menjadi seorang penulis, dan itu hasilnya.  Sebuah novel,  tentang kau, tentang aku, tentang kita berdua.  Aku tulis itu untukmu.  Terimalah.  Mungkin takdir hanya mengizinkan kita untuk berteman, tidak lebih.  Aku hormati itu. Aku terima.”
Suasana hening, benar benar hening.  Aku kini menyesal memilih tempat hening ini untuk membicarakan hal ini.  Keheningan ini kini justru semakin membuat sesak dadaku, semakin membuat nafasku terasa berat. Aku menyesal.






 (Desember 2010)

2 komentar:

Anonim mengatakan...

Cem, baca ulang cerpen ieu!!
:)

Unknown mengatakan...

emang naon kitu Gus?

Posting Komentar